Ketika Sukarno Menjadi Pengurus Muhammadiyah

Pengurus Muhammadiyah Bengkulu tahun 1928
(Sumber: Hardiansyah)


Kedekatan Sukarno dengan Muhammadiyah tidak sebatas menjadi simpatisan saja, saat dibuang ke Bengkulu ia aktif menjadi kader dan mengetuai Dewan Pengajaran Muhammadiyah tahun 1938

 Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Riwajat

Sudah menjadi informasi yang umum bahwa Presiden pertama RI, Ir. Soekarno dikenal dekat dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Meskipun begitu sangat jarang dibahas sejauh apa kedekatannya dan bagaimana status keanggotaan Sukarno dengan organisasi Islam terbesar asal Yogyakarta itu. Hardiansyah, mubaligh Muhammadiyah di Bengkulu sekaligus penulis buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu, menyebutkan perkenalan beliau dengan organisasi ini sebenarnya sekitar tahun 1920. Kala itu saat Sukarno muda masih menjadi anak indekos di rumah H.O.S Cokroaminoto, Gang Peneleh-Surabaya, beberapa kali dikunjungi oleh K.H.Ahmad Dahlan yang datang langsung dari Yogyakarta. Konon Sukarno sangat terpukau dan begitu meresapi ceramah yang disampaikan oleh K.H Ahmad Dahlan itu, sehingga hal ini turut merubah cara pandangnya akan Islam yang dinilai perlu mencontoh pemikiran Muhammadiyah akan Islam yang berkemajuan. Demikian dalam bedah bukunya pada Senin 19 Juli 2021 yang diadakan dalam rangka Menuju Kongres Sejarawan Muhammadiyah 2021 secara daring. 

Kegiatan bedah buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu 19 Juli 2021


Medio tahun 1930an dimana Sukarno telah muncul sebagai pemimpin politik nasional yang getol melakukan agitasi dan propaganda melalui Partai Nasional Indonesia (PNI), membuatnya harus menjalani pengasingan karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial. Awalnya ia dibuang ke Ende pada 1933, akan tetapi pada 1938 ia dipindahkan ke Bengkulu. Kepindahannya ke Bengkulu ini menjadi babak baru bagi kehidupan Sukarno, ia diminta oleh tokoh Muhammadiyah disana, Hasan Din untuk menjadi guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Tanpa berpikir panjang Sukarno menyetujuinya, lagipula pasca lulus dari Technische Hooge School dirinya juga diketahui pernah menjadi guru di Ksatrian Instituut milik Dr. Setiabudi di Bandung. 

Baca: Ketika Sukarno Menjadi Guru Sejarah dan Matematika

Tidak sampai disitu, selama aktif menjadi pengurus Muhammadiyah Bengkulu ia juga dipercayai menjadi Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah yang saat ini setingkat dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah. Selama di Bengkulu ia juga aktif memberikan pengajaran di Madrasah Kebun Ross, mengajukan usulan diadakan konferensi Daeratul Kubro dan mendirikan PEKOPE (Penolong Korban Perang) bersama rekannya sesama pengurus Muhammadiyah Bengkulu, Oey Tjeng Hien dan dr. Djamil. 

Salah satu surat keputusan Dewan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu
yang ditandatangani oleh Sukarno pada 1938. (Sumber: Hardiansyah)

Pergumulannya dengan Muhammadiyah di Bengkulu inilah yang selanjutnya membuat Sukarno jatuh hati dengan putri Hasan Din, Fatmawati, yang kemudian dinikahinya pada tahun 1943 melalui nikah wali. Hardiansyah juga menambahkan dimasa pendudukan Jepang pada tahun 1942, Sukarno dibebaskan oleh Dai Nippon dan dibawa ke Jakarta untuk diajak bekerjasama. Masih menurut Hardiansyah, di Bengkulu kegiatan Muhammadiyah tidak dibubarkan oleh Jepang sebagaimana yang terjadi di wilayah lain di Indonesia. Hal ini berkat siasat kecerdikan sang ketua Oey Tjeng Hien yang memberitahukan bahwa umat Islam se-Bengkulu akan sangat marah apabila Muhammadiyah dibubarkan. Sebaliknya Oey menawarkan Jepang tanaman jarak yang dapat ia perintahkan untuk ditanam oleh seluruh warga dan simpatisan Muhammadiyah Bengkulu. Hal ini disetujui oleh Jepang yang gembira dengan hasil tanaman jarak yang sangat dibutuhkan  untuk melumasi mesin-mesin perang balatentara Dai Nippon.

0 comments:

Post a Comment