Geramnya Ki Anjang Samad (Kisah Perang Belangkait Kerajaan Simpang 1912-1915 Bag.2)


Tulisan kali ini lanjutan dari tulisan bagian pertama tentang Perang Belangkait yang terjadi di Tanah Kayong antara 1912-1915.

Pohon Dungun Kapal (Kisah Perang Belangkait Kerajaan Simpang 1912-1915 Bagian 1)

Kisah ini diambil dari buku berjudul “Sekilas Menapak Kerajaan Tanjung Pura" . Buku ini ditulis oleh H. Gusti Muhammad Mulia sebagai Raja Kerajaan Simpang ke-7 yang di lantik pada tahun 2008 dan wafat di tahun 2017 yang lalu. 


KEMURKAAN PANGLIMA PERANG KERAJAAN SIMPANG

Suatu hari Belanda datang kembali dengan tipu muslihat yang baru, menghadap lagi ia ke Panembahan Gusti Panji, menyodorkan kontrak untuk menandatangani.  Namun Panembahan Gusti Panji tetap tidak mau menerima kontrak pendek atau yang di sebut Korte Verklaring tersebut . 

Akhirnya Belanda angkat bicara, "Kalau Tuan Panembahan tidak mau menerimanya, maka kami akan menghadapi sendiri rakyat tuan," kata seorang Belanda yang bernama Letnan Obos dengan marahnya sambil menghempas kepalan tangannya di atas meja. Panembahan Gusti Panji , sadar akan kekuatan kerajaannya, ia hanya memiliki sedikit pasukan, ia tidak berdaya untuk menghadapi Belanda yang memiliki tentara lebih banyak dengan dilengkapi perlengkapan senjata yang cukup. 

Berkatalah Gusti Panji  dengan suara yang berat, "Silahkan Tuan datangi saja sendiri rakyat saya, mudah mudah-mudahan tuan diterima rakyat dengan baik."  Rombongan Letnan Obos lalu pulang. Keesokan harinya mulailah Belanda menuju ke segenap kampung yang berada di bawah kekuasan Kerajaan Simpang. Mereka memaksa rakyat untuk membayar pajak atau belasting, pada masa itu rakyat simpang mengenalnya  dengan sebutan “pungkar”. 

Setiap orang membayar pajak badan, pajak kebun, lalu mencari macam-macam pajak di mana rakyat sendiri tidak mengerti maksud tujuan pajak-pajak itu sendiri. Terkenallah tuan-tuan Belanda yang memimpin penagihan pajak ini seperti Letnan Obos. Rakyat menyebutnya "Tuan Sepak" dan "Tuan Tendang", mereka berlaku kejam karena sering menyepak dan menendang sehingga di beri sebutan itu oleh rakyat simpang. Karena rakyat tidak ingin membayar pajak, maka rakyat mencari bermacam-macan dalih untuk mengelakkannya, maka dikirimlah Tuan Sepak yang terkenal dengan sepak dan tendangannya. Dengan keangkuhannya ia  menyepak dan menendang setiap rakyat yang tidak mau membayar pajak. 

Rakyat tidak berdaya, Panembahan Gusti Panji, juga tidak mampu mengatasi Belanda. Kemudian di masa itu muncullah seorang pemberaani di tengah tengah keadan yang mengalami krisis parah di Negeri Simpang , yakni seorang Patih yang berasal dari Kampung Sepuncak yang bernama Abdus Samad yang bergelar Patih atau Hulubalang I, kemudian ia lebih dikenal dengan nama Ki Anjang Samad. 

Ilustrasi berkumpulnya panglima-panglima perang Kerajaan Simpang
(Sumber: Film Belangkaet)

Ki anjang samad mendidih darahnya melihat daerahnya diinjak-injak,  martabatnya serasa tercabik cabik manakala melihat rakyat Simpang meminta belas kasih dan berlutut pada serdadu Belanda. Karena selama hidupnya belum pernah rakyat dimintai pajak oleh Panembahan, yang ada hanya bantuan sukarela secara bergotong-royong mengantar upeti sebagai bakti kesetiaan rakyat kepada sang Panembahan.  Kemudian bakti itu di balas oleh Panembahan dengan menyediakan bahan-bahan kebutuhan rakyat, seperti: pakaian, bahan-bahan makanan, tembakau, garam, kemudian alat-alat untuk berladang serta yang lainnya.

Dari itulah Ki Anjang Samad memberontak, lalu ia menanamkan semoboyan kepada rakyat  yang hingga saat ini masih terpatri dalam kenangan rakyat Simpang. Semboyannya yang terkenal itu adalah  "lebih baik mati, daripada  harus membayar belasting”.Kemudian mulailah ia menghadap Gusti Panji dan meminta restu lalu ia menyusun kekuatan secara diam diam.  Ki Anjang Samad mengumpulkan tenaga-tenaga muda kemudian membakar semangat rakyat untuk membebaskan rakyat simpang dari cengkeraman Belanda. 

Kemudian setelah semuanya siap datanglah kembali  Ki Anjang Samad menghadap Panembahan Gusti Panji untuk menyampaikan kebulatan tekat seluruh rakyat untuk mencari keadilan. Gusti Panji dengan penuh haru melihat hal ini, di tambah lagi ia mendengar suara hati rakyatnya yang tidak ingin tanah tumpah darahnya diinjak-injak, rakyat diperas dan diperlakukan sewenang-wenang  oleh Belanda. Maka dari itu direstuilah  perjuangan tekad hati rakyatnya itu untuk perjuangan melawan penjajah Belanda. 

Maka selanjutnya turunlah Gusti Panji ke kampung-kampung untuk langsung menyeru rakyatnya agar ikut berjuang bersama sama.  Kepada yang sudah tua, dan perempuan, serta anak-anak diperintahkan mengungsi lalu dibuatkan tempat persembunyian yang jauh dari kampung.

Dihimpunlah seluruh pendekar di tanah Simpang dari Kampung Sepuncak, Kampung  Kembereh, Kampung Bukang, Kampung Banjor, Kampung Gerai, Kampung Kelam, dan kampung kampung lainnya. Pada waktu itu datang juga bala bantuan  dari Hulu Tumbang Titi utusan dari Uti Usman yakni seorang pejuang yang anti belanda. Pasukan dari Tumbang Titi ini lengkap dengan persenjataannya yang berupa parang/apang 'mandau' serta perisainya yang berjambulkan bulu-bulu burung, kemudian pada gagangnya berhiaskan bulu burung enggang.

Kedatangan mereka ini menambah semangat rakyat Simpang, dengan pekikan tekad perjuangan karena tujuan mereka bersama untuk mengusir serta mengalahkan penjajah Belanda. Rombongan dari Tumbang Titi ini  dipimpin oleh Panglima Ropa (yang buta matanya di sebelah kiri). Kemudian di ikuti pula oleh lima orang lain yang bergelar panglima, yakni: Panglima Enteki , Panglima Ida, Panglima Gani, Panglima Etol, dan Panglima Gecok. 

Masing-masing panglima ini memberikan motivasinya pada pejuang rakyat Simpang. Alhasil mereka memiliki keberanian dan juga ketangkasannya.  Kepala burung yang menghiasi hulu apang mandaunya itu adalah hasil memantap (yakni berburu sambil melompat). Lalu ke lima panglima itu berunding di tempat Ki Anjang Samad di Kampung Sebango.  Dibangun pula saat itu  balai untuk tempat bertarung,  kemudian barak  sebagai pusat pengungsian rakyat yang tidak ikut berjuang. 

Dibalai ini pulalah diadakan ritual adat memantrai senjata atau di sbeut dengan rutial “mengumpani” selama tiga malam berturut -turut. Saat ritual dilaksanakan semua jenis senjata dikumpulkan dari mulai, parang, pedang, tombak, sumpit, senapan lantak,  senapang  terekol, serta senjata-senjata pusaka bertuah lainnya. 

Ayam dipotong/disembelih dengan darah yang tidak boleh tertumpah ke tanah, kemudian para perempuan membuat ketupat  lalu ayam panggang di siapkan sebagai persembahan untuk memberi makan “komang” atau hantu senjata. Selanjutnya di tengah-tengah balai tersebut di buat perapian yang besar, dan digantung dua buah gong atau tetawak, kemudian gong tersebut di pukul pukul dengan bersahut sahutan menggema di dalam hutan belantara diiringi dengan  nyanyian mantera mantera yang dikepalai oleh Datok Tenteki sebagai dukun.  "Hai hantu Komang hantu bernyawa minta turun untuk mengumpani segala senjata”. Demikilanlah ucap Datok Tenteki berkali kali memanggil hantu Komang di tengah hutan belantara.

Upacara ini dilakukan hingga pagi hari dan kemudian semua makanan harus dibuang ke sungai dan tidak boleh dimakan lagi. sSbab menurut keyakinan hanya tinggal ampasnya saja, sedangkan  sari makannya sudah tidak ada lagi karena sudah dimakan hantu komang. Selama upacara itu berlangsung, para panglima mengadakan latihan perang. Melompat sambil menatap, mulai dari setinggi dada hingga diiringi pekikan, atau mangkas guna mencari semangat atau kekuatan. 

.....(bersambung)


Penulis: Miftahul Huda

Editor: M. Rikaz Prabowo

0 Comments:

Post a Comment