Kiprah Kesatuan Rakyat Indonesia Sarawak/KRIS (1947-1949)

 

Foto pengurus KRIS yang bekerja di Kuching Fire Station
(Sumber: M. Sabirin AG)


Oleh: M. Rikaz Prabowo | Guru Sejarah, Pimred Riwajat

Kuching, adalah sebuah kota negara bagian Sarawak, Kerajaan Malaysia. Kota ini cukup besar dan sangat dikenal oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Lekatnya hubungan Kuching dengan penduduk dibalik batas negara atau sebaliknya di latarbelakangi adanya kesamaan suku bangsa, agama, dan bahasa, yakni Melayu dan Islam. Tidak sedikit pula penduduk Kuching memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat Melayu di negeri seberangnya, terutama Sambas. Selain punya hubungan etnografi, Kuching juga menyimpan sejarah kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi fisik 1945-1949. Sepanjang masa itu, pernah berdiri organisasi Kesatuan Rakyat Indonesia Sarawak (KRIS) yang didirikan oleh warga Indonesia dan para pejuang republik yang melarikan diri dari kejaran NICA/KNIL. 


Berdirinya KRIS

Belum ada catatan yang pasti sejak kapan KRIS berdiri karena kurangnya sumber, namun satu hal yang perlu digaris bawahi ialah keberadaan komunitas masyarakat Indonesia yang berada di Kuching sudah ada jauh sebelum tahun 1945. Bebasnya siaran radio Inggris membuat mereka selalu memantau perkembangan terkini di Indonesia, termasuk kabar proklamasi di Jakarta pada 17 Agustus 1945. Kabar berkuasanya kembali Belanda (NICA) terhadap tanah air, juga akhirnya sampai ditelinga mereka yang ditanggapi dengan perasaan geram.

Di Sambas, tokoh-tokoh pendukung kemerdekaan melakukan protes terhadap berkuasanya kembali. Pada 27 Oktober 1945, Persatuan Bangsa Indonesia (PERBIS) pimpinan H.M Siradj Sood mengadakan aksi penurunan bendera Belanda dan menaikkan bendera Merah Putih disejumlah lokasi seperti markas PKO (Penjaga Keamanan Oemoem) dan Keraton Sambas. Aksi itu membuat Belanda marah dan menindak mereka secara represif, salah satu korbannya ialah Tabrani Ahmad. Sejak itu Belanda gencar melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pemuda atau tokoh-tokoh yang telah diidentifikasi sebagai pejuang. Demi keamanan dan kelangsungan perjuangan, para pejuang banyak yang menyingkir dari Sambas menghindari pengejaran aparat NICA. Demikian Pasifikus Ahok, dkk, dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 Daerah Kalimantan Barat (1992).

Penangkapan-penangkapan pemuda itu terus berlangsung gencar. Anggota organisasi perjuangan seperti Gerindom (Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka) pimpinan M. Arif. Satok dan PERMI (Perhimpunan Muslimin Indonesia) pimpinan H.M Siradj Sood saban waktu terus berkurang karena ditangkap oleh aparat Belanda. Puncak penangkapan besar-besaran terjadi pasca GAPI (Gabungan Persatuan Indonesia) Sambas dan Pontianak mengeluarkan resolusi pada Mei tahun 1947, yang berisi penolakan pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan menyatakan wilayah ini adalah bagian dari Negara Republik Indonesia serta meminta masuknya TNI. Soedarto (1989) dalam Naskah Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat 1908-1950, menyebutkan tokoh-tokoh yang ikut dalam resolusi tersebut dianggap pembangkang oleh Belanda, beberapa berhasil ditangkap, namun nama-nama pengurus GAPI Sambas seperti Abdul Latif dan Yacob Ahmad berhasil melarikan diri ke Sarawak.

Abdul Latif sendiri sebenarnya sudah sering hilir mudik dari Sambas ke Kuching dan hafal jalan-jalan tikus untuk menghindari patroli dan pos pemeriksaan Belanda. Pada bulan September 1946 ia bersama Mohammad Tang menemui Sersan Mayor Djafar (Tentara Malaysia-Inggris) untuk menukarkan cincin emas seberat 2 gram miliknya dengan 1 buah Pistol Colt 45 dan pistol otomatis yang telah dicarikan. Pistol otomatis dipegang oleh Abdul Latif, sedangkan Pistol Colt kemudian diberikan kepada Bambang Ismoyo yang ia gunakan dalam penyerangan di Bengkayang pada 9 Oktober 1946. Kenang M. Sabirin AG dalam bukunya Perjuangan Rakyat Sambas Menentang Penjajah (2010). Ditambahkan pula, kunjungan H.M Siradj Sood (Ketua PERMI) ke Kuching pada pertengahan tahun 1947 menganjurkan untuk mendirikan sebuah organisasi guna menampung orang Indonesia yang tersasar, bekerja, atau melarikan diri ke Sarawak. Hal inilah yang kemudian mendorong dibentuknya KRIS.

 

H.M Siradj Sood, Ketua PERBIS dan PERMI
di Sambas. (Sumber: M. Sabirin AG).

Mengirim Amunisi dan Berdiplomasi

Eksistensi KRIS di Kuching mendapatkan dukungan oleh warga Malaysia yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah Mohammad Dahlan, rumahnya di Jalan Dato Osman Road, Kampung Bentangor kerap menjadi pertemuan para pengurus KRIS. Berdirinya KRIS sendiri bertujuan untuk menggalang kesatuan (warga Indonesia di Sarawak) dan mengusahakan untuk menopang para pejuang yang ada di Sambas. Dengan begitu KRIS diharapkan dapat mengirim suplai persenjataan yang sangat dibutuhkan oleh para pejuang. Abdul Latif sendiri diketahui didapuk menjadi ketua organisasi perantauan Indonesia itu (Soedarto, 1989).

Usaha-usaha KRIS ini bukannya ringan dan tanpa resiko, pemerintah Inggris yang berkuasa di Sarawak akan menghukum orang yang didapat memiliki senjata api tanpa seizin mereka. Pergerakan KRIS juga tidak bisa terlalu terang-terangan karena aparat Inggris kerap mengawasi gerak-gerik politik orang-orang bumiputera (warga Melayu). Praktis usaha-usaha mendapatkan senjata itu dilakukan dengan cara bawah tanah yang didapatkan dari pasar gelap. Untuk menyamarkan aktivitas mereka, Abdul Latif dan beberapa pengurus KRIS lainnya seperti Yacob Ahmad, Bakaruddin, dan Sumiran menyamar menjadi pekerja di Dinas Pemadam Kebakaran Kuching (Kuching Fire Station) dan berhasil berbaur dengan pekerja dari warga setempat. “Adanya KRIS bahkan menginspirasi warga lokal untuk membentuk organisasi bawah tanah guna memperjuangkan kemerdekaan mereka dari Inggris dan saling menjalin hubungan dengan KRIS atas dasar senasib sepenanggungan”, ujar M. Sabirin AG. 

Abdul Latif Abdullah (Sumber: M. Sabirin AG)


KRIS pernah mengadakan latihan perang selama tiga minggu di Batu Haji Roli Road, Serian dan Batu 3 Matang Road yang diikuti sekitar dua puluh lima pemuda KRIS dan dilatih oleh Adiani Hardigaluh alias Suprapto, mantan tentara PETA. “Sayangnya latihan itu tercium polisi rahasia Inggris dan mesti membubarkan diri daripada dijebloskan ke penjara”, pungkas Sabirin. Hubungan komunikasi antara KRIS dengan pejuang di Kalimantan Barat terjalin dengan baik. Suatu waktu, Tadjuddin, Kepala Seksi Perlengkapan Barisan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) bahkan langsung datang ke Kuching untuk mengambil suplai senjata yang telah diusahakan oleh Abdul Latif. Seorang warga Malaysia yang bernama Deraman Laco sangat berjasa dalam usaha ini karena bertindak sebagai perantara. Setelah berhasil didapatkan beberapa pucuk senjata api berbagai jenis, senjata itu dibawa ke Indonesia melalui Teluk Serabang untuk kemudian digunakan memperkuat BPIKB yang bergerilya disekitar afdeeling Sambas. Keberhasilan  BPIKB menyerang tangsi KNIL di Sambas pada 10 Januari 1949 yang menewaskan 9 orang tentara mereka, tidak lepas dari andil KRIS dalam mensuplai senjata dan mengirimkan pejuang yang sempat dilatih di Kuching. (Soedarto, 1989)

Kiprah KRIS di Kuching tidak hanya pada urusan suplai persenjataan dan amunisi untuk para pejuang. Secara lebih jauh keberadaan mereka mulai dikenal luas di Sarawak. KRIS menjalin hubungan dengan berbagai elemen perjuangan baik yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar negeri. KRIS pernah kedatangan utusan organisasi serupa dari Semenanjung Malaya, yakni Bustomi dan Arif Simanjuntak dari Persatuan Indonesia Malaya (PIM). Begitupula hubungan dengan pejuang Indonesia yang berada di Singapura seperti Fadhil Jabir dan Djayadi Saman untuk saling bertukar informasi. Lewat KRIS lah berita-berita internasional dan kemajuan perjuangan RI secara diplomatik berhasil sampai ke telinga para pejuang di Kalimantan Barat. Secara rutin KRIS mengirim koran News Service yang terbit di Kuching untuk kemudian dikirim ke Sambas.

Kegiatan-kegiatan KRIS perlahan mendapatkan simpati dari otoritas setempat. Pada 17 Agustus 1947, otoritas Kuching memberikan izin KRIS untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang kedua. Sejumlah tokoh pemimpin dan masyarakat Sarawak diundang pada peringatan itu, terangan Soedarto. Peringatan itu berlangsung sederhana namun tetap khidmat di halaman rumah Bang Cik di Sadik Road. Bendera Merah Putih boleh dikibarkan seharian penuh yang didahului oleh upacara yang dipimpin Sukimin dan Yacob Ahmad sebagai pembaca teks proklamasi. Pasca keberhasil Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949, eksistensi KRIS tidak diketahui secara pasti karena tidak berlangsung lagi perjuangan gerilya. Akan tetapi sejarah tidak boleh melupakan jasa-jasa Abdul Latif dan KRIS-nya dalam perjuangan membela eksistensi Republik Indonesia meskipun berada di negeri seberang.


Baca Juga: G.M Affandi Rani, Penguasa Landak yang Memimpin Gerilya

0 Comments:

Post a Comment