K.H Ismail Mundu (sumber: indonesia.go.id)
Oleh:
Karel Juniardi | Redaktur Riwajat, Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak
Kalimantan Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia mempunyai banyak tokoh ulama dan penyebar agama Islam sebagaimana adanya Wali Sembilan di Pulau Jawa, seperti Habib Husein Al Kadrie di Mempawah, Basiuni Imran di Sambas, Haji Ismail Mundu di Teluk Pakedai (Kubu Raya), dan lain sebagainya. Keberadaan dan peran para ulama tersebut pada masa lalu turut mewarnai proses Islamisasi di Kalimantan Barat.
Sebagaimana kita ketahui bersama, agama Islam di Indonesia mulai menyebar dari pulau Sumatera, Jawa, Maluku, Sulawesi hingga ke Pulau Kalimantan. Proses penyebarannya dilakukan oleh golongan mubaligh (ulama), pedagang, dan terkadang melalui penaklukkan. Datangnya agama Islam membawa dampak seperti penamaan sebuah kerajaan yang semula disebut kerajaan mulai berganti menjadi kesultanan yang otomatis mengubah penyebutan raja menjadi sultan. Selain itu hukum-hukum yang berlaku sebelumnya berganti menjadi hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan
berlakunya hukum Islam, maka raja atau sultan dalam sebuah kerajaan atau
kesultanan tentunya membutuhkan seorang yang pandai atau menguasai hukum Islam
sebagai tempat rujukan, bertanya, dan konsultasi dalam memutuskan suatu perkara
khususnya terkait masalah agama yang disebut Mufti. Gelar Mufti merupakan gelar
kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang dipandang mempunyai kelebihan
ilmu dan sikap dalam agama Islam.
Perkembangan
Islam di Kabupaten Kubu Raya saat ini dan pada masa lalu tidak dapat terlepas dari
sejarah berdirinya kerajaan Kubu. Sejak awal berdiri kerajaan Kubu telah dilatari
oleh dakwah Islam. Kerajaan Kubu adalah kerajaan Islam yang
daerah kekuasaannya sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten
Kubu Raya,
Kalimantan Barat. Data yang ditemukan menyebutkan, asal-muasal berdirinya
Kerajaan Kubu adalah
berkat prakarsa orang-orang Arab dari Hadramaut (Yaman Selatan), yang mendirikan pemukiman baru di
tepian Sungai Kapuas Kecil. Pemukiman baru
yang dibangun Syarif Idrus itu kemudian didatangi banyak orang sehingga terjadi
interaksi lintas etnis dan budaya sehingga pemukiman itu semakin lama semakin
besar dan perlahan-lahan berubah menjadi sebuah bandar perdagangan yang ramai.
Pada
sekitar tahun 1772 M, seluruh rakyat yang tinggal di pemukiman baru itu sepakat
mengangkat Syarif Idrus menjadi pemimpin mereka. Di bawah pimpinan Syarif
Idrus, banyak kemajuan diperoleh, terutama di bidang ekonomi
dan perdagangan.
Kemakmuran
pemukiman yang didirikan Syarif Idrus di tepian Sungai Kapuas
Kecil ternyata memancing gerombolan perompak (bajak laut) untuk menjarahnya. Beberapa kali
perkampungan Syarif Idrus menjadi korban keganasan para perompak sehingga
mengalami kerugian yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Syarif Idrus kemudian
memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah di pinggir anak Sungai
Kapuas Besar (dikenal juga dengan nama Sungai Terentang) dan membuat sistem
pertahanan yang lebih kuat untuk mengantisipasi serangan dari para perompak.
Kubu pertahanan
dibuat dengan menimbun sungai agar tidak dapat dicapai oleh musuh. Sejak benteng
pertahanan tersebut dibangun dengan kokoh, mulailah orang menamakan kampung itu
dengan sebutan Kubu yang berlaku hingga kini. Benteng
pertahanan yang dibangun oleh para pengikut Syarif Idrus terbukti kuat. Kendati
telah berkali-kali mendapat serangan musuh, tapi benteng pertahanan ini ampuh
menahannya. Inilah awal mula mengapa tempat itu disebut dengan nama Kubu dan
kemudian menjadi Kerajaan Kubu (Lontaan, 1975; Umberan, 1995).
Setelah
menjelma menjadi pemerintahan bercorak Islam berbentuk kerajaan, Kubu
memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Batu Ampar, Terentang, Teluk Pakedai,
Sungai Kakap, Rasau Jaya, Sungai Raya, hingga Ambawang. Pemerintahan Islam di Kerajaan Kubu
beribukota di
Kubu sebagai
pusat pemerintahan.
Ketika
pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Bestuur Komite (Komite
Pemerintahan) pada tahun 1910 M, ditunjuklah dua orang kerabat kerajaan untuk
memimpin daerah-daerah yang menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Kubu, diantaranya Syarif Kasimin
yang ditetapkan Belanda untuk memerintah daerah yang bernama Tanjung
Bunga dan Syarif Saleh yang diberi wewenang memimpin daerah Padang Tikar.
Di daerah Teluk Pakedai pada masa
lalu terdapat seorang ulama terkenal yang namanya tidak asing lagi khususnya
bagi masyarakat yang tinggal di Kubu Raya, Kota Pontianak, Mempawah, dan
sekitarnya. Ulama ini terkenal karena giat berdakwah dan pernah menjadi seorang
Mufti di Kerajaan Kubu pada awal abad ke-20 M. Ulama tersebut bernama Haji
Ismail Mundu.
Kehidupan Awal Haji Ismail Mundu
Haji
Ismail Mundu merupakan seorang mufti kerajaan Kubu Kalimantan Barat. Beliau dikenal
sebagai seorang ulama keturunan Bugis yang juga menghasilkan beberapa karya
tulis diantaranya Kitab Amalan Zikir Tauhid dan Kitab Babun-Nikah diterbitkan
di Singapura yang menjadi salah satu kitab rujukan hukum nikah di Indonesia.
Beliau meninggal pada tahun 1957 dan dimakamkan
di Kecamatan Teluk Pakedai Kabupaten Kubu Raya. Hingga saat ini makam
beliau sering dikunjungi masyarakat dari kalangan muslim maupun non-muslim
untuk berziarah.
Dalam Buku Biografi Guru Haji Ismail Mundu:
Mufti Kerajaan Kubu (2008) yang ditulis oleh Baidhillah Riyadhi, dkk, Haji
Ismail Mundu dikatakan masih keturunan dari Raja Sawitto di Sulawesi Selatan.
Beliau lahir pada tahun 1870 M. Ayahnya bernama Daeng Abdul Karim alias Daeng
Talengka bin Daeng Palewo Arunge Lamongkona bin Arunge Kaceneng Appalewo bin
Arunge Betteng Wajo’ dari keturunan Maduk Kelleng. Sementara Ibunya bernama Zahra
(Wak Sora) berasal dari daerah Kakap, Kalimantan Barat. Di masa kecilnya, Haji
Ismail Mundu sudah mulai mendalami dan mengamalkan ajaran Islam secara
bersungguh-sungguh dengan belajar pada beberapa guru, antara lain Haji Muhammad
bin Haji Ali dan Haji Abdullah Ibnu Salam yang tinggal di Kakap. Kemudian
beliau berguru dengan seorang ulama di Makkah yaitu Abdullah Az-Zawawi. Setelah
belajar di Makkah, beliau kembali ke tanah Bugis dan memperdalam agama Islam dengan
Tuan Umar Sumbawa.
Setelah berusia dua puluh tahun,
Haji Ismail Mundu menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Di sana
beliau mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis berdarah Arab
bernama Ruzlan Al Habsyi. Namun pernikahan itu tidak berlangsung lama karena istrinya
pulang ke rahmatullah. Haji Ismail Mundu menikah kembali dengan Hajjah Aisyah
dari Pulau Serasan, namun juga tidak berlangsung lama karena Hajjah Aisyah
berpulang ke rahmatullah. Haji Ismail Mundu kemudian menikah untuk yang ketiga
kalinya dengan seorang wanita dari Desa Sungai Kakap bernama Haffa binti Haji
Semaila. Dari pernikahan ketiganya ini, beliau mendapat tiga orang anak. Namun
kembali, jiwa beliau diuji dengan meninggalnya istri yang ketiga ini pada saat
melahirkan anak ketiganya. Sementara itu, anak-anak beliau juga meninggal di
usia muda. Setelah itu, beliau menikah untuk keempat kalinya dengan seorang
wanita berkebangsaan Arab bernama Hajjah Asmah. Beliau bersama Hajjah Asmah kemudian
menunaikan ibadah haji sembari menemui gurunya untuk belajar ilmu agama yaitu
Abdullah Az-Zawawi. Pada sekitar tahun 1904 M, Haji Ismail Mundu kembali
Indonesia dan menetap di Desa Teluk Pakedai untuk menggaungkan nilai-nilai
Islam.
Haji Ismail Mundu Sebagai Mufti
Berkat kegigihan dan kerja keras
beliau, nilai-nilai keislaman penduduk Desa Telok Pakedai tumbuh dengan baik.
Usahanya ini membuat beliau mendapat simpati dari Raja Kubu sehingga kemudian beliau
diangkat menjadi Mufti kerajaan Kubu pada tahun 1907 M. Haji Ismail Mundu
mendapat kepercayaan sebagai Mufti Kerajaan Kubu sehingga kepadanya menjadi
tumpuan tempat bertanya tentang masalah-masalah agama yang datang dari berbagai
kalangan baik dari kalangan kerajaan maupun dari kalangan masyarakat luas.
Semua permasalahan yang diajukan kepada beliau diupayakan dapat diputuskan
dengan bijaksana. Jabatan mufti yang disandang Haji Ismail Mundu dijabat sampai
tahun 1937 M karena beliau kembali menunaikan ibadah haji untuk yang ketiga
kalinya. Oleh karena itu, jabatan Mufti Kerajaan Kubu diserahkan kepada Haji Hasan
bin Haji Muhammad yang juga kelahiran Teluk Pakedai.
Dakwah Islam Haji Ismail Mundu
Pada waktu Presiden Republik
Indonesia yang pertama yakni Soekarno menunaikan ibadah Haji, di sana Soekarno
disambut oleh Haji Ismail Mundu bersama Syekh Ali Az-Zawawi bin Syekh Abdullah
Az-Zawawi dan Raja Mekkah untuk menemani wukuf di Padang Arafah. Demikian pula
pada saat Sultan Hamid II menunaikan ibadah haji, juga ditemani Haji Ismail
Mundu dan Syekh Ali Az-Zawawi bin Syekh Abdullah Az-Zawawi. Dalam kesempatan
tersebut, Sultan Hamid II menceritakan kepada Haji Ismail Mundu bahwa keluarga
dan murid-murid Haji Ismail Mundu di Pontianak sangat rindu, bahkan ada yang
mengira bahwa Haji Ismail Mundu sudah meninggal dunia dan membacakan do’a
arwah. Adanya berita dari Sultan Hamid II itulah maka pada tahun 1948 M Haji
Ismail Mundu pulang ke Indonesia.
Sewaktu Haji Ismail Mundu tiba di
Jakarta, beliau disambut seorang temannya yaitu Kyai Haji Wahid Hasyim yang
waktu itu menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Kemudian beliau
juga sempat menemui dua orang teman seperguruan lainnya yaitu Habib Ali Habsyi
di Kwitang dan Kyai Pala di Bogor Jawa Barat. Setelah dari Jakarta, beliau
meneruskan perjalanannya ke Pontianak dilanjutkan ke Teluk Pakedai. Di desa inilah
beliau menetap hingga berpulang ke rahmatullah.
Empat puluh hari setelah berada di Teluk Pakedai, Hajjah Asmah binti Sayyid
Abdul Kadir berpulang ke rahmatullah
sehingga Haji Ismail Mundu kembali menduda selama dua tahun, hingga akhirnya beliau
menikah kembali dengan Saleha binti Haji
Muhammad Said. Haji Ismail Mundu
menetap dan berdakwah di Teluk Pakedai sampai akhir hayatnya dimana beliau meninggal
dunia pada hari Kamis, 15 Jumadil Akhir 1376 H (16 Januari 1957 M).
Dalam berdakwah, Haji Ismail Mundu selalu
menerima masyarakat dari berbagai kalangan dengan penuh ikhlas tanpa
mengharapkan imbalan. Beliau mengadakan majelis
ta’lim di dekat Pasar Teluk Pakedai yang lokasinya dianggap strategis dan
mudah dijangkau masyarakat sebagai murid-murid atau santri-santrinya. Selain mengajar
agama Islam di Teluk Pakedai, beliau terkadang datang ke Pontianak untuk
mengajarkan ilmu agama. Materi dakwah yang beliau sampaikan secara garis besar
dikelompokkan ke dalam tiga hal pokok, yaitu, pertama, masalah keimanan
(aqidah); kedua masalah
keislaman (syari’ah); dan ketiga
masalah budi pekerti (akhlak). Ketiga
materi tersebut disampaikan berdasarkan Al-qur’an, hadist, qiyas serta pendapat
alim ulama.
Haji Ismail Mundu berdakwah
menggunakan beberapa metode, diantaranya ceramah, tanya jawab, dan keteladanan.
Metode ceramah sering digunakan beliau ketika memberikan nasehat, khutbah
Jum’at, perayaan hari besar umat Islam dan sebagainya. Untuk khutbah Jum’at, Haji
Ismail Mundu telah menyusun konsepnya selama satu tahun, mulai dari khutbah
bulan Muharram sampai dengan khutbah bulan Dzulhijjah, yang ditulis menggunakan
tulisan Arab Melayu. Tata aturan penulisan disesuaikan dengan rukun khutbah,
seperti Tahmid, Sholawat Nabi, Syahadat, Wasi’at Taqwa, Tilawah Al-Qur’an dan
Do’a. Sedangkan metode dakwah dengan tanya jawab adalah penyampaian materi
dakwah dengan mendorong para santrinya untuk menanyakan suatu masalah yang
dirasakan belum dimengerti. Haji Ismail Mundu juga menggunakan metode
keteladanan dalam berdakwah dengan memperlihatkan suatu contoh yang baik,
berupa ucapan, perbuatan, dan penampilan. Haji Ismail Mundu menjadikan Nabi
Muhammad SAW sebagai suri teladan. Metode keteladanan merupakan metode yang
paling sering dilakukan Haji Ismail Mundu dalam berdakwah karena sudah
merupakan kepribadian beliau dalam keseharian. Sikap tawadu, sederhana, dan
bijaksana dalam berdakwah menjadikan sosok beliau sebagai tokoh ulama yang
layak menjadi sebagai suri teladan. Selain membaca dan mengajarkan Al-qur’an,
beliau mempunyai kebiasaan membaca sholawat Nabi Muhammad SAW baik menggunakan
lagu/syair ataupun tidak.
Haji
Ismail Mundu menulis beberapa kitab, seperti Tafsir Al-qur’an, masalah aqidah dan
syari’ah. Dalam kitab Tafsir Al-qur’an, beliau berusaha mengartikan dan
menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an sesuai dengan makna ayat yang terkandung,
kemudian disampaikan kepada masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi yang
mereka hadapi. Karena banyak murid atau santrinya berasal dari suku Bugis, maka
beliau pun menerjemahkan Al-qur’an ke dalam bahasa Bugis. Selain Tafsir Al-qur’an,
kitab lain yang ditulis adalah Kitab Usul Tahqiq yang isinya menjelaskan
pentingnya kedudukan akidah Islam sebagai pondasi bagi muslim. Haji Ismail
Mundu menganjurkan agar santrinya senantiasa mengesakan Allah SWT (tauhid) dalam situasi dan kondisi apapun.
Kitab
lain yang ditulisnya adalah Muhtasharul Mannan sebagai kitab tauhid yang menjelaskan
kewajiban umat Islam mengenal Allah SWT (ma’rifatullah)
melalui sifat-sifat yang dimiliki-Nya, baik sifat wajib bagi Allah yang
berjumlah 20, sifat-sifat mustahil bagi Allah, maupun sifat jaiz bagi Allah SWT.
Kitabun-Nikah menjelaskan tentang hukum, tata cara dan berbagai hal yang
berkaitan dengan masalah nikah. Dalam kitab ini antara lain dikatakan bahwa
masyarakat umum kebanyakannya hanya mengetahui dua jenis wali nikah, yaitu wali
aqrab dan wali hakim, namun dalam risalah ini juga dibicarakan wali tahkim.
Wali tahkim adalah tidak sama dengan wali hakim. Haji Ismail Mundu menyebut bahwa
syarat bertahkim harus ada tiga perkara yaitu ketiadaan wali; ketiadaan hakim
(maksudnya wali hakim) di negeri itu; dan laki-laki yang dijadikan wali tahkim
itu adil. Selanjutnya ditambahkan keterangan bahwa tiada wajib perempuan dan
laki-laki yang berkehendak nikah itu hadir kedua-duanya dihadapan orang yang
adil itu.
Selanjutnya kitab karya Haji Ismail
Mundu adalah Majmu’ul Miratsa yang menjelaskan masalah pembagian harta
waris menurut madzhab Syafi’iyah, Kitab Zikir Tauhidiyah
yang
terdiri dari 19 halaman, merupakan kitab ijazah dari Haji Ismail, dan Kitab
Mukhtashar Aqaid yang merupakan pelajaran ilmu akidah untuk hafalan anak-anak.
Dengan demikian, selain dakwah dengan lisan dan keteladanan, beliau juga
mempunyai banyak karya tulis berbentuk kitab sebagai sumbangsihnya dalam
penyebaran Islam di Kalimantan Barat khususnya di wilayah Teluk Pakedai dan
sekitarnya.
Masjid Batu Peninggalan Haji Ismail Mundu
Masjid
Batu yang didirikan Haji Ismail Mundu tahun 1926 M (dokumentasi pribadi).
Masjid Batu atau Langgar Batu didirikan Haji Ismail Mundu bersama salah seorang sahabat sekaligus muridnya yang bernama Haruna pada sekitar tahun 1926 M dan mulai dipergunakan sebagai sarana ibadah pada tahun 1929 M. Masjid berukuran 8 x 8 meter ini sekarang menjadi tempat wisata spiritual bagi peziarah yang ingin mengunjungi makam dan mengenang jasa beliau. Masjid ini terletak tidak jauh dari Makam Haji Ismail Mundu dan masih terawat dengan baik. Di bagian kanan di dalam masjid terdapat pajangan dua foto sang pendiri masjid, Haji Ismail Mundu dan Haruna.
Masjid Batu dikenal masyarakat sekitar sebagai tempat untuk melepas niat. Melepas niat menjadi istilah populer bagi mereka yang memiliki hajat atau tujuan tertentu. Dulunya, pada masa Haji Ismail Mundu masih hidup, masjid ini menjadi pusat pendidikan ilmu agama Islam. Masjid Batu dinamakan demikian karena saat itu belum ada bangunan yang menggunakan batu bata. Sejak awal pembangunannya, Masjid Batu memang direncanakan tidak mempergunakan bahan dari kayu, melainkan hanya menggunakan bahan dari batu bata. Oleh sebab itu dikenal dengan nama Masjid Batu. Masjid Batu mempunyai nama lain yaitu Masjid Nasrullah yang baru dikenal nama tersebut setelah dilakukannya renovasi Masjid Batu yang pertama di tahun 1960 M. Pemberian nama Nasrullah diberikan setelah diketahui bahwa pada ujung kubah Masjid Batu ada tulisan Nasrullah. Masjid Batu mulai dipergunakan sebagai sarana ibadah pada tahun 1929 M.
1 Comments:
Ralat .. untuk info mengenai sejarah utk H. HASAN BIN H. muhammad beliau punya anak bernama HJ Nursiah HAS, beliau masih moyang saya sendiri, yg saya ralat kelahiran beliau di Makasar buka telok pakedai. Sebelum beliau ke kalimantan barat atas permintaan sultan beliau di makasar merupKan salah satu pendiri NU di sulawesi selatan dan menjabat kepala departemen agama di sulawesi selatan.. seluruh anak beliai dan istri di makasar hanya Almarhumah Hj Nursiah saja yg di kalimantan barat.
Post a Comment