A.R Baswedan, Partai Arab Indonesia, dan Nota Diplomatik


Abdul Rahman Baswedan
(Dokumentasi: bbc.com)
Nota Diplomatik pertama yang diperoleh Indonesia dari Mesir pernah tersimpan di kaus kaki seorang A.R Baswedan.

Abdul Rahman Baswedan, atau kerap disapa A.R. Baswedan. Sosok yang masih memiliki darah Arab ini lahir di Kampung Ampel, Surabaya 9 April 1908. Ia dilahirkan dalam lingkungan kampung Arab yang menjalankan kepercayaannya dengan kuat, pada usia 6 tahun beliau sudah disekolahkan di Madrasah sekitar kampungnya oleh Ustadz-ustadz yang juga merangkap guru. A.R Baswedan termasuk Muawallad, yakni masyarakat Arab yang lahir di Indonesia meskipun dikemudian hari dia lebih Indonesia daripada Arab sekalipun. Seperti kebanyakan masyarakat Arab di Nusantara, ayahnya bekerja sebagai pedagang yang memiliki sebuah toko tidak jauh dari Masjid Ampel. 

Karakter pejuang yang suka "memberontak" A.R Baswedan sudah terlihat sejak ia muda. Pernah ia menolak untuk ikut dalam penyambutan tokoh penting dari Batavia yang akan mengadakan kunjungan ke sekolahnya hanya karena ia ingin menggunakan celana panjang, sedangkan siswa diharuskan untuk mengenakan sarung. Menjelang usia 15 tahun ia pindah ke Jakarta belajar di Madrasah Al-Irsyad di bawah bimbingan Syeh Ahmad Surkati sang pendiri Al-Irsyad. Pada usia 16 tahun, atau sekitar tahun 1924 ia ditunjuk oleh K.H. Mas Mansyur sebagai anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah di Surabaya. Beliau juga pernah tergabung dalam organisasi Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi yang beranggotakan intelektual muda muslim yang juga menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Meskipun berisi pemuda Islam, ia adalah anggota pertama dari keturunan Arab dalam organisasi tersebut. Bergabungnya beliau di organisasi tersebut didorong oleh rasa simpatinya yang dalam terhadap saudara seagama yang disebut Inlander oleh pihak Belanda. 

A.R Baswedan juga dikenal sebagai seorang Jurnalis. Ia sempat bekerja menjadi redaktur Koran Sin Tit Po milik keturunan Tiong Hoa Liem Kun Hian dengan gaji sebesar 75 gulden pada 1932. Karena pemasang iklan dari orang-orang Belanda tidak senang dengan kritik-kritiknya terhadap pemerintah kolonial di koran itu, ia harus hengkang ke Harian Soeara Oemoem  yang dipimpin Dr. Sutomo pada 1933. Di koran milik tokoh pergerakan nasional itu juga tidak bertahan lama, ia pindah ke Semarang dan menjadi redaktur di koran Matahari pimpinan Kwee Hing Tjat hingga tahun 1934 sebelum akhirnya ia mendirikan partai yang beranggotakan keturunan Arab nasionalis (Indonesia).


Nasionalis Tulen Meski Keturunan Arab

Politik devide et' empera yang dijalankan oleh Hindia Belanda terhadap kebijakan kependudukan di Indonesia kala itu cukup menguntungkan beberapa golongan. Orang Belanda, orang Eropa, atau bangsa lain yang dianggap sederajat masuk dalam stratifikasi sosial paling tinggi. Lain hal nya dengan orang keturunan China, India, dan Arab yang masuk dalam stratifikasi golongan menengah atau Timur Asing. Sedangkan pribumi Indonesia yang notabene tanahnya sendiri justru digolongkan sebagai golongan paling bawah diantara 2 golongan tersebut. Tentulah peggolongan penduduk tersebut bukan hiasan administrasi semata, masing-masing golongan menunjukkan tingkat kemakmuran dan perlakuan yang berbeda. Terutama dalam hal akses pendidikan, 2 golongan teratas Belanda/Eropa dan Timur Asing bisa mengakses pendidikan yang lebih baik dan tinggi daripada golongan pribumi. Tidak ayal bagi sebagian orang yang termasuk 2 golongan tersebut, malah menjadi menjadi ajang gengsi-gengsian kala itu.

Nah, bagi A.R Baswedan bentuk penggolongan penduduk tersebut sebagai upaya jahat Belanda untuk memecah belah penduduk Indonesia. Meskipun ia keturunan Arab, tetapi ia menolak menikmati kesempatan sebagai golongan Timur Asing yang bisa mendapatkan sejumlah keuntungan. Dalam praktik sehari-harinya, ia justru lebih Indonesia ketimbang orang Indonesia asli dari kalangan ningrat yang banyak pro terhadap Belanda. Menurutnya masyarakat keturunan Arab di Indonesia merupakan orang Indonesia tulen. Jauh sebelum kemerdekaan masyarakat keturunan Arab telah hidup berdampingan dengan pribumi secara damai bercampur-baur menjadi satu. Justru banyak orang-orang Arab yang berpendidikan tetapi menghendaki supaya menjadi orang Indonesia. Dalam kesehariannya mereka justru lebih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Arab yang dilain pihak pribumi sendiri lebih suka menggunakan bahasa daerah.

Hal ini bukan tanpa sebab, A.R Baswedan menyebutkan baik secara kultural maupun secara perasaan yang ada pada masing-masing keturunan Arab sama seperti saudara pribuminya. Peranakan Arab adalah Indonesia tulen, baik dilihat dari sudut keyakinan agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia sendiri maupun dari sudut nasab. Dari sudut nasab maksudnya ialah masyarakat keturunan Arab di Indonesia benar-benar sudah putus silsilah kekeluargaan mereka dengan sanak saudara di Arab, sebab mereka lahir dari ayah keturunan Arab yang menikah dengan ibu seorang pribumi. Di luar itu tidak ada satu negara Jazirah Arab pun yang secara gamblang mengklaim keturunan Arab di Indonesia adalah berkewarganegaraan mereka. Oleh sebab itu A.R Baswedan dan ribuan keturunan Arab lainnya keberatan apabila keberadaan mereka disebut-sebut berorientasi kepada negeri nenek moyang.

Upaya menyadarkan keturunan Arab agar memiliki nasionalisme Indonesia bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Karena dikalangan keturunan Arab sendiri saat itu masih banyak yang bertanya-tanya dan diliputi kegalauan, akankah tetap di Indonesia dan menjadi WNI atau kembali ke negeri nenek moyangnya? Tidak sedikit juga keturunan Arab yang memilih fokus berdagang daripada ikut-ikut dunia politik. Upaya itu kemudian baru berhasil pada 4 Oktober 1934 di Semarang melalui peristiwa Sumpah Pemuda Keturunan Arab (SPIKA) yang isinya yakni:
1. Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia
2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan mereka yang menyendiri
3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia

Segera setelah peristiwa SPIKA yang sangat jarang sekali ditulis dalam buku sejarah nasional, dibentulkan organisasi Persatuan Arab Indonesia yang kemudian berubah menjadi Partai Arab Indonesia (PAI). A.R Baswedan dalah salah satu pendiri partai yang beranggotakan warga keturunan arab tersebut. Partai ini didirikan bukan untuk membentuk suatu ke-eksklusifan politis keturunan Arab di Indonesia, dalam hal yang paling fundamental justru pendirian partai untuk mewujudkan isi dalam SPIKA. Pada saat mendirikan PAI ini, A.R Baswedan pernah berkata: "Bila suatu saat nanti Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, maka PAI harus bubar". Nyatanya pada 1942 lewat perintah Militer Jepang seluruh aktifitas politik dilarang termasuk eksistensi PAI, saat proklamasi dikumandangkan PAI tidak kembali didirikan bahkan dibubarkan secara resmi lewat Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 3 November 1945. Anggotanya yang tersebar di sekitar 56 cabang di berbagai kota di Indonesia dipersilahkan menyalurkan aspirasi politiknya ke dalam partai-partai yang telah ada sesuai kehendak masing-masing, sebagian besar eks- PAI banyak yang menjadi anggota Masyumi dan NU.

Berdirinya PAI merupakan suatu tamparan keras bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sedang gencar-gencarnya mengawasi aktifitas politik di Indonesia paska pemberontakan PKI 1925/1926. Aktivitas PAI dituding sebagai kelompok radikal, progresif-revolusioner, namun siap menghadapi segala risiko yang akan digencarkan pihak Belanda terhadap orang-orang keturunan Arab. Semua koran dan majalah milik kaum pergerakan nasional memberitakan dan memprogandakan kelahiran PAI sebagai gerakan yang progresif. Tidak heran jika para tokoh pergerakan nasional dengan senang hati turut menggembleng kader-kader PAI agar lebih gencar dalam kampanye memerdekakan Indonesia. 

Meskipun beranggotakan keturunan Arab, PAI diterima menjadi anggota Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI) yang pada tahun 1939 menuntut Hindia Belanda untuk memberikan kebebasan memerintah tanah airnya atau tuntutan tersebut lebih dikenal dengan "Indonesia Berparlemen". Bila GAPPI disebut-sebut sebagai persatuan partai-partai yang berhaluan nasionalis, beda dengan Majelis Islam 'Ala Indonesia (MIAI) yang didirikan KH Hasyim Asyari pada 21 September 1937, inilah wadah  perkumpulan dan partai Islam yang berhaluan Nasionalis namun berasas Islam. Uniknya, PAI merupakan anggota dari kedua organisasi gabungan partai-partai politik tersebut. Bila ditelaah lebih jauh, Anggaran Dasar PAI lebih mencirikan partai ini berhaluan nasionalis murni. Dalam pasal 2 Anggaran Dasar PAI disebutkan:
  1. Bahwa Indonesia adalah tempat peranakan Arab lahir adalah tanah airnya, yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban
  2. Bahwa kepentingan mereka dan rakyat Indonesia yang termasuk di dalamnya wajib diutamakan
Sedangkan pada Pasal 3 Anggaran Dasar PAI yang merumuskan tujuan dan usahanya disebutkan sebagai berikut:
  1. Mendidik peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri Indonesia yang berbakti kepada tanah air dan masyarakatnya
  2. Bekerja dan membantu segala daya upaya dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial, yang menuju keselamatan rakyat dan tanah air Indonesia.
A.R Baswedan salah satu pendiri sekaligus yang menjadi ketua PAI berhasil membuat mars partai yang ia susun bersama rekanya, berikut bunyinya:

"wahai putra Arab Indonesia.
Bersatulah mencari bahagia.
di dalam persatuan Arab-Indonesia.
Teguhkan, perkuatkan dia.
....
Indonesia! Semboyan persatuanku
Indonesia! Tanah tumpah darahku
Persatuan! Arab-Indonesia
Makin lama makin bersetia
Kita tetap setia".


Merintis Kemerdekaan Indonesia

Bagi A.R Baswedan, rela berkorban adalah salah satu bukti luhur dalam perjuangan memerdekakan Indonesia. Ia rela meninggalkan gajinya 125 gulden per-bulan yang cukup untuk membeli 25 kwintal beras demi membesarkan PAI. Ia tidak punya waktu untuk menjadi redaktur surat kabar, karena baginya berkeliling Indonesia adalah tugasnya dalam menanamkan nasionalisme khususnya kepada kalangan keturunan Arab.

Dirinya pernah hampir dijatuhi hukuman tembak oleh Kempeitai (Polisi Militer Jepang), karena ketahuan membuka segel siaran radio oleh Jepang. Ia nekat melakukan ini agar dapat mengetahui siaran radio luar negeri untuk disebarkan dan didiskusikan kepada kaum pergerakan. Untunglah datang Mr. Singgih yang bekerja di Pusat Tenaga Rakyat yang dipimpin Soekarno dan mengatakan bahwa A.R Baswedan adalah anak buahnya sehingga dibebaskan.

Pada 1945 ia diangkat menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada 15 Juli 1945 ia berpidato di hadapan seluruh anggota BPUPKI bahwa dari peranakan Arab tidak ada sama sekali seorang pun yang mengharapkan kerakyatan lain daripada kerakyatan Indonesia.  Oleh sebab itu ia mengusulkan agar peranakan Arab dimasukkan sebagai rakyat Indonesia (yang menolak dapat mengeluarkan diri dari kerakyatan Indonesia). Hal itu juga menurutnya harus tegas disebutkan dalam Konstitusi (UUD) agar menjadi stimulus dan kepercayaan diri yang tegas bagi keturunan Arab untuk terus berjuang. Usulan tersebut terwujud dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-udang sebagai warga negara".


Misi Diplomatik Demi Pengakuan Kedaulatan Indonesia


H. Agus Salim (paling kiri) dan A.R Baswedan (paling kanan) menyaksikan
penandatangan nota diplomasi pengakuan kemerdekaan RI oleh pejabat luar
negeri Mesir pada 1947. (Dokumentasi: rosodaras)

Sosok A.R Baswedan yang dikenal sebagai jurnalis dan politisi, juga dikenal sebagai seorang diplomat. PR terbesar bagi negara yang baru berdiri seperti Indonesia adalah soal pengakuan kemerdekaan. Meskipun kemerdekaan di proklamirkan pada 17 Agustus 1945, bukan berarti pada hari itu juga negeri ini mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari negara lain. Banyak masyarakat Indonesia yang berfikir bahwasanya pengakuan kemerdekaan pertama kali datang dari negara Mesir pada tahun 1946. Hal itu kurang tepat, karena merujuk pada hasil dari Konferensi Liga Arab di Kairo, Mesir pada 18 November 1946 yakni menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia dan menyerukan negara-negara Arab agar memberikan pengakuan kepada RI. Untuk mendapatkanya, Indonesia masih harus mengambilnya sendiri alias "jemput bola" ke negara-negara yang akan memberikan pengakuan.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, dibentuklah suatu delegasi yang akan berangkat untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan yang dipimin oleh Menteri Muda Luar Negeri H. Agus Salim ke Kairo, Mesir dan mendarat pada 10 April 1947. A.R Baswedan adalah salah satu dari rombongan delegasi tersebut yang menjabat sebagai Menteri Muda Penerangan. Suatu hal yang unik, para delegasi ini berangkat tanpa paspor! Ya, saat itu Indonesia belum mengeluarkan paspor tetapi diganti dengan secarik kertas semacam "Surat Keterangan Jalan" yang diberi cap dari Kementerian Luar Negeri disamakan dengan paspor. Tidak ayal karena dokumen perjalanan mereka yang tidak umum seperti paspor konvensional tersebut, menimbulkan sedikit kecurigaan terhadap petugas imigrasi bandara Kairo. Petugas imigrasi berulang kembali mengamati surat tersebut sesekali melihat ke tiap-tiap anggota delegasi. Setelah diterangkan oleh Agus Salim bahwa mereka adalah anggota delegasi misi diplomatik dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia,  dan disambut pertanyaan oleh petugas "are you moslem?" yang dijawab oleh semuanya "yes" secara serempak barulah mereka lolos. Lolos dalam artian secara keseluruhan, sebab tidak ada lagi pemeriksaan surat-surat di bandara tersebut termasuk pemeriksaan bagasi dan tas.

Setelah dari bandara Kairo delegasi tidak bisa langsung menemui Menteri Luar Negeri Mesir. Delegasi masih harus melakukan lobi terhadap Sekretaris Jenderal Liga Arab, organisasi Ikhwanul Muslimin, kantor pers Al-Ihram, dan pihak-pihak lainnya. Di luar hal tersebut kedatangan delegasi juga diprotes oleh duta besar Kerajaan Belanda di Kairo yang langsung menyampaikannya ke Kementerian Luar Negeri Mesir. Menurut sang duta besar, Indonesia masih di bawah kekuasaan Belanda dan saat ini pemerintahan yang ada ialah pemerintahan yang dipimpin oleh boneka Jepang (merujuk pada Soekarno-Hatta). Barulah pada 10 Juni 1947 mereka berhasil menemui Menteri Luar Negeri Mesir, Nokrasi Pasha. Naskah pengakuan (selanjutnya disebut nota diplomasi) ditandatangani oleh H. Agus Salim, Menteri Muda Luar Negeri yang mewakili RI dan Nokrashi Pasha Menteri Luar Negeri mewakili Republik Mesir. Jadilah naskah itu sebagai nota diplomasi yang sangat penting, karena menjadi yang pertamakalinya didapatkan pemerintah RI dari negara lain.

Mengingat pentingnya nota diplomasi dari Mesir tersebut, H. Agus Salim memerintahkan A.R Baswedan untuk segera menyampaikan nota tersebut ke pemerintah RI di Yogyakarta. H. Agus Salim pernah berkata ke Baswedan, "Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah saudara sampai di tanah air atau tidak, yang penting dokumen-dokumen ini harus sampai di Indonesia dengan selamat". Itulah sebabnya A.R Baswedan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia, sedangkan delegasi yang lain melanjutkan perjuangan mencari pengakuan ke nagara lain.

Perjalanan pulangnya ke tanah air harus ditempuh dengan transit di beberapa negara dan kota, seperti di Bahrain, Karachi (Pakistan), Calcutta (India), Rangon (Myanmar), dan Singapura. Sesampainya di Singapura ia belum bisa langsung terbang ke Indonesia. Ia tertahan sebulan menunggu situasi di tanah air kondusif setelah adanya ultimatum Van Mook, hal tersebut membuat bekalnya keburu habis dan terancam tidak bisa kembali ke Indonesia. Untunglah ada dua orang keturunan Arab Singapura yang berbaik hati membelikannya tiket dan berhasil mendarat di Jakarta pada 13 Juli 1947. Agar dapat mengelabuhi petugas bandara yang saat itu dijaga ketat oleh orang-orang Belanda, ia menyembunyikan nota diplomasi yang maha penting tersebut di dalam kaos kaki yang ia kenakan. Taktik itu berhasil, ia lolos pemeriksaan! Segera ia menuju ke rumah Amir Syarifuddin Perdana Menteri baru yang menggantikan Sutan Sjahrir. Kemudian dari Jakarta ia menuju Yogyakarta dan langsung menuju Gedung Agung untuk diserahkan ke Presiden Soekarno. Rombongan delegasi H. Agus Salim sendiri baru kembali ke Indonesia pada November 1947 setelah berhasil mendapatkan pengakuan dari 7 negara Arab ditambah Afganistan.


Gelar Pahlawan Nasional di Usulan Ketiga

Sosok A.R Baswedan yang perjuangannya begitu luhur dan berjasa besar bagi eksistensi RI memang tidak perlu lagi diragukan. Tahun 1970 beliau mendapatkan penghargaan sebagai Perintis Kemerdekaan berdasarkan Surat Keputusan No. Pol. 34/XII/74/PK. Hal itu masih ditambah dengan ditetapkannya sebagai Pendiri Bangsa (Founding Fathers) pada 99 November 1992 dengan Keprres No. 048/TK/Tahun 1992, dengan Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto. Jika masih kurang, pada 13 Agustus 2013 beliau juga mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana dari Pemerintah RI melalui Keppres No. 57/TK/2013. Penghargaan juga datang dari luar negeri, dari Pemerintah Mesir ia mendapatkan penghargaan yang disampaikan oleh duta besar Mesir untuk RI Sayed K. El Masry pada 1995 karena dianggap berjasa dalam membangun hubungan diplomatik RI-Mesir. Masih di tahun yang sama tepatnya pada Desember 1995, beliau mendapatkan penghargaan dari Presiden Aljazair Al-Sayyid Abdul Aziz karena dukungan dan keterlibatan terhadap Revolusi Kemerdekaan Aljazair dalam melawan Perancis.

Selain pernah menjabat Menteri Muda Penerangan, diketahui ia juga pernah menjabat menjadi anggota KNIP di awal kemerdekaan hingga anggota Konstituante dalam Pemilu 1955. Tahun 2011 ia mulai diusulkan sebagai Pahlawan Nasional dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini berdasarkan pertimbangan Tim Peneliti-Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) masa bakti tahun 2011. Akan tetapi pengusulannya ditolak berdasarkan surat dari Sekretaris Militer Presiden RI tertanggal 8 November 2011. Pengusulan kembali juga dilakukan pada 26 September 2012, namun masih ditolak lewat surat dari Sekretaris Militer Presiden RI tertanggal 7 November 2012. Pengusuannya baru berhasil pada tahun 2018. Pada 8 November 2018 almarhum akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo, Piagam Penghargaanya tertanggal 6 November 2018. 

A.R Baswedan wafat di Jakarta pada 16 Maret 1986 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta. Sosok yang sangat Indonesia dan menolak disebut non-pribumi serta rela meninggalkan embel-embel keekskulsifan keturunan Arab itu juga tercatat aktif di Persyarikatan Muhammadiyah. Kakek dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dan kemudian menjadi Gubernur Jakarta (2017) Anies Baswedan ini memiliki 11 anak dari perkawinan pertamanya dengan Sjaichun Ahmad pada 8 Mei 1925 (wafat 20 Juli 1948 di Surakarta) dan perkawinan keduanya dengan Barkah Al-Ganes 9 April 1950. Semoga sesegara mungkin beliau ditetapkan sebagai pahlawan nasional mengingat jasanya begitu besar bagi eksistensi Republik Indonesia. Handai taulan bisa membayangkan bukan jika nota diplomasi yang mahapenting tersebut gagal disampaikan ke pemerintah pada 1947?


Sumber:

Penulisan artikel ini menggunakan hasil keterangan, makalah,  maupun materi dalam Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Abdul Rahman Baswedan (1908-1986) di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 12 Mei 2016.
Makalah, paper, materi yang digunakan antara lain:

Abdul Rahman Baswedan, dkk, 2016, A.R Baswedan dan Pembentukan Negara-Bangsa, Panitia Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional A.R Baswedan (1908-1986) bekerjasama dengan The Fatwa Center, Jakarta.
Asvi Warman Adam, 2016. Makalah: Nasionalisme Warga Keturunan Arab, A.R Baswedan: Nota Diplomasi di Kaos Kaki, Jakarta.
Keterangan (pidato) yang disampaikan Anies Baswedan (cucu almarhum A.R Baswedan). 


Penulis:
M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment