Tulisan kali ini akan merujuk pada sumber utama, yakni buku berjudul “Sekilah Menapak Kerajaan Tanjung Pura" . Buku ini ditulis oleh H. Gusti Muhammad Mulia sebagai Raja Kerajaan Simpang ke-7 yang di lantik pada tahun 2008 dan wafat di tahun 2017 yang lalu. Beliau sendiri lahir pada tanggal 5 Juni 1938 dan merupakan putra ketiga dari Yang Mulia Raja Gusti Mesir dan Nyai Utin Tahara. H. Gusti Muhammad Mulia semasa hidupnya berkiprah sebagai seorang guru dan aktif di berbagai organisasi baik di bidang pendidikan maupun yang berbasis sejarah dan budaya. Pada tahun 1965 di masa mudanya ia pernah bergabung dengan sebuah tim yang di namai dengan Ekspedisi Mentawai. Tujuan dari ekpedisi tersebut adalah menggali sejarah lisan yang ada di Kerajaan.
Tanjungpura. Kemudian salah satu hasil riset tersebut menjadi salah satu rujukan dengan terbitnya buku karya J.U Lontaan di masa Gubernur Kadarusno pada tahun 1973 dengan judul “Sejarah Dan Adat Istiadat Kalimantan Barat “. Lebih jauh lagi, Sejarah Perang Belangkait yang ditulis oleh H. Gusti Muhammad Mulia ini merupakan salinan asli dari buku sejarah "Menapak Tilas Kerajaan Tanjung Pura" yang juga bersumber dari catatan berbahasa Arab Melayu yang ditulis oleh Gusti Maerat atas permintaan Gusti M. Saleh yakni seorang Wedana Sukadana pada tahun 1956.
Kisah Perang Belangkait telah menjadi tradisi lisan yang terus dituturkan dari generasi ke generasi hingga sekarang. Peristiwanya bukan kisah yang fiksi, melainkan nyata pernah terjadi antara tahun 1912-1915. Tetap dilestarikannya kisah ini sebagai bentuk agar masyarakat Simpang dan Ketapang pada umumnya tidak melupakan sejarah, dan dapat mewarisi semangat serta nilai-nilai perjuangan yang dilakukan para pendahulunya.
PENANGKAPAN
RAJA GUSTI PANJI
Pada masa Gusti Muhammad Roem yang bergelar Panembahan Kesumaningrat, sebagai pengganti Gusti Mahmud, Belanda sudah mulai berkuasa dengan menjalankan isi perjanjian-perjanjian yang telah ditanda tangani.Gusti Muhammad Roem setelah meninggal digantikan oleh anaknya yakni Gusti Panji yang bergelar Panembahan Suryaningrat. Diawal pemerintahannya, Belanda berusaha mempererat hubungan (penguasaannya) terhadap Kerajaan Simpang .
Ilustrasi sosok Gusti Panji (Sumber: Kayong TV) |
Belanda ingin menunjukan betapa eratnya
hubungan mereka dengan Kerajaan Simpang,
hingga ikhwal kematian Raja Willem III disampaikan Belanda kepada Panembahan Simpang pada 14 Januari 1891. Kemudian, Belanda bermaksud
melanjutkan perjanjian dengan Gusti Panji, seperti pendahulunya dengan
persetujuan Kontrak Pendek, namun ditolak mentah mentah oleh Gusti Panji. Belanda kecewa
akhirnya mereka datang dengan kapal perang yang penuh dengan tentara, dengan
maksud untuk memaksakan penandatanganan perjanjian tersebut, apabila Gusti Panji menolak maka akan di bawa oleh Belanda.
Gusti Panji yang sudah cukup lanjut usia tersebut tidak memiliki cukup kekuatan untuk menghadapi Belanda, namun sikap jantan, dan harga diri serta martabat membuatnya tetap bertahan dengan pendiriannya, ia tidak mau menanda tangani kontrak pendek hingga Belanda tidak mengakui ia sebagai Raja Simpang. Panembahan Gusti Panji kemudian ditangkap dan akan ditawan ke Batavia. Dengan tenang Panembahan Gust Panji yang sudah lanjut usia namun berbadan tegap itu turun dengan diiringi oleh para menteri dan hulu balang serta penghuni istana yang hanya bisa meratapi keadaan saat itu.
Ketika tiba di pelabuhan, di mana kapal Belanda telah siap, maka berkatalah Gusti Panji, "Tuan-tuan tolong imbangi kapal tuan, karena aku akan turun (dari dermaga-red)." Pada saat itu kapal harus siap berangkat dan mesinnya sudah dihidupkan, hanya tinggal menantikan turunnya panembahan Gusti Panji. Para serdadu Belanda dengan angkuh lalu tersenyum sinis sambil bertolak pinggang dan berkata, "Berat Tuan Panembahan hanya beberapa kilo, sedang kapal ini begitu besar," ungkap salah seorang Belanda.
Kemudian Gusti Panji melangkah, dengan senyum ia menginjakkan sebelah kakinya ke tepi kapal. Namun baru saja kaki sebelahnya menginjak, maka miringlah kapal tersebut, lalu semua serdadu pindah ke sebelah kanan untuk mengimbangi beratnya sang Panembahan. Panembahan Gusti Panji tetap masuk ke dalam, akan tetapi kapal tetap miring ke samping, kendati sudah diimbangi oleb para serdadunya. Kemudian berangkatlah kapal itu dalam keadan yang semakin miring, tidak seberapa jauh dari pelabuhan, tepatnya di dekat sebatang pohon dungun yang besar, kapal itu menabrak pohon dungun dan terdampar ke darat .
Maka Berlompatanlah para serdadu serdadu Belanda mendorong kapal itu ke sungai. Namun kapal tidak bergerak sedikitpun. Berkali-kali komandannya meneriakan aba-aba, agar serentak mendorong mundur kapal, namun demikian kapal tetap saja tidak bergeser sedikitpun. Walau seluruh tenaga serdadu sudah dikerahkan, diatas kapal hanya tinggal para perwira dan Panembahan saja. Akhimya, turunlah Gusti Panji, kemudian dengan tangan kiri digerakkanlah kapal tersebut, lalu secara ajaib perlahan-lahan kapal tersebut mundur ke sungai.
Hingga saat ini Pohon dungun tempat terdamparnya kapal Belanda itu dinamai penduduk sebagai Dungun Kapal. Oleh karena peristiwa itu Panembahan gusti Panji tidak jadi ditawan oleh Belanda, mereka lalu kembali dengan kekecewaan. Dengan demikian Gagal lah usaha belanda untuk menawan Panembahan Gusti Panji.
........(bersambung)
Penulis: Miftahul Huda
Editor: M. Rikaz Prabowo
0 Comments:
Post a Comment