Suasana petang Penjara Sungai Jawi Pontianak pada 17 April 1947 terasa menegangkan. Penjara yang dibangun sejak masa kolonial ini dikenal sebagai penjara politik bagi kaum pergerakan. Setelah merdeka, Belanda kembali menguasai Pontianak dan memfungsikannya sedia kala. Menurut jadwal, hari itu akan dieksekusi mati seseorang yang pernah membuat resah kedudukan Belanda di Kota Ngabang dan sekitarnya (sekarang Kabupaten Landak) pada Oktober 1946. Diantara kaum republiken waktu itu, ia lebih dikenal dengan nama Bardan Nadi. Dengan tangan terikat dan mata tertutup, opsir mengeluarkan Bardan dari selnya yang sempit nan lembab menuju lapangan tembak yang juga menjadi fasilitas penjara itu. Ditengah lapangan tembak, terdapat tiang kayu untuk mengikat si terhukum mati agar lebih mudah dibidik regu tembak.
Sebelum eksekusi, kepala penjara "bermurah hati" memberikan kesempatan Bardan Nadi untuk mengajukan dua permintaan. Bardan meminta untuk tidak dipasang penutup mata saat eksekusi, ia ingin melihat bagaimana para eksekutor dan peluru menembus tubuhnya. Kepala penjara tidak keberatan, permintaan itu dikabulkan. Selanjutnya, Bardan meminta agar semua tahanan dikeluarkan dari selnya untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai lagu pengantar kepergiannya. Permintaan yang agak beresiko, tapi siapa nyana? kepala penjara menyetujui. Lekas seluruh tahanan yang rata-rata lebih banyak mendekam karena masalah politik daripada kriminalitas itu diarahkan ke lapangan tembak. Penjara Sungai Jawi seketika bergema-haru dengan nyanyian lagu kebangsaan, namun saat lagu itu selesai maka selesai pula riwayat hidup Bardan Nadi. Sebanyak 12 peluru dari regu tembak melesat ke dadanya. Demikian Pasifikus Ahok, dkk, dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 Daerah Kalimantan Barat. (1992)
Siapa Bardan Nadi?
Terlahir dengan nama asli Sutrisno Sastrokusumo pada tahun 1912 di Magelang, Jawa Tengah. Ibunya bernama Sarifah, asal wilayah Sedayu, Yogyakarta dan ayahnya Raden Suratman Nadi Sastrosasmito termasuk keluarga trah Keraton Surakarta. Tidak heran, ketika masa kecil Bardan pernah menikmati hidup di sekitar keraton sebagai golongan ningrat. Namun, perjalanan hidup membawanya sering berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti penugasan ayahnya sebagai Perwira KNIL hingga akhirnya ditempatkan di Pontianak dan kemudian Ngabang. Sebagai anak golongan terpandang, Bardan berhasil menyelesaikan sekolahnya di Hollandsch Indische School (HIS). Meskipun begitu, berkat didikan orang tuanya ia dikenal sebagai sosok yang rendah diri dan santun sehingga teman-teman memanggilnya dengan nama Bardan yang dalam bahasa arab artinya sejuk. Sedangkan 'Nadi' adalah nama tengah ayahnya yang ia gunakan sebagai nama panggilan.
Potret Bardan Nadi (Sutrisno Sastrokusumo) Sumber: Sejarah Kalimantan Barat |
Akan tetapi seakan berlawanan dari profesi ayahnya, Bardan Nadi muda justru mengambil bagian dalam gerakan politik kebangsan. Ia tercatat aktif sebagai pengurus Partai Indonesia Raya (PARINDRA) komisariat Ngabang dan Surya Wirawan sebagai organisasi kepanduannya. Sejak itu lah perasaan patriotismenya semakin terbentuk. Pada tahun 1942-1945 disuasana Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang mengorganisir para pemuda dalam organisasi Seinendan. Bardan Nadi akhirnya tergabung pada organisasi ini dan menerima pelatihan-pelatihan militer dari para heiteisan. Syafaruddin Usman dalam bukunya Landak Dalam Nukilan Sejarah, menyebutkan pada 8 Juli 1945 bersama sesama rekan Seinendan seperti Gusti Muhammad Saleh Aliudin dan Gusti Mahmud Aliudin memimpin upacara pengibaran bendera merah putih di Sengah Temila, Landak.
Pasca kemerdekaan berdiri organisasi pro-RI Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) di Ngabang pada 29 Maret 1946 dengan penanggungjawabnya Gusti Muhammad Affandi Rani, Wakil Panembahan Kesultanan Landak. Bardan Nadi kemudian didapuk menjadi wakilnya di organisasi yang berperan dalam penyebaran berita kemerdekan ke seluruh pelosok Landak itu. PRI juga melakukan aksi penyebaran poster-poster propaganda untuk menyemangati dan menggalang persatuan rakyat. Akibatnya, petinggi PRI banyak yang diinterogasi oleh kontrolir NICA dan karena dianggap meresahkan tidak sedikit pula yang akhirnya diciduk.
Bergerilya
Pada 9 Oktober 1946 PRI dirubah namanya menjadi Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM) dengan susunan kepengurusan yang tidak jauh berbeda. Perubahan nama itu dilakukan sebagai persiapan dan pemantapan, semua pengurus telah sepakat untuk melakukan perlawanan kepada NICA di Ngabang. Ahok, dkk, mencatat perubahan itu menjadi GERAM terbagi dalam dua daerah operasi yakni daerah Ngabang, Air Besar, dan Menyuke yang dipimpin oleh Gusti Lagum. Sedangkan Bardan Nadi memimpin daerah operasi Sengah Temila dan sekitarnya. Serangan dilakukan pada dini hari tanggal 11 Oktober 1946 dengan menyasar tangsi militer KNIL, pos polisi, rumah kontrolir, dan kantor pemerintahan. Pasukan dari dua daerah operasi itu akan menyerang bersama dengan tujuan akhir menguasai pusat kota Ngabang.
Pasukan GERAM dengan senjata seadanya berjuang dengan gigih, bahkan bendera merah putih sempat dikibarkan di kantor pemerintahan. Akan tetapi pasukan GERAM akhirnya harus melakukan gerak mundur karena semakin gencarnya serangan KNIL yang bersenjatakan lebih lengkap dan modern. Gugurnya beberapa pasukan juga semakin membuat daya tempur GERAM menurun dan memutuskan bergerilya di hutan. Pada 29 Oktober 1946 gerak mundur Bardan Nadi disergap tentara KNIL dan berhasil menggurkan banyak rekan-rekannyanya di daerah Sidas. Ia lolos dari penyergapan itu namun rekannya, Panglima Adat Dayak yang bernama Mane Pak Kasih gugur.
Enam hari kemudian, atau tanggal 11 November 1946 pasukan KNIL berhasil mencium keberadaan Bardan Nadi yang sembunyi di suatu rumah di desa Sepatah. Saat itu Bardan tidak bersembunyi sendiri, ia menemani putri kecilnya, Paini Trisnowati yang masih berusia dua tahun. Segera dilakukan penyergapan untuk meringkus Bardan, rumah persembunyian itupun dikepung tentara bersenjata lengkap. Bardan Nadi diminta mengangkat tangan dan menyerah, namun ia menolak. Tangan kanannya memegang senapan lantak sedangkan tangan kirinya menggendong putrinya. Belanda yang kehabisan kesabaran melepaskan tembakan ke rumah persembunyia itu, Bardan selamat namun malang bagi Paini. Putri kecil itu tertembak dan meninggal dipelukan ayahnya. Kejadian itu serenta membuat Bardan sedih kehilangan semangat dan akhirnya berhasil diringkus oleh pasukan KNIL yang mengincarnya.
Bardan Nadi kemudian ditawan dan dibawa ke Pontianak untuk diadili. Telah ditangkap pula dan dibawa ke Pontianak tokoh GERAM lain Gusti Muhammad Affandi Rani (Wakil Panembahan Landak) dan Gusti Abdul Hamid. Bardan Nadi yang dianggap tokoh utama dalam gerakan perlawanan di Ngabang pada Oktober 1946 silam dihukum mati, sedangkan lainnya dikenakan hukuman 3-18 tahun penjara. Demikian Soedarto dalam Naskah Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat 1908-1950.
"Bardan Nadi mengucapkan (salam perpisahan) dengan lantang 'Merdeka', kemudian peluru mendesing menembus dadanya. Bardan gugur demi mempertahankan kemerdekaan. Sementara yang lainnya kembali ke dalam tahanan untuk menjalani masa hukuman yang telah dijatuhkan". Kenang Gusti Muhammad Affandi Rani yang menyaksikan eksekusi mati wakilnya tersebut. Untuk mengenang jasanya, Bardan Nadi diabadikan menjadi nama jalan kecil di tepian sungai kapuas dan dermaga penyebrangan ferry di Pontianak. Sedangkan di daerahnya, Landak, namanya diabadikan menjadi nama jalan, lapangan, dan gugus depan Gerakan Pramuka.
0 comments:
Post a Comment