Hikayat Kaum Digulis di Borneo Barat


Tugu Digulis Pontianak yang terletak di Jl. Jenderal Ahmad Yani bundaran Universitas Tanjungpura 
(Sumber: detik.com)


1 April 1927, Pemerintah Kolonial memutuskan 11 orang tokoh Sarekat Rakyat (SR) di Kalimantan Barat dibuang ke Boven Digul. Dianggap sebagai komunis ekstrem oleh Belanda. Pemerintah RI menetapkannya sebagai Perintis Kemerdekaan.


Geger pemberontakan komunis pada 1926-1927 telah membuat Pemerintah Hindia Belanda geram bukan kepalang. Kaum komunis yang dari dulu sudah diwaspadai dan dimata-matai oleh aparat kolonial itu dianggap telah menampar wajah pemerintah kolonial dengan berani melakukan pemberontakan pada akhir tahun 1926 hingga Januari 1927 di dua tempat berbeda, yakni Banten dan Silungkang (Sumatera Barat). Meskipun pemberontakan ini dinilai masih prematur dan mudah ditumpas oleh pemerintah kolonial, tapi tetap saja dampaknya membuat mandek perjuangan organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan. Tanpa memandang bulu, komunis atau bukan, terlibat pemberontakan atau tidak, asal dicap radikal oleh aparat kolonial mereka langsung ditahan tanpa proses peradilan. Hal itu juga menimpa tokoh pergerakan nasional di Kalimantan Barat yang tergabung dalam Sarekat Rakyat (SR) Pontianak.

Kemunculan SR dapat ditarik dari eksistensi Sarekat Islam 'Merah', yang digawangi tokoh-tokoh seperti Haji Misbach, Semaun, Darsono, Ali Archam, dan tokoh-tokoh SI lain yang dianggap telah "murtad" oleh organisasi. Pasalnya, kelompok Sarekat Islam ini dinilai telah terpengaruh oleh ajaran Marxisme. Di lain hal SI 'Merah' menganggap perjuangan SI semakin hari semakin kendor dan kurang militan. Malahan beberapa tokohnya dalam praktik menjadi golongan yang kooperatif dengan pemerintah kolonial dimana hal ini sangat ditentang oleh SI 'Merah' yang berisi pemuda-pemuda penuh semangat. Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Barat, dimana tokoh-tokoh muda SI seperti Gusti Sulung Lelanang, Muhammad Hambal, dan Haji Rais bin Abdurrahman yang pada tahun 1919 menyatakan keluar dari SI. Menurut mereka, hanya partai/organisasi yang berhaluan revolusioner yang dapat dijadikan tempat bernaung rakyat yang mengharapkan pembelaan atas nasibnya. Demikian Soedarto, dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat. (1978)

Selain sempalan anggota dari SI, SR Pontianak juga didirikan oleh pengurus Nationaal Indische Partij (NIP) yang bernama lain Insulinde. Kepengurusan NIP di Kalimantan Barat digawangi oleh Djeranding Abdurrahman, Gusti Muhammad Hamzah, Moestava, Abdul Samad, dan Abdul Halim yang hanya bertahan hingga tahun 1923. Baik tokoh-tokoh SI maupun NIP nampaknya pada waktu itu sangat tertarik sekali dengan ide-ide sosialisme ala Sneevliet yang berkembang di Jawa. Kondisi ini juga didukung dengan keadaan sosial-ekonomi di Kalimantan Barat, mereka melihat kondisi rakyat dengan perbedaan yang sangat mencolok antara petani, pekerja perkebunan dengan pemilih tanah dan kebun. Belum lagi, pada setiap krisis, merekalah yang selalu terkena imbas yang paling parah. Listiyawati Nurcahyani (2019) dalam Pemikiran Haji Rais bin Abdoerrachman dan masa Pergerakan Nasional di Kalimantan Barat 1900-1942, mengungkapkan salah satu keinginan para tokoh SR saat itu yakni berjuang untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan yang disebabkan oleh kaum kapitalis. 

Pada 1924 berdirilah Sarekat Rakyat (SR) di Kalimantan Barat yang berpusat di Pontianak. Karena berhaluan komunisme, SR merupakan underbouw dari Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia lewat bentuk atau selubung yang lain. Masih ditambahkan oleh Listiyawati Nurcahyani (2019), para tokoh SR sangat terinpsirasi dari propaganda yang dilakukan oleh Haji Misbach yang menjadikan Islam dan Komunisme sebagai jalan perjuangan yang sama. Sehingga tidak heran para pengikutnya juga disebut sebagai Islam Merah. Uniknya, tokoh-tokoh SR  sebagian besar berasal dari kalangan bangsawan intelektual yang masih memiliki hubungan genealogis dengan pembesar kesultanan-kesultanan Islam di wilayah ini. 

(Sumber: Listiana, Nurcahyanti, Rahmayani)


Gusti Sulung Lelanang yang dianggap sebagai ketua SR diketahui pernah belajar politik langsung dari tokoh-tokoh PKI seperti Alimin dan Tan Malaka. Kesempatan itu ia peroleh saat bersekolah di Normalschool (Sekolah Guru) di Jatinegara (Batavia) sebelum ia kembali ke Kalimantan Barat dan mendirikan SR pada 1924. Demikian Ya' Achmad, dkk, dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat (1981). Sementara itu Haji Rais bin Abdurrahchman diketahui juga menempuh pendidikan ke Jakarta pada 1920 setamatnya dari HIS di Pontianak. Namun justru di sinilah Haji Rais banyak menimba ilmu tentang jurnalis dan surat kabar yang terbit di Jakarta seperti Neratja, ujar Suwignjo dalam Listiyawati Nurcahyani. Kepiawaiannya dalam dunia jurnalistik juga tidak lepas dari peran mentor Haji Rais yang saat itu dikenal sebagai tokoh jurnalis progresif seperti Parada Harahap (Pimpinan Redaksi Bintang Hindia) dan Djojopranolo (pimpinan redaksi Menjala)

Haji Rais bin Abdurrachman
(Sumber: Lisyawati Nurcahyani dalam
Pemikiran H.Rais bin Abdurrachman... (2019)


Baik Gusti Sulung Lelanang maupun Haji Rais bin Abdurrachman merupakan sosok yang mewakili golongan bangsawan intelektual yang mengikuti arus pergerakan kebangsaan di Kalimantan Barat. Gusti Sulung Lelanang merupakan keturunan Pangeran Laksamana dari Kesultanan Landak (Ngabang), sedangkan Haji Rais terlahir dari keluarga muslim yang taat dan berkecukupan keturunan suku Banjar. Hal itu dapat dilihat dari kemampuan orang tuanya menyekelohkan ia di HIS dan telah naik haji sejak muda. Nama-nama lain dalam SR seperti Gusti Situt Mahmud, Gusti Johan Idrus, Mohammad Sohor, Gusti Muhammad Hamzah, Djeranding Abdurrachman, Ahmad Sood, Mohammad Hambal, dan Ahmad Marzuki secara umum juga termasuk golongan intelektual dan cukup terpandang di masyarakat. 


Dari Halilintar Sampai Berani
Dalam perjuangannya SR banyak sekali melalukan propaganda, agitasi, ataupun kritik-kecaman pada Pemerintah Hindia Belanda dan tokoh-tokoh bangsawan feodal yang dianggap turut memperberat penderitaan rakyat. Sehingga gerakan SR lebih banyak diaktualisasikan dalam surat kabar dan forum-forum diskusi. Hal ini bertujuan selain untuk melakukan tekanan kepada pemerintah kolonial, juga berupaya untuk mewujudkan kesadaran nasionalisme rakyat agar dapat berjuang bersama menuju kemerdekaan Indonesia. Sepanjang tahun 1924 hingga 1926 setidaknya SR mengasuh tiga surat kabar yang semuanya terbit di Kalimantan Barat (Pontianak), antara lain Halilintar (kemudian berubah menjadi Halilintar Hindia), Warta Borneo, dan Berani


Perjuangan melalui pers surat kabar merupakan salah satu taktik gerakan kebangsaan waktu itu, dan bagi gerakan komunisme sendiri hal ini bukan barang baru. Sejak adanya SI 'Merah' sekitar tahun 1917, mereka telah memiliki harian Soeara Rakjat yang terbit di Semarang. Maka, berita-berita dan artikel di dalam tiga surat kabar di atas juga lebih menonjolkan perjuangan kaum buruh, perjuangan kelas, kaum miskin dan proletar, dalam menghadapi kaum kapitalis. Ketiga surat kabar ini juga jelas-jelas memiliki slogan yang mirip dengan seruan-seruan komunisme. Halilintar sendiri mengadopsi slogan "Hai Kaum Seluruh Dunia Kumpullah Menjadi Satu". Sedangkan Warta Borneo mengusung slogan "Satu Buat Semua, dan Semua Buat Satu". Sedangkan Surat Kabar Berani menggunakan slogan yang lebih bernada deklaratif, yakni "Barangsiapa yang Benci Pada Kita, Ialah Musuh Kita". 

Gagasan anti-kapitalisme semakin gencar disuarakan dalam surat kabar tersebut semenjak Sutan Maulana Anwar, M. Dahlan Sutan Lembaq Toeah, M. Sarman Sariban, dan Abdul Chalid Salim bergabung dalam SR dan mengurus keredaksian Halilintar. Mereka berempat adalah simpatisan aktivis PKI yang berasal dari Sumatera Barat. Tulisan-tulisan dalam Halilintar berisi berbagai propaganda komunisme untuk menyadarkan rakyat tentang bahaya kaum kapitalis. 

Hal itu tercermin dalam beberapa edisi Halilintar, misalnya pada edisi 19 tahun 1923 artikel berjudul "Cintailah Bangsamu! Cintailah tanah airmu", berisi pandangan mengenai hidup yang bermakna dengan tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga peduli dengan nasib rakyat yang tertindas. Pada edisi 22 tahun 1923 Halilintar memuat ajakan kepada guru-guru bumiputera untuk mogok menuntut perbaikan kesejahteraan. Halilintar juga diketahui pernah memuat surat dari Semaun (Ketua PKI) yang berisi motivasi kepada rakyat Hindia agar tetap teguh dalam perjuangan melawan kaum kapitalis dan tetap melanjutkan cita-cita kaum buruh. Demikian Dana Listiana, dkk dalam Pers dan Pemikiran Intelektual di Borneo Barat Masa Kolonial (2014). Pada 1924 Halilintar yang sebelumnya menjadi organ NIP, menyatakan diri sebagai organ SR dengan berganti nama menjadi Halilintar Hindia. 

Halilintar Hindia berhenti terbit pada tahun 1924 karena masalah pendanaan. Dengan itu kemudian diteruskan oleh Warta Borneo yang tidak kalah kerasnya melakukan agitasi kepada pemerintah kolonial. Pada edisi 8 November 1924, redaksi menyentil negara-negara kolonialis kulit putih seperti Amerika Serikat, Inggris, dan termasuk pula Belanda yang tidak kunjung memberikan kemerdekaan pada bangsa-bangsa Asia, termasuk Hindia. WB juga menyentil praktik Belasting dan Heerendienst yang digambarkan sebagai penghisap tenaga dan materi rakyat yang kian menyengsarakan. 

Belasting adalah pajak yang dipungut pemerintah kolonial untuk sejumlah pendanaan yang dirasa memberatkan. Pemungutan Belasting ditolak oleh sebagian besar rakyat, bahkan sampai mengobarkan perlawanan bersenjata seperti Perang Tumbang Titi di Ketapang (1914), Pemberontakan Apang Semangai (1914-1918), dan Perang Belangkait di Simpang (1914). Sedangkan Heerendienst adalah pelayanan yang tidak dibayar untuk semua jenis proyek dan pekerjaan yang mengerahkan tenaga rakyat. Kerja ini bersifat mutlak sebagai sebuah kewajiban pelayanan bagi tuannya, baik kepada pemerintah kolonial maupun penguasa feodal. Praktik yang dinilai mirip seperti masa Culturstelsel ini banyak sekali mengalami penyimpangan. Pada Warta Borneo edisi 29 November 1924, redaksi mengkritik Pangeran Sukadana Tengku A. Hamid atas kematian seorang pekerja Dayak yang telah bekerja di luar batas kewajiban. 


Warta Borneo 8 November 1924
(Sumber: Koleksi M. Rikaz Prabowo)

Warta Borneo berhenti terbit pada 1925 yang kemudian diteruskan oleh Berani pada 4 Juli 1925. Haluan politik surat kabar ini masih sama dengan Warta Borneo yang merupakan organ Sarekat Rakyat. Tetap keras dalam agitasinya, Berani edisi 18 Juli 1925 mengkritik aturan pembelian Rijbewijs (surat izin jalan/mengemudi) yang dirasa sangat memberatkan supir-supir antar kota. Berani menyindir para petugas pribumi yang makan uang rakyat dari hasil penjualan Rijbewijs tersebut. Pada edisi itu Berani juga mengkritik seorang bernama Syeh Hasan bin Salim Sewak, seorang rentenir yang suka membungakan uang kepada rakyat namun ingin mendirikan sekolah agama. Berani juga sering mengkritik tingkah kaum feodal pribumi, dalam artikel "Sanggau Satu Negeri yang Kecil, Adat Disitu Terlalu Ganjil", mengkritik tindakan semena-mena dan membedakan ciptaan tuhan (persoalan adat pernikahan) berdasarkan derajatnya. Begitu pula yang terjadi di Silat, dimana Raja Silat kerap mencemooh rakyat yang menggunakan pakaian berwarna kuning yang menurut mereka hanya pantas dikenakan oleh keturunan raja. 


Forum Diskusi
Dalam perjalannya SR juga mendirikan forum diskusi yang dapat diikuti oleh berbagai kalangan. Forum diskusi ini mendiskusikan berbagai hal terkait ide-ide kiri dan perjuangannya, kondisi rakyat, perkembangan pergerakan kebangsaan, hingga mendiskusikan langkah-langkah yang selanjutnya mesti ditempuh organisasi. Forum diskusi ini dalam perkembangannya berkembang layaknya klub debat yang umum hadir di tiap kota dan memiliki banyak kaum pergerakan waktu itu. Akan tetapi, setali tiga uang dengan terbitan surat kabarnya, forum-forum diskusi ini juga turut dipantau kegiatannya oleh aparat kolonial atau Politieke Inlichtiengen Dienst (PID). Berani 18 Juli 1925 mewartakan, pengurus Lees Internationale Debating Club (LIDC) telah dipanggil oleh Voorzitter dan dicecar banyak pertanyaan terkait aktivitas klub. Bahkan kemudian Hoofd. v Plaatselijk Bestuur mendakwa klub debat ini sebagai perkumpulan komunis. Aparat kolonial meminta pengurus klub debat itu untuk mengganti nama lain supaya tidak membahayai bagi klub-klub lainnya. Memang apabila ditelisik lebih dalam, nama klub ini berbau ajaran kiri dimana Internationale sendiri merupakan lagu perjuangan kaum komunis. 


Relief ilustrasi 11 tokoh SR Pontianak yang dibuang ke Boven Digul, Papua, pada 1927. 
(Sumber: kumparan)


Penangkapan 
Aktivitas SR yang membuat jengkel pemerintah kolonial itu akhirnya berdampak pada berbagai konsekuensi yang harus diterima anggotanya. Pada 1924 Halilintar melaporkan adanya penganiayaan dan ancaman oleh orang Belanda yang diterima oleh awak redaksinya. Tidak diketahui secara pasti apa penyebab penganiaan tersebut, namun diduga karena ia merasa tidak terima dengan tulisan pada Halilintar yang sering mengkritik golongan Belanda. Haji Rais juga pernah ditangkap oleh dan dijebloskan di Penjara Sungai Jawi karena aktivitasnya di surat kabar merah tersebut. Atas penangkapan itu, Haji Rais sempat meminta pembebasan pada Sultan Syarif Muhammad. Akan tetapi dengan syarat harus mengajukan permohonan maaf langsung dari mulut Haji Rais dan bersedia menjadi pegawai keraton dengan gaji f 250. Penawaran dari Sultan Syarif Muhammad itu ditolak oleh Haji Rais:

"Aku tidak merasa bersalah kepada Sultan. Sampai mati aku tidak mau minta ampun kepada Sultan, aku hanya mohon ampun kepada Allah SWT saja. Dan hal itu setiap waktu aku amalkan. Kepada Allah aku memang senantiasa bersalah, tetapi kepada Sultan aku tidak perlu minta ampun dan aku pun tidak ingin menjadi Pegawai Keraton menjadi alat penindas rakyat. Kalau Sultan menganggap aku bersalah terserahlah. Sultan ada mempunyai kekuasaan."  (Suwignjo, dkk, 1979: 275; Nurcahyani, 2019: 59). 

Akhir perjuangan SR  dengan segala bentuk perjuangannya baik melalui surat kabar maupun forum diskusi harus terhenti pada akhir tahun 1926, ketika aparat kolonial mengadakan penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang yang dicurigai atau dianggap radikal di seluruh Indonesia akibat Pemberontakan PKI 1926 di Banten. Para tokoh SR di Kalimantan Barat tidak luput dari penangkapan ini. Setelah melewati masa interogasi dan penahanan tanpa proses pengadilan, pada 1 April 1927 lewat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda mereka dibuang ke Boven Digul, Irian. 

Koran De Locomotief, 6 April 1927 menyebutkan nama-nama tokoh SR di Kalimantan Barat yang dihukum buang ke Digul tersebut. Antara lain: 1) Gusti Sulung Lelanang, 26 tahun, guru, ketua Sarekat Rakyat. 2) Gusti Djohan Idrus, 20 tahun, petani, wakil ketua SR. 3) Gusti Situs alias Gusti Mahmud, 29 tahun, buruh, sekretaris dan propagandis SR, 4) Mohammad Sohor, 30 tahun, petani, anggota dan propagandis SR, 5) Mohammad Sood, 20 tahun, mantan guru, sekretaris-bendahara SR, 6) Mohammad Hambal, 30 tahun, petani, anggota dan propagandis SR, 7) Ahmad Marzuki, 30 tahun, mantan guru sekolah, ketua SR di Kampung Ilir, Ngabang, 8) Mustofa, 35 tahun, mantan administrator dan editor Halilintar, bendahara SR Pontianak dan anggota PKI. 9) Djeranding Abdurrachman, 22 tahun, mantan editor Halilintar dan Berani, ketua SR dan Sekretaris SR terakhir tinggal di Malapi, Kapuas Hulu, 10) Gusti Hamzah, 31 tahun, pelayan, komisaris SR dan anggota PKI, 11) Haji Rais, 18 tahun, penulis di kantor pajak, sekretaris-bendahara SR Pontianak. 

Saat hendak menaiki kapal menuju tempat pembuangan, Haji Rais bin Abdurrachman sempat memberikan pidato perpisahan di dermaga pelabuhan kepada rekan-rekan dan pendukung yang ikut mengantarnya.

"Ini upah orang yang berjuang membela kehormatan tanah air dan bangsa. Bui, buangan dan gantungan upahnya. Kami rela dan iklas berkorban untuk kepentingan kehormatan dan kemerdekaan bangsa dan tanah air. Saudara-saudara tidak usah kasihan melihat dan memandang kami begini ini. Kami tidak minta saudara-saudara kasihan, kami hanya minta kepada saudara-saudara teruskanlah perjuangan kita. Patah tumbuh hilang berganti. Tidak lama lagi Indonesia pasti merdeka. Belanda pasti enyah dari Borneo". (Suwignjo: Nurcahyanti, 2019: 54)


Pidato singkat itu lantas semakin membuat aparat Belanda tidak senang. Bersama rekan-rekan lainnya ia lekas dimasukkan ke dalam penjara di kapal tersebut untuk kemudian berlayar beberapa minggu sebelum tiba di Boven Digul. 

Penulis: M. Rikaz Prabowo

0 Comments:

Post a Comment