Bengkulu Dalam Purwakata dan Cerita

Fort Marlborough, peninggalan Inggris di Bengkulu
Sumber: Bengkulu Today

 Tambo Bangkahoeloe menyebut adanya Kerajaan Sungai Serut yang menjadi pembuka jalan peradaban di wilayah ini.  

Oleh: Hardiansyah | Penulis Sejarah Lokal Bengkulu

Bengkulu merupakan satu dari daerah di pantai barat Sumatra yang memiliki nilai historis yang tinggi. Dinamika masyarakatnya memang tidak sedinamis Sumatra Barat, Namun, daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Inggris di Nusantara dan Asia Tenggara ini memainkan peran penting dalam percaturan politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini karena di daerah inilah tokoh Proklamator Kemerdekaan Indonesia bertemu dengan Fatmawati yang kemudian melahirkan “trah” keturunan Bung Karno. Klan ini masih menjadi pesohor yang memiliki semacam keistimewaan (privilige) dalam bidang politik kontemporer Indonesia. 

Dari pusat pemerintahan Inggris, Bengkulu berubah menjadi daerah buangan bagi tokoh-tokoh politik pada masa Pemerintah Hindia Belanda berkuasa. Ada beberapa tokoh tenar sebelum Sukarno menjejakkan kaki di tanah ini sebagai interniran. Para tokoh itu antara lain A.J. Patty aktivis Sarekat Ambon yang kritis terhadap Pemerintah Hindia Belanda, Pangeran Natakusuma dari Landak serta Sentot Alibasja dan beberapa tokoh Keraton Yogyakarta. 

Alasannya sederhana, karena Bengkulu merupakan daerah lokasi penyakit Malaria yang menjadi endemik. Walaupun Bengkulu relatif dekat dari Batavia dibanding Boven Digul atau Banda Neira, tetapi Bengkulu adalah daerah yang terisolasi. Banyak orang-orang Belanda yang mengeluhkan buruknya akses transportasi khususnya transportasi laut di Bengkulu. Kapal tidak bisa menepi ke pelabuhan karena letak airnya yang dangkal dan gelombangnya yang cukup besar. 


Muara Sungai Bengkulu.
Sumber: Hardiansyah

Asal Usul Toponimi Bengkulu

Ada banyak versi penyebutan Bengkulu seperti Bangkahoeloe, Benkoelen, Bengkoelen, Bencoolen, Bangkoelen. Bahkan, orang Belanda pun bingung dan mencari penjelasan tentang perbedaan penyebutan nama tersebut dan penyebabnya. Setidaknya ada dua publikasi di harian de Sumatera Post dan Sumatera Courant yang menelaah tentang masalah ini. Waktunya pun berbeda. 

Pada Sumatera Courant tertanggal 5 Oktober 1886, terdapat artikel tentang asal muasal Bengkulu dengan judul artikel “Iets Over Den Oorsprong En De Beteekenis Van Den Naam Der Residentie Benkoelen”. Adapun De Sumatera Post tertanggal 29 November 1938 memuat artikel berjudul “Waar komt Benkoelen vandaan?” Munculnya nama Bengkulu tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Sungai Serut yang dibangun oleh Ratu Agung. Tokoh ini pun kebermulaannya masih menjadi kontroversi bagi pengkaji sejarah Bengkulu hingga saat ini. 

Ada yang beranggapan bahwa Ratu Agung berasal dari Gunung Bungkuk. Ada pula yang beranggapan bahwa Ratu Agung berasal dari Banten serta Djajakarta. Tambo Bangkahoeloe memulai kisahnya tentang Kerajaan Sungai Serut ini. Diceritakan, terdapat tujuh orang anak dari Ratu Agung. Anak yang ke-6, bernama Anak Dalam Muara Bangkahulu, menggantikan ayahnya sebagai penguasa Sungai Serut. 

Anak yang bungsu adalah seorang perempuan yang sangat cantik bernama Puteri Gading Cempaka. Kecantikan inilah yang akhirnya menjadi pangkal bala. Dihikayatkan, anak Raja Aceh terpikat hatinya dengan kecantikan itu. Ia datang untuk melamar Sang Puteri. Sayangnya, lamaran itu ditolak. Akibatnya, terjadi peperangan terbuka terhadap Kerajaan Sungai Serut. Dalam peperangan ini Anak Dalam dan saudara–saudaranya harus mengungsi ke Gunung Bungkuk. Dampak berikutnya, hilanglah Negeri Sungai Serut. 

 Menurut Tambo Bagkahoeloe, orang-orang Acehlah yang memberikan nama dengan menyebut “Empang-Ka–Hoeloe” yang kemudian menjadi negeri Bangkahoeloe. Hal ini dilatarbelakangi ketika tentara Aceh tiba di negeri Sungai Serut saat air pasang dan mereka melihat banyaknya reba-reba, empang-empang dan kotoran-kotoran bergerak ke hulu (Menghoeloe). 

Abdullah Siddik dalam buku Sejarah Bengkulu menyatakan, nama itu berasal dari bangkai-bangkai pasukan yang tersapu ombak yang kuat ke arah hulu, sehingga muncul sebutan “bangkai ke hulu”. Ombak yang menghantam Sungai Bengkulu di Muara berakibat arus air di sekitar hilir berbalik ke hulu. Hal ini juga dikeluhkan dalam Tijdschrift voor Neerland's IndiĆ« jrg 4, 1842. Hal ini wajar mengingat secara geografis wilayah ini berhadapan langsung dengan Samudra Hindia.

 Selain itu, kontur sungai yang rata dengan pantai membuat arus sungai di dekat muara menjadi lambat. Pada masa lalu pedagang-pedagang Aceh harus memasukkan kapalnya ke dalam sungai untuk mencegah ombak dan badai yang datang. Saat air pasang, barulah kapal tersebut bisa keluar dari sungai. Hal ini menandakan bahwa muara sungai ini dangkal dan kapal besar tidak bisa masuk saat air sedang surut. Kontur sungai yang demikian membuat banyak sampah dan kotoran akhirnya mengalir ke arah hulu. 

Analisis ini dideskripsikan oleh Sumatera Courant. Istilah “Ka hilir” dan “Ka hulu” menunjukkan keseimbangan. Kata Bang merupakan kependekan dari bahasa Jawa Imbang sehingga kata Imbang Ka Hulu dapat disingkat menjadi Bang Ka HuluAda pula analisis yang menyatakan bahwa nama Bengkoelen berasal dari kata Bang dan Kulon. Sudah sejak zaman Majapahit orang–orang Jawa beremigrasi dan berdagang di wilayah Sumatra bagian selatan khususnya Bengkulu. Apalagi saat zaman Banten berkuasa, daerah ini menjadi daerah yang dalam kekuasaan dan pengawasan Sultan Banten. 

 Bagi masyarakat Jawa daerah di sebelah timur dari pusat kerajaan mereka disebut Bang Wetan dan daerah di sebelah barat dari pusat kerajaan disebut Bang KulonPerlu dicatat bahwa sebelum Inggris dan Belanda berinteraksi dengan masyarakat Bengkulu, mereka berinteraksi terlebih dahulu dengan orang Jawa yang mengenal daerah ini dengan sebutan Bangkoeloen. Bahkan, ada pula orang-orang Jawa yang menjadi pekerja dengan Inggris maupun Belanda sehingga nama tersebut akhirnya lebih dikenal daripada Bengkoeloe

Sementara itu, Inggris menyebut daerah ini dengan sebutan Bencoolen. Ada yang berpendapat bahwa penyebutan “Bencoolen” berasal dari bukit di Skotlandia atau berasal dari Cut Land, tanah yang patah karena banyaknya gempa. Perdebatan asal usul nama itu tidak ada habisnya bermula dari persepsi “asal mula nama” secara umum. Namun, jika ditelaah kembali dalam literatur yang berkaitan dengan Bengkulu pada masa lalu, orang Melayu lebih sering menggunakan kata Bangkahulu untuk menyebut daerah ini dengan alasan dan asal usul yang mereka yakini. 

 Orang Belanda menyebutnya Benkoelen dengan ragam asal usul dan Inggris menyebutnya dengan nama Bencoolen pun dengan alasan yang berbeda. Jelas pula bahwa nama Bengkulu pada mulanya adalah nama yang diperuntukkan bagi sebuah sungai. Lantas, penamaan tersebut meluas ke daerah di sekitarnya yang pada masa lalu terdapat pasar sehingga daerah itu mendapat nama “Pasar Bangkahulu”. Inilah pusat Bengkulu pada masa lalu. Pada masa setelahnya, nama Bengkulu digunakan untuk nama daerah yang makin meluas secara administratif.

Setelah penyerbuan tentara Kerajaan Aceh, diceritakan dalam Tambo Bangkahulu, daerah pesisir Bangkahulu tidak memiliki raja sehingga Pasirah dari empat Petulai dari pedalaman harus memecahkan permasalahan tersebut. Keadaan semakin meruncing ketika masing-masing dari mereka merasa berhak untuk memerintah dan memiliki tanah marga. Namun, perselisihan itu dapat diselesaikan secara adil oleh Baginda Maharaja Sakti. Kemudian, setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pagarruyungia, dengan bulat mufakat Baginda Maharaja Sakti diangkat menjadi penguasa negeri Bangkahulu. 

Baginda Maharaja Sakti tidak meneruskan riwayat Sungai Serut walaupun dikisahkan dalam Tambo Bangkahulu ia menikah dengan Puteri Gading Cempaka. Baginda memilih mendirikan kekuasaannya sendiri di daerah yang ia kuasai dan diberi nama Sungai Lemau. Pangeran dari Sungai Lemau inilah nantinya yang menandatangani perjanjian antara Inggris dan masyarakat Bengkulu pada tahun 1685. Substansi perjanjian ini mempersilakan Inggris untuk mendirikan Benteng di dekat muara Sungai Bengkulu, tidak jauh dari pusat kuasa Sungai Serut pada masa lampau.

Walaupun Kerajaan Sungai Serut telah musnah, tetapi Ratu Agung dinilai sebagai penguasa yang paling dihormati. Penguasa-penguasa lokal masih menyandarkan nasab dan susur galur mereka pada Ratu Agung, terutama penguasa dari Kerajaan Sungai Lemau. Analisis berikutnya, daerah Bengkulu pada masa swapraja mendapatkan pengaruh yang kuat dari kerajaan–kerajaan lainnya yang lebih besar dan berpengaruh seperti Majapahit, Banten, dan Indrapura. Hal ini menandakan bahwa kerajaan-kerajaan yang disebut dalam sejarah Bengkulu tidak berdaulat seperti kerajaan–kerajaan lainnya yang kita kenal. 

Pada periode itu, ada yang menjadi bagian dari kerajaan lain seperti Kerajaan Anak Sungai. Ada pula yang berada di bawah pengawasan Kerajaan Banten seperti Sungai Lemau dan Selebar. Ada juga yang terpengaruh dengan Kesultanan Palembang seperti Sungai Itam. Sementara, yang dalam pengaruh Majapahit adalah Kerajaan Depati Tiang Empat.

Artikel ini sebagai pembuka untuk mengenal sejarah Bengkulu lebih lajut. Jika mengikuti pembabakan yang dilakukan oleh Abdullah Sidik, maka ruang lingkup tulisan ini masuk pembabakan pada zaman Swapraja ketika Bengkulu masih memiliki pemeritahan sendiri. Kala itu, Bengkulu yang belum di bawah pengaruh dan hubungan dengan bangsa Eropa. Kekayaan alam terutama lada yang melimpah dan berkualitas baik yang dimiliki Bengkulu, pada gilirannya melatarbelakangi masuk dan bercokolnya bangsa Eropa di Bengkulu. 


0 Comments:

Post a Comment