Tulisan kali ini lanjutan dari tulisan bagian pertama tentang Perang Belangkait yang terjadi di Tanah Kayong antara 1912-1915.
Geramnya Ki Anjang Samad (Bagian 2)
Kisah ini diambil dari buku berjudul “Sekilas Menapak Kerajaan Tanjung Pura" . Buku ini ditulis oleh H. Gusti Muhammad Mulia sebagai Raja Kerajaan Simpang ke-7 yang di lantik pada tahun 2008 dan wafat di tahun 2017 yang lalu.
MELANGKAH MATI, TAK MELANGKAH JUGA MATI
Setelah selesai upacara pemberian makan senjata dan latihan memantap, maka disiapkan penyerangan ke tangsi militer Belanda di Sukadana. Saat ini tangsi tersebut berada di samping Kantor PLN dekat Balai Nirmala. Lalu pagi-pagi sekali berangkatlah para panglima di bawah pimpinan Ki Anjang Samad dengan menaiki dua buah sampan yang cukup besar di sebut dengan kolek, bermuatan 20 hingga 50 orang.
Tiba di Sukadana, mereka langsung mengadakan penyerbuan ke tangsi Belanda, namun ternyata tangsi militer Belanda di Sukadana telah kosong. Setelah ditanyakan kepada penduduk, pasukan Belanda rupanya dikerahkan
ke hulu Ketapang untuk mematahkan perjuangan dari Uti Usman yang juga melakukan
perlawanan kepada Belanda .
Kemudian mereka menyeberang
ke Pulau Datuk untuk menyerbu loji atau kantor Belanda. Saat ini loji tersebut
hanya tinggal puing-puing bata merah. Sayangnya cagar budaya peninggalan
ini kurang terawat, bahkan di area loji ini dibuat bangunan baru yang merusak
sebagian struktur bata merah sebagai bagian dari cagar budaya tersebut.
Kembali pada kisah Perang Belangkait, ketika para pasukan Ki Anjang Samad sampai temyata loji itu juga kosong ditinggalkan oleh Belanda. Akhirnya pulanglah mereka dengan kekecewaan, dan menuju Kampung Subango sambil menanti kedatangan Belanda. Tiga hari kemudian datanglah serdadu Belanda dengan Kapal Bukat yang dipimpin oleh Si Tuan Sepak dan Letnan Obos. Semua serdadu dikumpulkan di Kampung Belangkait, sebuah kampung yang tidak jauh dari Kampung Sebango.
Mendengar berita kedatangan serdadu-serdadu Belanda, maka pasukan dari Kerajaan Simpang menyiapkan diri untuk mempersiapkan penyerangan. Kemudian dipilihlah hari jum'at untuk melakukan penyerbuan terhadap belanda yang sudah ada di Kampung Belangkait. Pada malam hari diadakanlah musyawarah untuk menyusun rencana dan strategi. Disitulah Panglima Ropa mengatakan, "Malam ini kita bercamis kemudian pagi-pagi nanti kita akan menyerang mereka (bercamis adalah bersiap secara zahir dan rohani termasuk mengemaskan alat-alat dan senjata).
Sepanjang malam
itu mereka terus berjaga-jaga hingga menjelang pagi. Lalu bertanyalah Panglima
Ropa kepada Ki Anjang Samad, "kapan kita melangkah panglima?", tanya
panglima ropa, lalu di jawab singkat oleh Ki Anjang Samad "terbang
lalat,". Terbang lalat dalam bahasa Ki Anjang Samad di artikan bahwa
mereka turun pagi seiring dengan lalat yang sudah keluar dari sarangnya.
Dalam suasana tegang yang hening, ketika sang fajar sudah mulai menyembul, suara suara kokok ayam bersahutan, suara burung sudah mulai berkicau, lalu lalat pun mulai terbang, berdirilah Ki Anjang Samad, kemudian dengan serempak diikuti yang lain. Hanya dengan tiga patah kata, "Kita berangkat sekarang", begitulah kata Ki Anjang Samad dengan nada yang berat penuh semangat . Ketika melewati pintu, tersantuklah kepala Ki Anjang Samad. Maka berdetaklah jantungnya, buyarlah semangatnya, karena hal itu merupakan sebuah pertanda yang tidak baik bagi dirinya.
Lalu kembali ia
mengukuhkan niatnya dengan berkata, "Aku melangkah mati, tak melangkah pun
juga mati,". Dengan penuh
ketenangan, pergilah mereka bersama turunnya matahari dari peraduan. Lalu berlayarlah mereka dengan dikomandani
oleh Ki Anjang Samad, dengan menyusuri
sungai menuju Kampung Belangkait.
Sementara di pos Belanda yang di bangun di Kampung Belangkait,
Belanda sudah bersiap siaga menanti kedatangan pasukan Ki Anjang Samad. Kini tibalah saatnya, peperangan itu pun
meletus dengan berhadap-hadapan antara tentara Belanda yang di pimpin oleh Letnan Obos dan Tuan Sepak,
sementara diseberang sungai dengan Ki Anjang Samad bersama pengikutnya.
Pada waktu itu Letnan Obos dan Tuan Sepak memakai baju besi, sementara tentara Belanda di sekelilingnya berbentengkan banir atau kayu besar yang sudah mati. Akhirnya terjadilah tembak-menembak yang tidak seimbang antara pasukan Belanda dan pasukan rakyat Simpang. Terdengar sesekali letusan dari pasukan Ki Anjang Samad yang tidak banyak memiliki senapan lantak, kemudian mendapat balasan seperti letusan mesiu dibakar dari pasukan Belanda.
Namun demikian, kendati tembakan dari pasukan Ki Anjang Samad hanya sesekali, tetapi semuanya mengenai sasaran yang tepat, maka pada saat itu bergelimpanganlah mayat para serdadu Belanda menemui ajalnya. Pada perang belangkait ini terkenal lah seorang penembak jitu, yang kebal dari timah panas, ia bernama Ki Julak Laji yang saat itu sudah sangat tua. Dengan peluru andalan yang bernama peluru betunang, setiap letusan lantaknya pasti menumbangkan lawannya.
Dikisahkan bahwa pada saat perang terjadi, Ki Julak Laji sambil menggendong cucunya, dimana sang cucu berperan untuk membantu mengisi peluru. Pada saat di medan perang, Ki Julak Laji yang kebal di hujani peluru oleh Belanda di bagian dadanya hingga bajunya hancur berlubang, akan tetapi tidak satupun peluru yang berhasil menggores kulitnya. Pada saat dadanya sudah di rasa panas karena di hujani peluru Belanda, maka ia terjun ke dalam sungai dan berendam untuk beberapa saat lamanya, lalu naik kembali dan menembakkan senapan lantak ke sasarannya.
Akhimya Belanda merubah
taktiknya dengan tidak lagi bertahan, tetapi mulai menyerang dengan menyeberangi
sungai menggunakan batang pohon
dungun. Sesampai di seberang para
serdadu Belanda membabi buta memuntahkan peluru-peluru mereka, namun para
pejuang dari rakyat simpang tidak gentar, selama belum ada perintah mundur dari
panglimanya yakni Ki Anjang Samad, mereka terus melawan dengan persenjataan
apa adanya.
Pada saat
peperangan, tiba tiba Ki Anjang Samad terkena tembakan dari Letnan Obos tepat di dada dan kepalanya. Saat itu pakaian hitam yang di kenakan Ki Anjang Samad berlumuran menjadi berwarna merah penuh akan darah, tidak beberapa lama Ki Anjang Samad pun roboh dalam perjuangannya membela negerinya.
Menjelang waktu
ashar berakhirlah pertempuran pada hari itu, dengan gugurnya panglima perang Ki Anjang Samad yang telah membela tanah airnya dengan
ikhlas dan tanpa pamrih, bahkan jiwa dan
raganya ia korbankan demi membela rakyat Simpang .
Para pengikut Ki Anjang Samad kemudian berangsung angsur mundur serta kembali ke posnya yang berada di Bengkujung. Meskipun demikian, Belanda merasa kesal, melihat hasil pertempuran yang menelan banyak biaya, bukan sedikit peluru yang keluar bagaikan curahan hujan, namun hanya menjatuhkan satu orang korban. Diantara panglima-panglima pengikut-pengikut Ki Anjang Samad tidak ada yang terbunuh, hanya Panglima Ida yang terluka sedikit pada dagunya. Sementara serdadu Belanda hanya tinggal separuhnya saja.
.....bersambung
Penulis:
Miftahul Huda
Editor:
M. Rikaz Prabowo
0 comments:
Post a Comment