Kompi Syiwa TGP, Penghancur Konvoi Belanda Jalur Madiun

Kendaraan Patroli Belanda yang hancur terkena trekbom
(sumber: Pelajar Pejuang TGP 1945-1950)


Terinspirasi tugas Dewa Syiwa, kompi ini dibentuk untuk menghancurkan konvoi militer Belanda selama revolusi fisik 1946-1949 di sektor Madiun
                                
                               Oleh: Rifkhi Sulaksmono | Penggiat Sejarah Militer di Surabaya


Kisah melegendanya Kompi Syiwa TGP dimulai saat Agresi Militer I tanggal 21 Juli 1947. Belanda menyatakan diri tidak terikat lagi pada Perjanjian Linggarjati. Pada masa itu Madiun masih menjadi wilayah Republik sehingga banyak kesatuan-kesatuan militer dan warga sipil yang menjadikan Madiun sebagai basis militer dan tempat pengungsian penduduk sipil seiring terdesaknya wilayah Republik oleh serbuan Belanda. Pasukan Siliwangi turut bermarkas di Madiun pasca meletusnya Madiun Affair 1948 dengan misi menumpas pasukan komunis tersebut. Berbagai gejolak perang antar anak bangsa mewarnai sejarah kota ini. 

Setelah Belanda menyerang Yogjakarta pada Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948, tiap warga Madiun telah siap dan siaga menghadapi giliran penyerbuan Belanda berikutnya. Namun tidak ada yang bisa memperkirakan kapan serangan akan tiba. Perkiraan Belanda menyerang dari timur kota ternyata meleset. Belanda menyerang dari barat yaitu dari Solo, Tawangmangu, Sarangan, Magetan kemudian Madiun. Sementara dari arah utara Belanda masuk melalui Cepu dan Nganjuk. Pada awal pembentukan, Tentara Genie Pelajar (TGP) Madiun dikenal dengan nama Kompi Sjiwa (nama Dewa Perusak) dibawah komandan Kompi Sutjihno.

Dua anggota TGP sedang memasang Trekbom
(Sumber: Pelajar Pejuang TGP 1945-1950)


        Pada tanggal 14 Mei 1948 sebelum Belanda melakukan Agresi Militer II, Kompi Sjiwa telah merencanakan dua daerah sebagai basis pertahanan yaitu di Gemarang dan Jogorogo. Di kedua tempat itu telah ditimbun sejumlah besar bahan peledak, bom dan peluru-peluru
meriam dengan berat 25 kg hingga 200 kg. Bom-bom tersebut didapatkan dari Maospati yang merupakan pangkalan pesawat militer peninggalan Jepang. Bom-bom pesawat itu kemudian diubah menjadi alat peledak dengan cara menarik kawat pemicunya.

Kompi Sjiwa banyak melakukan aksi sabosate jembatan dan penghadangan konvoi patroli Belanda. Dalam bulan Juni 1949 sudah terjadi 11 kali penghadangan yang merusak 7 kendaraan patroli diantaranya 4 truk, 2 Half Panser, dan 1 traktor. Belum termasuk korban jiwa dari pihak Belanda. Sabotase dilakukan menggunakan Trekbom dengan sasaran kendaraan patroli maupun jembatan yang menjadi penghubung kedua wilayah.

Untuk mengatasi gangguan ini Belanda membangun pos penjagaan di Caruban (6 km barat Saradan) dan Wilangan (10 km timur Saradan). Disekitar jalan Caruban-Saradan-Wilangan setiap hari dilakukan patroli pasukan Belanda tetapi tetap saja sabosate oleh TGP dilakukan. Sabosate ini dilakukan dalam jumlah anggota kecil sekitar 3-6 orang, selesai meledakkan mereka langsung kabur meninggalkan lokasi. Entah sabotase tersebut berhasil membawa korban atau tidak, itu bukan menjadi masalah bagi TGP karena memang taktik Hit and Run yang mereka pegang. Sabosate-sabotase yang dilakukan di Saradan membuat nama TGP makin dikenal dan ditakuti pihak Belanda sehingga menjadi kesatuan yang patut diperhitungkan perjuangannya.

Dalam buku harian anggota pasukan Belanda yang bertugas di daerah Saradan, dapat diceritakan kisah menjinakkan Trekbom tersebut berdasarkan catatan Ons Eskadron :

"Mereka masih kanak-kanak waktu tentara Jepang masuk ke tanah ini. Mereka menjadi besar selama pendudukan Jepang dan mewarisi seluruhnya mentalitas Jepang. Dan seperti itulah sikap mereka terhadap kami, jarang bersikap ksatria, biasanya di belakang kawat tarik panjang (trekbom). Sudah empat orang dari kami menjadi korban cara perang yang licik itu".

“Panjang dan berat rasanya bagi kita hari-hari setelah kami kembali ke Madiun itu. Tiap pagi setengah tujuh beberapa dari kendaraan kami harus membersihkan jalan konvoi Madiun-Wilangan. Banyak sekali ranjau dan trekbom yang dipasang oleh saudara-saudara pelopor. Tiap tugas pembersihan jalan dapat jadi yang terakhir bagi kami, namun kami tak sempat memikirkan hal itu. Terus menerus kami harus waspada, sedetik kelengahan dapat berakibat fatal”

Keterampilan Prajurit TGP meracik Trekbom membuat pasukan Belanda harus waspada. Inilah awal kisah patriotik pejuang TGP dalam memutus jalur patroli Caruban-Wilangan. Tentang gencarnya serangan trek bom yang terpasang untuk menghantam patroli tank, panser dan truk Belanda. Membuat lawan selalu mendapatkan mimpi buruknya jika melewati jalan Saradan ini karena maut siap menjemput mereka sewaktu-waktu. Suatu kebahagiaan bagi tentara Belanda jika mereka berhasil menemukan Trekbom dan menjinakkannya.

 

Makan Korban Sendiri

Skenario penghadangan terhadap patroli Belanda di Saradan sudah dirancang, tanggal 14 Juli 1949 pukul 07.00 ditetapkan sebagai hari H waktu penghadangan. Semua anggota TGP sudah siaga dan berada di posnya masing-masing. Ada empat pos penghadangan patroli yang disiapkan disepanjang jalan Saradan yaitu pos A, B, C dan D.

Skenario penghadangan patroli Belanda
(Sumber: Pelajar Pejuang TGP 1945-1950)


Patroli Belanda tampak beriringan berjalan dari kejauhan. Iring-iringan patroli yang jadi target incaran sudah masuk dalam killing ground TGP, tinggal menunggu saat yang tepat untuk mengeksekusi dan meledakkan Trekbom yang sudah disiapkan. Sesuai skenario patroli terdepan Belanda dibiarkan melewati pos A dan B tanpa serangan pendadakan, tiba waktunya anggota di Pos C yang akan mengeksekusi jika patroli terakhir lewat.

Namun skenario penghabisan tersebut tidak sesuai rencana. Tiga Bom di Pos C yang seharusnya meledak, ternyata dua bom gagal menghantam Jeep patroli Belanda. Sesaat patroli itu terkejut karena serangan pendadakan di area penghadangan. Pertempuran Saradan pun pecah karena bala bantuan Belanda segera datang. Pos-pos penghadangan berhasil menghancurkan kendaraan-kendaraan yang datang membantu.

Selepasnya keberhasilan mengeksekusi patrol ditempat lain, dua anggota TGP Bagio dan Saparno pada pukul 21.00 mendapat tugas melakukan pengecekan terhadap bom yang gagal tersebut. Tanpa penerangan lampu, ditengah gelap gulita keduanya berusaha mengamankan bom supaya tidak membahayakan penduduk sekitar dan nantinya bom bisa dipakai lagi.


Saparno, anggota TGP Peleton I Kompi II gugur bersama Bagyo
14 Juli 1949. (Sumber: Pelajar Pejuang TGP 1945-1950)

Namun nahas bagi keduanya, tidak disangka bom yang gagal meledak sore itu mendadak meledak di hadapan anggota TGP lain. Ada kemungkinan kawat penarik tersebut tanpa sengaja terinjak kaki mereka. Suaranya memekakkan telinga dan anggota TGP yang sesaat terdiam terkejut melihat tubuh kedua rekannya hancur lebur berserakan disekitar lokasi. Anggota regu dengan sigap mengumpulkan bagian-bagian tubuh rekannya yang hancur berserakan di pohon dan semak-semak di hutan Saradan untuk dikumpulkan dan segera dikuburkan.

“Suk bodo awak dewe mlebu kuto wong loro bareng, nganggo klambi putih, celono putih lan sepatu putih men koyo priyayi” (Besok Lebaran kita berdua masuk kota bersama  memakai baju putih, celana putih dan sepatu putih biar seperti orang terhormat). Itulah ucapan Kresno kepada sahabatnya Saparno ketika keduanya sama-sama bertugas di TGP berdasarkan kesaksian Widodo sahabat mereka berdua. Kresno gugur pada pertempuran 16 Februari 1949 sedangkan Saparno gugur pada 14 Juli 1949. Ucapan Kresno tersebut seperti firasat bagi keduanya. Kedua sahabat itu terrnyata sama-sama gugur dalam pertempuran kemudian pada awal tahun 1950, kedua kerangka jenazahnya dibawa masuk Kota Madiun untuk dimakamkan  kembali di Taman Makam Pahlawan Madiun.

Inilah kisah dilokasi penghadangan di Saradan yang diabadikan dengan nama Jalan Bagio-Saparno dan lokasi tersebut diabadikan dengan monumen hidup dalam bentuk sekolah pada tanggal 24 Agustus 1981 dengan didirikannya SMPN 2 Saradan Madiun (SMP TGP Saradan). Dibalik tembok nama SMP 2 Saradan terpatrilah lambang besar TGP sebagai kebanggaan kesatuan pelajar pejuang dari Detasemen Teknik. Sebuah lambang kebanggaan yang tersembunyi. Bukan hanya sekedar lambang yang menghiasi tembok sebuah sekolah, bukan hanya tulisan yang menjadi pemanis pagar sekolah tetapi disinilah tertanam nilai-nilai perjuangan yang abadi.

Bagio-Saparno, diabadikan menjadi nama jalan dan eks bangunan TGP
saat ini menjadi SMP Negeri 2 Saradan. (Sumber: Rifkhi Sulaksmono)

DAFTAR PUSTAKA

Moehkardi Drs, Pelajar Pejuang TGP 1945-1950. Surabaya, Yayasan Ex Batalyon TGP Brigade XVII, 1983.

 -----------------, Sejarah Perjuangan Tentara Pelajar Purwokerto. Jakarta, Keluarga Ex Anggota BE XVII Tentara Pelajar Cie Purwokerto, 1979.

 

0 Comments:

Post a Comment