Diskusi Wabah Dalam Sejarah
Sejarah merupakan pengetahuan dan kesadaran penting
bagi individu baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan
berbangsa bernegara dan sebagai
masyarakat global. Pengetahuan dan kesadaran sejarah perlu untuk selalu
diajarkan dan ditanamkan secara berkelanjutan kepada semua generasi. Pentingnya
pengetahuan dan kesadaran sejarah terkadang tak berbanding lurus dengan minat
dan keseriusan dalam mempelajari sejarah.
Peristiwa-peristiwa sejarah menjadi sumber pembelajaran bagi kita semua. Seperti halnya peristiwa pandemic atau wabah yang terjadi di masyarakat sangatlah menarik untuk dibahas dan didiskusikan agar kita dapat mengambil hikmahnya. Baru-baru ini di tengah masyarakat timbul suatu wabah yang sering disebut Pandemi Covid-19. Wabah yang berasal dari adanya suatu virus ini telah menimbulkan jutaan orang yang terpapar bahkan sampai merenggut korban jiwa yang tidak sedikit. Bangsa Indonesia pada saat ini menghadapi pandemi Covid-19. Oleh karena itu, riwajat.id bermaksud mengadakan diskusi secara online atau daring bertemakan Kesehatan.
Karena riwajat.id konsen mengangkat sejarah lokal menjadi
sejarah publik atau sejarah popular, maka pada kesempatan diskusi yang akan
diselenggarakan ini nantinya juga selain membahas tentang contoh berbagai macam
virus yang pernah ada dan menjadi pandemi yang disampaikan oleh dokter Simon Yosonegoro Liem, Mahasiswa PPDS Mikrobiologi Klinik Universitas Indonesia. Juga akan membahas tentang menulis penelitian bertemakan sejarah kesehatan oleh Hardiansyah, penulis sejarah asal Bengkulu. Terakhir masalah yang dibahas adalah tentang wabah penyakit
dan cara mengatasinya secara tradisional pada masyarakat Dayak di Kalimantan
Tengah oleh Voka Panthara Barega yang diangkat dari hasil tulisannya yang saat ini sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Sejarah Universitas Padjajaran.
Diskusi ini akan dilaksanakan pada Minggu 25 Juli 2021 pukul 9 pagi melalui aplikasi ZOOM Meetings. Untuk registrasi silahkan mendaftar (klik) melalui tautan di bawah ini:
Daftar diskusi: http://tinyurl.com/regdisriwajat
Ketika Sukarno Menjadi Pengurus Muhammadiyah
Pengurus Muhammadiyah Bengkulu tahun 1928 (Sumber: Hardiansyah) |
Kedekatan Sukarno dengan Muhammadiyah tidak sebatas menjadi simpatisan saja, saat dibuang ke Bengkulu ia aktif menjadi kader dan mengetuai Dewan Pengajaran Muhammadiyah tahun 1938
Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Riwajat
Sudah menjadi informasi yang umum bahwa Presiden pertama RI, Ir. Soekarno dikenal dekat dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Meskipun begitu sangat jarang dibahas sejauh apa kedekatannya dan bagaimana status keanggotaan Sukarno dengan organisasi Islam terbesar asal Yogyakarta itu. Hardiansyah, mubaligh Muhammadiyah di Bengkulu sekaligus penulis buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu, menyebutkan perkenalan beliau dengan organisasi ini sebenarnya sekitar tahun 1920. Kala itu saat Sukarno muda masih menjadi anak indekos di rumah H.O.S Cokroaminoto, Gang Peneleh-Surabaya, beberapa kali dikunjungi oleh K.H.Ahmad Dahlan yang datang langsung dari Yogyakarta. Konon Sukarno sangat terpukau dan begitu meresapi ceramah yang disampaikan oleh K.H Ahmad Dahlan itu, sehingga hal ini turut merubah cara pandangnya akan Islam yang dinilai perlu mencontoh pemikiran Muhammadiyah akan Islam yang berkemajuan. Demikian dalam bedah bukunya pada Senin 19 Juli 2021 yang diadakan dalam rangka Menuju Kongres Sejarawan Muhammadiyah 2021 secara daring.
Kegiatan bedah buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu 19 Juli 2021 |
Medio tahun 1930an dimana Sukarno telah muncul sebagai pemimpin politik nasional yang getol melakukan agitasi dan propaganda melalui Partai Nasional Indonesia (PNI), membuatnya harus menjalani pengasingan karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial. Awalnya ia dibuang ke Ende pada 1933, akan tetapi pada 1938 ia dipindahkan ke Bengkulu. Kepindahannya ke Bengkulu ini menjadi babak baru bagi kehidupan Sukarno, ia diminta oleh tokoh Muhammadiyah disana, Hasan Din untuk menjadi guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Tanpa berpikir panjang Sukarno menyetujuinya, lagipula pasca lulus dari Technische Hooge School dirinya juga diketahui pernah menjadi guru di Ksatrian Instituut milik Dr. Setiabudi di Bandung.
Baca: Ketika Sukarno Menjadi Guru Sejarah dan Matematika
Tidak sampai disitu, selama aktif menjadi pengurus Muhammadiyah Bengkulu ia juga dipercayai menjadi Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah yang saat ini setingkat dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah. Selama di Bengkulu ia juga aktif memberikan pengajaran di Madrasah Kebun Ross, mengajukan usulan diadakan konferensi Daeratul Kubro dan mendirikan PEKOPE (Penolong Korban Perang) bersama rekannya sesama pengurus Muhammadiyah Bengkulu, Oey Tjeng Hien dan dr. Djamil.
Salah satu surat keputusan Dewan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu yang ditandatangani oleh Sukarno pada 1938. (Sumber: Hardiansyah) |
Pergumulannya dengan Muhammadiyah di Bengkulu inilah yang selanjutnya membuat Sukarno jatuh hati dengan putri Hasan Din, Fatmawati, yang kemudian dinikahinya pada tahun 1943 melalui nikah wali. Hardiansyah juga menambahkan dimasa pendudukan Jepang pada tahun 1942, Sukarno dibebaskan oleh Dai Nippon dan dibawa ke Jakarta untuk diajak bekerjasama. Masih menurut Hardiansyah, di Bengkulu kegiatan Muhammadiyah tidak dibubarkan oleh Jepang sebagaimana yang terjadi di wilayah lain di Indonesia. Hal ini berkat siasat kecerdikan sang ketua Oey Tjeng Hien yang memberitahukan bahwa umat Islam se-Bengkulu akan sangat marah apabila Muhammadiyah dibubarkan. Sebaliknya Oey menawarkan Jepang tanaman jarak yang dapat ia perintahkan untuk ditanam oleh seluruh warga dan simpatisan Muhammadiyah Bengkulu. Hal ini disetujui oleh Jepang yang gembira dengan hasil tanaman jarak yang sangat dibutuhkan untuk melumasi mesin-mesin perang balatentara Dai Nippon.
Terbitnya Sang Surya di Gang Mariana
Gang Merak 2 Jalan Pak Kasih Pontianak (Sumber: Google Photo Images) |
Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Riwajat
Gang kecil yang terletak di Jalan Pak Kasih ini menyimpan banyak kenangan sejarah, disinilah pusat kegiatan cabang Muhammadiyah Pontianak dengan didirikannya Volkschool dan beragam aktifitas lainnya seperti kepanduan Hizbul Wathan sejak tahun 1930an.
Gang Merak II, Kelurahan Mariana, Pontianak Kota, adalah sebuah gang kecil yang tidak seberapa besar. Letaknya persis di depan Pelabuhan Dwikora, Jalan Pak Kasih. Di gang tersebut terdapat dua sekolah milik Muhammadiyah, yakni SD Muhammadiyah 3 dan SMP Muhammadiyah 3. Akan tetapi tahukah jika komplek sekolah ini telah ada jauh sebelum negeri ini mencapai kemerdekaannya?
Berita Lawas: Pengaruhnya Warna Kuning (1925)
Surat Kabar Berani, 18 Juli 1925 (Sumber: Koleksi Pribadi) |
Berita asli dari Surat Kabar Berani, edisi no. 3 tahun ke-1 hari Sabtu 18 Juli 1925. Kepala Redaktur Boullie, beralamat di Kampung Darat Pontianak. Berita berjudul asli "Pengaroenja Warna Koening" mewartakan kejadian di Silat, Kapuas Hulu, dimana kaum bangsawan disana membeda-bedakan pakaian berdasarkan warna (kuning) yang hanya pantas dipakai oleh mereka.
Haji Ismail Mundu: Ulama Tersohor Dari Teluk Pakedai, Mufti Kerajaan Kubu
K.H Ismail Mundu (sumber: indonesia.go.id)
Oleh:
Karel Juniardi | Redaktur Riwajat, Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak
Kalimantan Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia mempunyai banyak tokoh ulama dan penyebar agama Islam sebagaimana adanya Wali Sembilan di Pulau Jawa, seperti Habib Husein Al Kadrie di Mempawah, Basiuni Imran di Sambas, Haji Ismail Mundu di Teluk Pakedai (Kubu Raya), dan lain sebagainya. Keberadaan dan peran para ulama tersebut pada masa lalu turut mewarnai proses Islamisasi di Kalimantan Barat.
Kiprah Kesatuan Rakyat Indonesia Sarawak/KRIS (1947-1949)
Foto pengurus KRIS yang bekerja di Kuching Fire Station (Sumber: M. Sabirin AG) |
Oleh: M. Rikaz
Prabowo | Guru Sejarah, Pimred Riwajat
Kuching, adalah sebuah kota negara bagian Sarawak, Kerajaan Malaysia. Kota ini cukup besar dan sangat dikenal oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Lekatnya hubungan Kuching dengan penduduk dibalik batas negara atau sebaliknya di latarbelakangi adanya kesamaan suku bangsa, agama, dan bahasa, yakni Melayu dan Islam. Tidak sedikit pula penduduk Kuching memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat Melayu di negeri seberangnya, terutama Sambas. Selain punya hubungan etnografi, Kuching juga menyimpan sejarah kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi fisik 1945-1949. Sepanjang masa itu, pernah berdiri organisasi Kesatuan Rakyat Indonesia Sarawak (KRIS) yang didirikan oleh warga Indonesia dan para pejuang republik yang melarikan diri dari kejaran NICA/KNIL.