Gereja di Tanjung Sakti pada tahun 1930 Sumber: musi.co.id |
Oleh: Hardiansyah | Penulis Sejarah (Bengkulu)
Misi Katolik dan zending Protestan saling bersaing pengaruh dan mendapatkan ummat. Mendorong pembentukan sekolah-sekolah dan gereja di Bengkulu dan sekitarnya yang masih bertahan.
Sikap Kristen terhadap agama lainnya terbagi menjadi tiga. Pertama yaitu ekslusivisme dimana jargon yang tertanam adalah “Extra Eclesiam Nulla Salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Kedua, inklusifisme dimana Kristen lebih terbuka dengan agama–agama lainnya khususnya dalam konteks Indonesia adalah Islam. Ketiga adalah pluralisme, demikian menurut Goddard sebagaimana disampaikan oleh Sukamto dkk, dalam Sikap Kristen Calvinis terhadap Kelompok Agama Lain di Batavia abad ke-17 (2020:2). Apalagi setelah konsili Vatikan ke dua, Gereja Katholik lebih bersikap plural terhadap agama lain khususnya Yahudi dan Islam.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena relasi yang terjalin pada abad–abad lampau lebih didominasi dengan pendekatan konflik antara dua agama tersebut. Agama Yahudi dianggap sebagai anti–Christ dan dalam pandangan Islam adalah agama yang di bawa oleh Mesias palsu. Khusus hubungannya dengan agama Islam, Gereja seolah berlomba–lomba melakukan kegiatan misi dengan gerakan dakwah Islam. Kedua agama ini memiliki kesamaan yaitu sama–sama melakukan ekspansi untuk memperbanyak jumlah penganut agamanya. Hal ini jelas berbeda dengan agama Yahudi yang lebih esklusif dan tidak ekspansif berkaitan dengan penyebaran agama. Dalam Perjanjian Baru, perintah itu dengan tegas tercantum dalam Matius pasal 28 ayat ke 19:
“Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka atas nama Bapa, Putra dan Roh kudus”
Hingga abad ke–19 sikap Gereja adalah sama, yaitu sikap ekslusif bahwa di luar gereja tak ada keselamatan, sehingga penjelajahan samudera didasarkan pada Harta (Gold), Agama (Gospel) dan Kejayaan (Glory). Tujuan ini adalah tujuan yang dianggap sebagai tujuan kuno/tradisional. Padahal dalam sejarahnya, terdapat gesekan bukan hanya antara Islam dan Kristen namun juga antara Protestan dan Katholik bahkan sesama protestan sendiri. Sukamto dalam penelitiannya di atas menjelaskan bahwa sikap VOC terhadap Katholik penuh dengan konflik. Banyak pendeta Katholik yang dipenjara, pembaptisan dan sakramen Katholik tidak diakui, tidak sah secara hukum dan tidak dapat menjadi syarat bagi pernikahan. Abad 17 hingga 19 ditandai bukan hanya perlombaan antara Islam dan Kristen namun juga perlombaan dalam misi antara Protestan dan Katholik.
Pengaruh Misionaris Inggris
Hubungan antara penduduk Bengkulu dan orang–orang Kristen sebenarnya dimulai dengan hubungan kerjasama perdagangan antara VOC dengan Kerajaan Silebar sebelum Inggris mendirikan perbentengan di Bengkulu. Tahun 1685 adalah titik awal Inggris berkedudukan di Bengkulu. Selama Inggris berkuasa di Bengkulu, mereka mendirikan perbentengan di kawasan ini. Pada awalnya, mereka berkedudukan di Pasar Bengkulu dengan mendirikan Fort York lalu pindah ke Ujung Karang mendirikan perbentengan yang kokoh yang disebut sebagai Fort Marlborough. Penguasa East Indie Company (Serikat dagang Inggris) di Madras meminta para misionaris dari Ordo Theatin untuk melayani kehidupan rohani para tentara, dan masyarakat Eropa Katolik di Benteng York. Dalam Sejarah Paroki St. Yohanes Bengkulu, Pemimpin Ordo Theatin mengirim Pastor Martelli yang tiba di Bengkulu pada Desember 1702, dan tinggal di Benteng York. Dalam suratnya tanggal 28 Januari 1703, Pastor Martelli melaporkan, jumlah umat Katolik di Bengkulu mencapai 300 orang.
Selain berfungsi sebagai Benteng dan kantor pemerirtahan, Benteng Marlborough pada masa Inggris juga adalah tempat kegiatan sosial keagamaan. Reko Serasi dan Arif Rahman Hakim dalam penelitiannya berjudul “Time Reconciliation on Fort Marlborough’s Design and Function” menjelaskan bahwa Benteng ini pun memiliki fungsi sebagai tempat kegiatan sosial dan keagamaan seperti tempat resepsi pernikahan.
Salah satu pejabat yang pernah melakukan perdebatan teologis dengan para ahli Islam di Bengkulu adalah Joseph Collet. Dalam suratnya kepada Istrinya tertanggal 23 Agustus 1714 beliau menceritakan dengan nada pongah bagaimana ia bertemu dengan “Padre Buzzar” orang yang paling paham tentang agama Muhammad. Namun sayangnya, ia kecewa karena pengetahuannya –menurut pengakuannya- tentang Islam jauh lebih banyak dari pada pengetahuan sang Paderi. Walaupun tidak mampu mengkonversi sang Paderi ke Katholik, Collet cukup bangga karena sang Paderi hadir dalam ibadah Katholik pada minggu pagi. Ia mengatakannya dengan istilah “brought over the fattest ship”. Hal ini tentu saja karena semenjak memasuki abad ke 18, terdapat peraturan bahwa kewajiban pendeta diserahkan kepada Gubernur, termasuk kegiatan ibadah Minggu. Collet membaca Khutbah dan yang bertanggung jawab terhadap ibadah Minggu pagi dan kebiasaan ini berlanjut pada masa berikutnya. Demikian John Bastin dalam The British in West Sumatera 1685-1825.
Pada masa Inggris berkuasa, terdapat percetakan di Benteng Marlborough bernama Baptist Sumatera Mission Press yang kemudian berubah menjadi Sumatera Mission Press. Menurut Yogi Fitra Firdaus salah seorang sejarawan muda yang fokus meneliti tentang gereja lokal di Jawa Barat, kelompok Baptist adalah kelompok keagamaan yang berada di bawah naungan Inggris. Misi LMS (London Missionary Society) yang beraliran Baptis dan Anglikan memang berasal dari Inggris. Saat itu, Inggris berhasil mengirimkan dua orang misionaris Baptis ke tanah Batak namun ditolak. Belum ditemukan catatan misionaris Baptis ini pada orang–orang Bengkulu, karena misi lebih mengutamakan orang–orang yang dianggap masih Pagan daripada misi kepada orang yang telah memeluk agama.
Para Misionaris pada masa ini antara lain Pastor Carolus Fideli dan Pastor Alexander Rotigno. Pastor Johanes Fransiscus Rescala dan Pastor Johanes Maria Uguccioni dari Ordo Theatin. Namun karya mereka rusak karena konflik antara Inggris dan Perancis. Kekuasaan Inggris atas Bengkulu berakhir pada tahun 1825 setelah ditandatanganinya traktat London. Mulailah kekuasaan Belanda menapak.
Menjaring Umat
Tahun 1860 adalah sebagai tahun awal misionaris Kristen mulai menapak ke pedalaman Sumatera Bagian Selatan. Dalam catatan Aritonang dan Steenbrink pada buku History of Christianity in Indonesia, misi Katholik dan zending Protestan telah masuk ke Pasemah, dataran tinggi antara Bengkulu dan Palembang sejak tahun 1860an. Sekitar 1880an, Residen Bengkulu, Du Cloux mengkonfirmasi beberapa pendeta Jesuit melakukan misi di tengah penduduk yang hampir keseluruhannya muslim, tentu saja misi ini mendapat tentangan dari penduduk setempat. Uskup Claesens meminta izin untuk melakukan beberapa kegiatan misi. Selain itu, di waktu yang bersamaan misionaris protestan, A. Festersen berkedudukan di Bengkulu dan meminta izin pula melakukan kegiatan misi di beberapa daerah. Izin ini ditolak dengan alasan bahwa sejumlah penduduk pagan yang terakhir telah masuk ke dalam Islam. Festersen kemudian melakukan perjalanan ke pedalaman Pasemah dan menyimpulkan terdapat sekitar 37.000 penduduk pagan yang harus ditaubatkan. Festersen neninggal pada 31 Januari 1886 di Bengkulu karena TBC. Kemudian Uskup Claesens kembali meminta izin untuk melakukan aksi misi Katholik. Namun, Gubernur Jenderal Otto Van Ress memutuskan tidak memberi izin untuk kegiatan misionaris dan hanya mengizinkan untuk penelitian Sosio–Linguistik.
Pendeta Jesuit (Katholik) J. Van Meurs mencoba untuk mencari tujuan baru dalam melakukan misi. Tujuannya adalah Tanjung Sakti (Kabupaten Lahat sekarang, Sumatera Selatan). Namun di Bengkulu ia bertemu dengan seorang misionaris Protestan bernama J.C Kersten yang juga memiliki tujuan yang sama. Antara Van Meur dan Kersten kemudian terjadi kesepakatan dimana Kersten akan meninggalkan Tanjung Sakti lalu pulang ke kota Bengkulu. Kemudian beliau meneruskan misinya ke Pulau Batu. Sebelum meninggalkan Tanjung Sakti, Kersten menjual apa yang dimilikinya kepada misionaris Katholik tersebut.
Sasaran misi di Tanjung sakti adalah beberapa penduduk Nomaden yang sering berpindah–pindah dan masih memeluk agama tradisional. Kemungkinan mereka adalah Suku Kubu yang sering berpindah–pindah. Sayangnya tujuan untuk menjadikan Tanjung Sakti sebagai pos penginjilan gagal. Banyak dari penduduk nomaden yang menetap di satu wilayah dalam masa yang lama. Namun setelah menimbang dengan cukup matang, maka gerakan penginjilan di Tanjung Sakti ini tetap diteruskan. Tantangan terhadap gerakan penginjilan ini adalah fakta bahwa mereka berada di tengah perkampungan muslim selain itu pula, suku nomaden seperti Kubu sulit untuk dijangkau dalam kerja penginjilan. Namun hasil ini cukup berbuah manis. Beberapa ratus orang berhasil dikristenkan. Para misionaris menilainya dengan cukup rasional, mereka mau memeluk agama Kristen karena pakaian dan makanan yang dibagikan
Sekitar tahun 1900 gerakan penginjilan berhasil membaptis sebanyak 345 orang di Tanjung Sakti. Pada periode 1912-1914 saat Sarekat Islam masuk ke daerah ini dan mayoritas diikuti oleh para petani kopi, ditunjang dengan keadaan ekonomi yag membaik dan akses kepada pengetahuan politik terbuka, Golongan Islam mengajukan protes untuk melawan misi Katholik. Hal ini karena misi Katholik meminta kepada kepala desa agar dibebaskan dari kesewenangan kepala desa dan pungutan–pungutan yang muncul karena hal tersebut. Puncak konflik tersebut adalah pada 26 Agustus 1913 dimana terjadi pencurian Ciborium yang berharga dan suci. Satu tahun setelahnya ratusan orang Katholik menyatakan dirinya memeluk Islam. Berita ini sampai ke Batavia sehingga pemerintah pusat di Batavia mengirimkan para peneliti untuk meneliti penyebabnya. Hasilnya adalah sekitar 450 orang katholik yang ada mendapatkan kewenangan untuk mengurus desanya sendiri di bawah seorang pendeta Katholik.
Memasuki abad ke-20, misi katholik berusaha untuk melanjutkan kerja misi di Bengkulu. Dikutip dari situs resmi SD Corolus Bengkulu, Perfektur Apostolik Bengkulu berdiri sebagai daerah Gerejani sejak tahun 1923, yang dipercayakan kepada Imam-imam “Hati Kudus Jesus” atau SCJ yang datang dan mulai berkarya di Sumatra Selatan pada bulan September 1924. Pada 31 Desember 1926, Pater Neilen SCJ membuka HCS di Bengkulu. Selanjutnya Pater Nailen mengundang Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus/CB untuk berkarya di Bengkulu. Undangan tersebut ditanggapi dengan baik. Empat orang Suster CB dari negara Belanda datang ke Bengkulu yaitu: Sr. Hadeline, Sr. Carolus, Sr. Fabiola (ketiganya berkarya di bidang pendidikan) dan seorang Suster yang berkarya di bidang kesehatan yaitu Sr. Jacquiline.
Tahun 1930, HCS yang didirikan oleh Pater Neilen dan memiliki sebanyak 80 orang siswa dari kelas I–VI tersebut secara resmi diserahkan kepada Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus. Ketika sekolah makin berkembang, Kongregasi CB memutuskan untuk mendirikan sebuah rumah biara bagi para Suster serta menambah bangunan lainnya. Maka dibelilah sebidang tanah yang luas dekat laut. Setelah Biara, tambahan bangunan sekolah dan gedung asrama selesai dibangun, Gedung Biara diberi nama “Biara Hati Kudus” dan sekolah diberi nama “HCS St. Carolus”. Pada tanggal 25 April 1935, sesudah dua kali mengalami penilikan, HCS St. Carolus diakui sebagai Roomsch Katholiek HCS oleh pemerintah dengan jumlah murid sebanyak 285 orang. Dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1938 dibuka sekolah kejuruan Huishoudschool (Sekolah Kepandaian Putri) dengan asramanya. Ibu Negara Indonesia yang pertama, Ibu Fatmawati menyelesaikan pendidikannya di Huishoudschool St. Carolus tersebut. Pada permulaan Perang Pasifik tahun 1941, HCS St. Carolus telah memiliki sebanyak 300 orang murid.
Editor: M. Rikaz Prabowo
0 comments:
Post a Comment