Dibalik Penghapusan Sebutan Paduka Yang Mulia

Acting Presiden RI Mr. Assat (1950)
Sumber: Perpusnas.

Dikenal sebagai pribadi sederhana dan taat. Mr. Assat (gelar Datuk Mudo) mengganti sebutan Paduka Yang Mulia menjadi Saudara dalam percakapan sehari-hari dan persuratan resmi. 

Jabatan pejabat tinggi negara adalah jabatan yang prestisius dan penting dalam sebuah perangkat kenegaraan. Oleh sebab itu tidak heran rakyat atau orang-orang menyebut mereka sebagai yang mulia. Nama Presiden Sukarno dalam surat-surat resmi kenegaraan bahkan peraturan perundang-undangan sering dituliskan Paduka Yang Mulia (PYM) Presiden RI Ir. Sukarno. Tapi itu tidak berlaku bagi seorang Mr. Assat, Acting Presiden Republik Indonesia (RI) era RIS yang menjabat dari tanggal 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950. 


Merasa Tak Cocok Jadi Dokter
Mr. Assat (gelar Datuk Mudo)lahir pada 18 September 1904 di Agam, Sumatera Barat. Pendidikan dasarnya dihabiskan di Sumatera Barat sebelum akhirnya melanjutkan MULO Padang. Awalnya ia bercita-cita menjadi dokter yang kemudian mengantarkannya studi di STOVIA. Sayangnya, kemudian ia merasa cocok menjadi dokter hingga memutuskan keluar dari sekolah elit itu dan mendaftar di AMS (Sekolah setingkat SMA). Lulus dari AMS dilanjutkannya dengan menempuh pendidikan tinggi di Recht Hooge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Meskipun ia tergolong mahasiswa yang pintar, sayangnya ia dikeluarkan oleh pimpinan RHS karena berkecimpung dengan gerakan kebangsaan Jong Sumatranan Bond. Demi menyelesaikan kuliahnya, ia memilih hijrah ke Belanda dan melanjutkan studi hukumnya di Universitas Leiden dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau sarjana hukum. Demikian Desmira Feri Susanti dalam Peranan Mr. Assat Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (2015). 

Setamatnya dari Leiden, ia kembali ke tanah air dan berprofesi sebagai pengacara. Disamping itu, Assat yang sudah terbius dengan gerakan kebangsaan juga aktif dalam Partindo antara tahun 1931-1936. Sikapnya yang teguh memegang prinsip anti-kooperator dibuktikannya dengan menolak tawaran-tawaran pekerjaan yang cukup baik dari pemerintah kolonial. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 ia bekerja di dunia perbankan. Namun pekerjaan itu tidak dipegangnya lama, pemerintah pendudukan Jepang menunjuknya menjadi Camat Gambir dan kemudian naik menjadi wedana wilayah Mangga Besar. 


Ketua KNIP
Pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 ia dikenal aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ketika ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta, BP (Badan Pekerja) KNIP juga turut hijrah bersama Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan menteri-menteri lainnya. Selama di dalam KNIP pada masa revolusi yang serba tidak menentu itu, ia kemudian dipilih menjadi Ketua KNIP pada Januari 1948 mengganti Soepeno yang diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda. Nahas, jabatan itu juga tidak efektif ia laksanakan karena pada Agresi Milter Belanda II tanggal 19 Desember 1948 ia turut ditangkap oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Menumbing, Bangka, bersama Presiden Sukarno. 

Seiring tercapainya persetujuan Roem-Roiyen pada 6 Juli 1949, ia akhirnya dibebaskan bersamaan dengan pemimpin Indonesia lain yang turut ditawan. Jabatan ketua KNIP ia teruskan hingga akhirnya lembaga negara itu dibubarkan menjelang penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949. Memasuki era baru Indonesia bersistem federal (serikat), Sukarno diangkat menjadi Presiden RIS dan harus pindah ke Jakarta. RI pun turun derajat menjadi salah satu negara bagian dalam RIS. Untuk mempertahankan RI agar tetap eksis yang beribukota di Yogyakarta, maka Assat diangkat menjadi Pelaksana Tugas Presiden atau Acting Presiden RI hingga direncanakan berhasil terselenggara pemilu untuk memilih Presiden RI yang baru. Jabatan itu ia pegang hingga dihapuskannya RIS dan kembali ke bentuk kesatuan pada 17 Agustus 1950. 


Enggan di Panggil Paduka

Mr. Assat Gelar Datuk Mudo selama memangku jabatan Acting Presiden RI menolak pemanggilan Paduka Yang Mulia pada dirinya. Hal itu berangkat dari perilaku kesederhanaannya. Selama ia menjadi Ketua KNIP ia lebih memilih berjalan kaki atau naik sepeda ke gedung tempat kerjanya daripada menggunakan supir. Desmira sebagaimana penelitian di atas juga menambahkan, peci beludru yang ia kenakan tidak pernah lepas dari kepalanya selama masa revolusi kemerdekaan dan biasa berjalan kaki atau bersepeda selama menjalankan tugas. Untuk itu ia lebih memilih dipanggil Saudara Acting Presiden atau Bung saja daripada Paduka Yang Mulia. Menurutnya panggilan itu terlalu birokratis dan mengesankan jarak yang terlalu jauh antara rakyat dengan pejabat pemerintah. Keinginannya itu tidak hanya diungkapkan secara pribadi atau personal. Lebih jauh lagi bahkan menjadi suatu anjuran yang berlaku di seluruh wilayah RI waktu itu. 
Potongan berita tentang penggantian sebutan Paduka ke Saudara
Sumbr: Kalimantan Berjuang 10 Februari 1950


Kantor Berita ANTARA pada 8 Februari 1950 mewartakan dalam lingkungan Kementerian Penerangan, terdapat edaran dari Menteri Penerangan Wiwoho Parbohadjojo untuk mengganti sebutan "Jang Mulia" dan "Paduka Tuan" baik di dalam percakapan maupun surat menyurat. Sebagai gantinya, menurut edaran itu cukup disebut "Bapak" terhadap person yang lebih tua atau "Saudara" kepada sesama atau yang layak menurut pandangan masing-masing. Pada Sidang Kabinet RI juga diberitakan bahwa kementerian lainnya juga akan menyusul menjalankan edaran itu. Demikian dikutip oleh Surat Kabar Kalimantan Berjuang tanggal 10 Februari 1950.

Entah sampai kapan ketentuan yang sangat populis ini bertahan, yang jelas setelah 1950 hingga masa Demokrasi Terpimpin tahun 1960an sebutan Paduka Jang Mulia kembali mewarnai surat-surat resmi negara. 


Penulis:
M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment