Warisan Perjuangan Dari Gusti Panji ke Gusti Hamzah (Kisah Perang Belangkait Kerajaan Simpang 1912-1915, Bag.4 Habis)


Tulisan kali ini lanjutan dari tulisan bagian pertama tentang Perang Belangkait yang terjadi di Tanah Kayong antara 1912-1915.  

Pohon Dungun Kapal (Bagian 1)

Geramnya Ki Anjang Samad (Bagian 2)

Melangkah Mati, Tak Melangkah Juga Mati (Bagian 3)

Kisah ini diambil dari buku berjudul “Sekilas Menapak Kerajaan Tanjung Pura" . Buku ini ditulis oleh H. Gusti Muhammad Mulia sebagai Raja Kerajaan Simpang ke-7 yang di lantik pada tahun 2008 dan wafat di tahun 2017 yang lalu. 


AKHIR PERANG BELANGKAIT

Keesokkan harinya, pada tengah hari, Belanda membalas dan menyerang Bengkujung. Akan tetapi tidak berhasil, karena para pejuang telah pindah ke tempat lain yang tidak jauh dari Kampung Sebango.  Keesokan harinya pada pagi hari sekali, Belanda kemudian menyerang Sebango. Namun disana, ternyata daerah itu juga kosong. Belanda hanya menemukan satu orang penghuni yang tinggal di pinggir sungai sebango. Orang ini sedang sakit dan tidak bisa berjalan.  Belanda memaksa dan menyiksa orang tersebut hinga akhirnya ia membongkar rahasia dimana para pejuang rakyat simpang bersembunyi.

Sementara itu di sebuah tempat tersembunyi para pejuang Simpang sedang kelelahan dan beristirahat. Saat itu tidak seorangpun yang berjaga-jaga, karena menganggap persembunyian mereka aman dan tidak seorang pun tahu. Hanya Patih Legat dari Sungai Kerio yang memiliki firasat tidak baik ketika itu. Pada saat para pejuang sedang beristirahat, tiba tiba terdengarlah serentetan tembakan yang membuat panik. Semuanya lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Tentara Belanda sudah sampai di halaman dan kembali mengeluarkan rentetan tembakan kedua yang menyapu atap. 

Kemudian rentetan tembakan yang ketiga di arahkan kepada para pejuang yang berlarian. Pada saat itu  melompatlah Patih Legat di depan Letnan Obos dan menancapkan apang mandaunya. Namun karena baju besi yang dipakai Letnan Obos, apang mandaunya tak berhasil menembus. Pada saat yang sama Letnan Obos kemudian memegang rambut Patih Legat yang terjuntai panjang dan hendak memenggalnya dengan pedang. Akan tetapi di saat yang sama Patih Legat berteriak melengking, dan menghilang tanpa jejak meninggalkan Letnan Obos. Ia tercengang dengan memegang beberapa helai rambut Patih Legat yang masih tersisa di tangannya.

Kemudian dengan amarahnya Letnan Obos bersama serdadunya, mengepung hutan lalu memburu setiap para pejuang dari Kerajaan Simpang. Pada saat itu para serdadu Belanda berhasil menemukan Patih Kembereh yang bersembunyi di pungkar kayu yang sudah tumbang. Lalu dengan bengisnya, Patih Kembereh dihujani peluru tanpa ampun hingga akhirnya ia gugur sebagai kesuma. Sampai saat ini untuk mengenang kepahlawanan Patih Kembereh, tempat itu dikenal dengan nama Lubuk Patih.

Para pejuang banyak yang di tangkap dan di penjara di Sukadana, kemudian hari empat diantaranya meninggal di dalam penjara.  Hanya Patih Enteki yang  selamat, dan sempat di penjara lalu di lepaskan oleh Belanda. Sementara Mok Rebi belum tertangkap, ia menjadi buron sepanjang hidupnya hingga suatu saat Belanda tidak lagi mencarinya. Di kisahkan saat pelariannya, Muk Rebi yakni pengawal setia Ki Anjang Samad, bersembuyi di dalam rawa-rawa yang mana pada saat serdadu Belanda  sedang mencari di rawa tersebut maka ia pun menyelam. 

Pada saat Belanda sedang mencari, moncong senapan lantak Muk Rebi selalu mengarah pada Letnan Obos. Namun karena senapan lantaknya basah, tidaklah dapat meletupkan peluru yang ada di dalamnya. Setelah itu peperangan terbuka tidak lagi dilakukan, namun dengan cara gerilya yang dipimpin oleh Muk Rebi. Tidak sedikit serdadu Belanda yang mati karena Perang Belangkait dan perang gerilya lainnya. Sehingga beberapa kali Kapal Bukat yang penuh dengan para Serdadu belanda, namun saat  kembali dari Sungai Simpang terlihat sepi.

Karena itulah Belanda semakin marah, jorong atau lumbung padi rakyat habis dibakar, kemudian ternak dijarah. Setiap orang yang dijumpai ditangkap atau di siksa. Selain itu, apabila rakyat tidak memiliki belasting (surat pajak) maka akan ditangkap kemudian ditawan. Banyak orang yang menjadi korban pada saat itu. Jika bertemu dengan tentara Belanda dan tidak mau menyerah, maka mereka dihabisi menggunakan bedil.

Belanda terus-menerus mengadakan patroli ke setiap kampung guna memaksa rakyat membayar pajak yang lebih berat lagi. Sehingga banyak masyarakat yang lari ke hutan-hutan menghindari mereka. Melihat hal itu Belanda mengajak Gusti Panji untuk berunding, ia meminta pada sang raja agar menyuruh rakyat kembali. Gusti Panji menyanggupinya, namun dengan catatan Belanda tidak melakukan paksaan serta kekejaman atas pemungutan belasting tersebut. Sesuai kesepakatan akhirnya turunlah utusan Panembahan yakni Pangeran Pati ke kampung-kampung untuk meyakinkan rakyat tetap tenang lalu kembali ketempat semula.

Maka berakhirlah Perang Belangkait, yakni perang melawan penjajah Belanda yang cukup banyak meminta korban, baik harta benda bahkan jiwa dan raga. 


MEWARISKAN PERJUANGAN

Untuk menghormati kepahlawanan Ki Anjang Samad, oleh rakyat Simpang tempat peristirahatannya yang terakhir disebut sebagai makam bunga. Dimana secara filosofi makam bunga diartikan bahwa nama dari Ki Anjang Samad tetap harum kemudian dan tetap melekat di hati rakyat, sekaligus sebagai tokoh dan teladan yang terpuji di mata rakyat Simpang hingga saat ini. Berakhirnya perang Belangkait itu bukan berarti usainya sebuah perjuangan. Karena semangat juang rakyat Kerajan Simpang yang dipimpin oleh Panembahan Gusti Panji tetap hidup, maka perjuangan menentang kolonialisme Belanda juga tetap hidup dan terwariskan, walau dengan dengan cara yang berbeda yakni sosial dan politik. 

Gusti Hamzah, yakni anak Gusti Ismail cucu dari Gusti Panji (Teluk Melano) sebagai penerus dari cita-cita pendahulunya,  bersama dengan rekan-rekannya dari daerah lain cukup aktif dalam organisasi Syarikat Islam (SI) yang dibekukan pada tahun 1919. Kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang dari Kerajaan Landak mereka mendirikan Syarekat Rakyat (SR) sebagai kelanjutannya. Pada tahun 1926, Gubernur Jendral Dirk Fock memerintahkan penangkapan dan pembuangan kepada anggota-anggota organisasi yang dianggap berbahaya oleh pemerintah setempat. Termasuk organisasi SR di Pontianak.  

Akhirnya Gusti Hamzah bersama sembilan orang dari Kalimantan Barat dijebloskan ke penjara.  Kemudian pada 1 April 1927 di buang ke Boven Digul. Gusti Hamzah dan Gusti Sulung Lelanang setelah 11 tahun dipengasingan, baru dipulangkan pada tahun 1938. Atas perjuangan mereka, pemerintah dalam hal ini melalui Menteri Sosial telah menganugerahkan mereka sebagai PERINTIS PERGERAKAN KEBANGSAAN/KEMERDEKAAN. Khusus untuk Gusti Hamzah penghargaan sebagai pahlawan nasional perintis kemerdekaan di kukuhkan  melalui Surat Keputusan  Nomor 297/70/PK/Anum, tertanggal 30 Maret 1970. 

Selain itu nama-nama mereka juga telah di abadikan menjadi nama ruas jalan di berbagai kota di Kalimantan Barat. Terdapat pula sebuah monumen perintis kemerdekaan yang terletak di jalan protokol di Pontianak, yakni Jalan Jenderal Ahmad Yani di depan Universitas Tanjungpura. Tugu tersebut dikenal juga sebagai Tugu Digulis, untuk mengenang perjuangan mereka dalam merintis kemerdekaan hingga berbuah pembuangan ke Boven Digul. Sampai disini berakhirlah sejarah Perang Belangkait melawan penjajahan Belanda di Kerajaan Simpang, yang diukir dengan darah dan air mata oleh para pejuang dan syuhada tanah air ini.



Penulis: Miftahul Huda

Editor: M. Rikaz Prabowo

0 Comments:

Post a Comment