Foto pengurus KRIS yang bekerja di Kuching Fire Station (Sumber: M. Sabirin AG) |
Oleh: M. Rikaz
Prabowo | Guru Sejarah, Pimred Riwajat
Kuching, adalah sebuah kota negara bagian Sarawak, Kerajaan Malaysia. Kota ini cukup besar dan sangat dikenal oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Lekatnya hubungan Kuching dengan penduduk dibalik batas negara atau sebaliknya di latarbelakangi adanya kesamaan suku bangsa, agama, dan bahasa, yakni Melayu dan Islam. Tidak sedikit pula penduduk Kuching memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat Melayu di negeri seberangnya, terutama Sambas. Selain punya hubungan etnografi, Kuching juga menyimpan sejarah kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi fisik 1945-1949. Sepanjang masa itu, pernah berdiri organisasi Kesatuan Rakyat Indonesia Sarawak (KRIS) yang didirikan oleh warga Indonesia dan para pejuang republik yang melarikan diri dari kejaran NICA/KNIL.
Berdirinya KRIS
Belum ada catatan yang pasti sejak kapan KRIS berdiri
karena kurangnya sumber, namun satu hal yang perlu digaris bawahi ialah
keberadaan komunitas masyarakat Indonesia yang berada di Kuching sudah ada jauh
sebelum tahun 1945. Bebasnya siaran radio Inggris membuat mereka selalu
memantau perkembangan terkini di Indonesia, termasuk kabar proklamasi di
Jakarta pada 17 Agustus 1945. Kabar berkuasanya kembali Belanda (NICA) terhadap
tanah air, juga akhirnya sampai ditelinga mereka yang ditanggapi dengan
perasaan geram.
Di Sambas, tokoh-tokoh pendukung kemerdekaan melakukan
protes terhadap berkuasanya kembali. Pada 27 Oktober 1945, Persatuan Bangsa
Indonesia (PERBIS) pimpinan H.M Siradj Sood mengadakan aksi penurunan bendera
Belanda dan menaikkan bendera Merah Putih disejumlah lokasi seperti markas PKO
(Penjaga Keamanan Oemoem) dan Keraton Sambas. Aksi itu membuat Belanda marah dan
menindak mereka secara represif, salah satu korbannya ialah Tabrani Ahmad. Sejak
itu Belanda gencar melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pemuda atau
tokoh-tokoh yang telah diidentifikasi sebagai pejuang. Demi keamanan dan
kelangsungan perjuangan, para pejuang banyak yang menyingkir dari Sambas
menghindari pengejaran aparat NICA. Demikian Pasifikus Ahok, dkk, dalam Sejarah
Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 Daerah Kalimantan Barat (1992).
Penangkapan-penangkapan pemuda itu terus berlangsung
gencar. Anggota organisasi perjuangan seperti Gerindom (Gerakan Rakyat
Indonesia Merdeka) pimpinan M. Arif. Satok dan PERMI (Perhimpunan Muslimin
Indonesia) pimpinan H.M Siradj Sood saban waktu terus berkurang karena
ditangkap oleh aparat Belanda. Puncak penangkapan besar-besaran terjadi pasca
GAPI (Gabungan Persatuan Indonesia) Sambas dan Pontianak mengeluarkan resolusi
pada Mei tahun 1947, yang berisi penolakan pembentukan Daerah Istimewa
Kalimantan Barat (DIKB) dan menyatakan wilayah ini adalah bagian dari Negara
Republik Indonesia serta meminta masuknya TNI. Soedarto (1989) dalam Naskah
Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat 1908-1950, menyebutkan
tokoh-tokoh yang ikut dalam resolusi tersebut dianggap pembangkang oleh
Belanda, beberapa berhasil ditangkap, namun nama-nama pengurus GAPI Sambas
seperti Abdul Latif dan Yacob Ahmad berhasil melarikan diri ke Sarawak.
Abdul Latif sendiri sebenarnya sudah sering hilir
mudik dari Sambas ke Kuching dan hafal jalan-jalan tikus untuk menghindari
patroli dan pos pemeriksaan Belanda. Pada bulan September 1946 ia bersama
Mohammad Tang menemui Sersan Mayor Djafar (Tentara Malaysia-Inggris) untuk
menukarkan cincin emas seberat 2 gram miliknya dengan 1 buah Pistol Colt
45 dan pistol otomatis yang telah dicarikan. Pistol otomatis dipegang oleh
Abdul Latif, sedangkan Pistol Colt kemudian diberikan kepada Bambang
Ismoyo yang ia gunakan dalam penyerangan di Bengkayang pada 9 Oktober 1946.
Kenang M. Sabirin AG dalam bukunya Perjuangan Rakyat Sambas Menentang
Penjajah (2010). Ditambahkan pula, kunjungan H.M Siradj Sood (Ketua PERMI)
ke Kuching pada pertengahan tahun 1947 menganjurkan untuk mendirikan sebuah
organisasi guna menampung orang Indonesia yang tersasar, bekerja, atau
melarikan diri ke Sarawak. Hal inilah yang kemudian mendorong dibentuknya KRIS.
H.M Siradj Sood, Ketua PERBIS dan PERMI di Sambas. (Sumber: M. Sabirin AG). |
Mengirim Amunisi dan Berdiplomasi
Eksistensi KRIS di Kuching mendapatkan dukungan oleh
warga Malaysia yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Salah satunya
adalah Mohammad Dahlan, rumahnya di Jalan Dato Osman Road, Kampung Bentangor
kerap menjadi pertemuan para pengurus KRIS. Berdirinya KRIS sendiri bertujuan
untuk menggalang kesatuan (warga Indonesia di Sarawak) dan mengusahakan untuk
menopang para pejuang yang ada di Sambas. Dengan begitu KRIS diharapkan dapat
mengirim suplai persenjataan yang sangat dibutuhkan oleh para pejuang. Abdul
Latif sendiri diketahui didapuk menjadi ketua organisasi perantauan Indonesia
itu (Soedarto, 1989).
Usaha-usaha KRIS ini bukannya ringan dan tanpa resiko, pemerintah Inggris yang berkuasa di Sarawak akan menghukum orang yang didapat memiliki senjata api tanpa seizin mereka. Pergerakan KRIS juga tidak bisa terlalu terang-terangan karena aparat Inggris kerap mengawasi gerak-gerik politik orang-orang bumiputera (warga Melayu). Praktis usaha-usaha mendapatkan senjata itu dilakukan dengan cara bawah tanah yang didapatkan dari pasar gelap. Untuk menyamarkan aktivitas mereka, Abdul Latif dan beberapa pengurus KRIS lainnya seperti Yacob Ahmad, Bakaruddin, dan Sumiran menyamar menjadi pekerja di Dinas Pemadam Kebakaran Kuching (Kuching Fire Station) dan berhasil berbaur dengan pekerja dari warga setempat. “Adanya KRIS bahkan menginspirasi warga lokal untuk membentuk organisasi bawah tanah guna memperjuangkan kemerdekaan mereka dari Inggris dan saling menjalin hubungan dengan KRIS atas dasar senasib sepenanggungan”, ujar M. Sabirin AG.
Abdul Latif Abdullah (Sumber: M. Sabirin AG)
KRIS pernah mengadakan latihan perang selama tiga
minggu di Batu Haji Roli Road, Serian dan Batu 3 Matang Road yang diikuti
sekitar dua puluh lima pemuda KRIS dan dilatih oleh Adiani Hardigaluh alias
Suprapto, mantan tentara PETA. “Sayangnya latihan itu tercium polisi rahasia
Inggris dan mesti membubarkan diri daripada dijebloskan ke penjara”, pungkas
Sabirin. Hubungan komunikasi antara KRIS dengan pejuang di Kalimantan Barat
terjalin dengan baik. Suatu waktu, Tadjuddin, Kepala Seksi Perlengkapan Barisan
Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) bahkan langsung datang ke
Kuching untuk mengambil suplai senjata yang telah diusahakan oleh Abdul Latif.
Seorang warga Malaysia yang bernama Deraman Laco sangat berjasa dalam usaha ini
karena bertindak sebagai perantara. Setelah berhasil didapatkan beberapa pucuk
senjata api berbagai jenis, senjata itu dibawa ke Indonesia melalui Teluk
Serabang untuk kemudian digunakan memperkuat BPIKB yang bergerilya disekitar afdeeling
Sambas. Keberhasilan BPIKB menyerang
tangsi KNIL di Sambas pada 10 Januari 1949 yang menewaskan 9 orang tentara
mereka, tidak lepas dari andil KRIS dalam mensuplai senjata dan mengirimkan pejuang
yang sempat dilatih di Kuching. (Soedarto, 1989)
Kiprah KRIS di Kuching tidak hanya pada urusan suplai
persenjataan dan amunisi untuk para pejuang. Secara lebih jauh keberadaan
mereka mulai dikenal luas di Sarawak. KRIS menjalin hubungan dengan berbagai
elemen perjuangan baik yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar
negeri. KRIS pernah kedatangan utusan organisasi serupa dari Semenanjung Malaya,
yakni Bustomi dan Arif Simanjuntak dari Persatuan Indonesia Malaya (PIM).
Begitupula hubungan dengan pejuang Indonesia yang berada di Singapura seperti
Fadhil Jabir dan Djayadi Saman untuk saling bertukar informasi. Lewat KRIS lah
berita-berita internasional dan kemajuan perjuangan RI secara diplomatik
berhasil sampai ke telinga para pejuang di Kalimantan Barat. Secara rutin KRIS
mengirim koran News Service yang terbit di Kuching untuk kemudian
dikirim ke Sambas.
Kegiatan-kegiatan KRIS perlahan mendapatkan simpati
dari otoritas setempat. Pada 17 Agustus 1947, otoritas Kuching memberikan izin
KRIS untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang kedua. Sejumlah tokoh
pemimpin dan masyarakat Sarawak diundang pada peringatan itu, terangan
Soedarto. Peringatan itu berlangsung sederhana namun tetap khidmat di halaman
rumah Bang Cik di Sadik Road. Bendera Merah Putih boleh dikibarkan seharian
penuh yang didahului oleh upacara yang dipimpin Sukimin dan Yacob Ahmad sebagai
pembaca teks proklamasi. Pasca keberhasil Konferensi Meja Bundar 27 Desember
1949, eksistensi KRIS tidak diketahui secara pasti karena tidak berlangsung
lagi perjuangan gerilya. Akan tetapi sejarah tidak boleh melupakan jasa-jasa
Abdul Latif dan KRIS-nya dalam perjuangan membela eksistensi Republik Indonesia
meskipun berada di negeri seberang.
Baca Juga: G.M Affandi Rani, Penguasa Landak yang Memimpin Gerilya
0 Comments:
Post a Comment