Resensi: Putri Islam Dalam Pergolakan

 

Nasyiatul Aisiyah cabang Kubang, Sumatera Barat, 1952
(Sumber: 100 Tahun Muhammadiyah Menyinari Negeri)

Oleh: Hardiansyah | Penulis Sejarah, Bengkulu


Judul Buku:
Pergolakan Putri Islam: Perkembangan Wacana Gender dalam Nasyiatul Aisyiyah 1965-2005
Penulis: Siti Syamsiatun, M.A. Ph.D
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Tahun Terbit: 2016
Halaman: xvi +296 halaman
Harga: Rp 73.000 (Suara Muhammadiyah online store)


Buku Pergolakan Putri Islam karya Siti Syamsiatun
(Sumber: suaramuhammadiyah.or.id)

Sejarah kaum perempuan di Indonesia semakin menarik dikaji dengan berbagai macam perspektifnya. Tentunya, buku Cora Vreede Stuers berjudul The Indonesian Woman : Struggles and Achievement (dalam edisi Indonesia berjudul Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian diterbitkan oleh komunitas Bambu) yang terbit pada tahun 1960 an menjadi semacam pionir dalam kajian sejarah perempuan di Indonesia. Tentunya setelah Cora menulis buku ini, masih terjadi perubahan peran serta kaum perempuan hingga tiga dasawarsa setelahnya. Hal ini dikarenakan politik orde baru mensubordinasi kedudukan perempuan. Masih banyak penelitian lain tentang kaum perempuan di Indonesia seperti penelitian Saskia E Wieringa yang memaparkan tentang pembungkaman gerakan perempuan khususnya Gerwani yang merupakan sayap perempuan PKI, Susan Blackburn meneliti tentang kongres perempuan pertama pada tahun 1928, Reggie Bay yang meneliti tentang Nyai dan pergundikan di Indonesia pada masa Hindia Belanda, Anna Mariana yang meneliti tentang kekerasan seksual pada masa Belanda dan Jepang hingga buku Mutiah Amini yang meneropong sejarah organisasi perempuan di Indonesia dari tahun 1928 hingga 1998. Jikalau kita lihat pun, tema perempuan sangat lekat pula dalam karya – karya Pramoedya Aanta Toer, mulai dari perempuan dalam cengkeraman militer hingga Larasati. Karya Pram membantu kita lebih mengenali posisi perempuan dalam pandangan Pram saat ia hidup.

Luasnya tema – tema sejarah, membuat sejarah tidak lagi didominasi dengan sejarah politik maupun ‘heroworship”. Sejarah ekonomi, arsitektur, sejarah organisasi dan institusi dan tema – tema sejarah lainnya makin marak dilakukan. Berkaitan dengan Muhammadiyah karya Alfian yang menyandingkan Muhammadiyah dengan perilaku politiknya masih menjadi rujukan yang otoritatif hingga saat ini. Tak terhitung peneliti – peneliti baik dalam maupun luar negeri yang meneliti tentang Muhammadiyah dari berbagai aspek dan segi mulai dari politik, ekonomi, budaya, pandangan keagamaan, antropologi dan lain sebagainya. Bahkan semangat filantropi muhammadiyah diangkat pula oleh peneliti seperti Amelia Fauzi dan sejarawan Muda Universitas Gajah Mada, Ghifari Yuristiadi. Sayangnya penelitian tentang Muhammadiyah itu masih sedikit “mengerlingkan mata” pada gerakan perempuan Muhammadiyah, seperi Aisyiyah maupun Nasyiatul Aisyiyah.

Buku berwarna merah hati ini lahir dari disertasi penulisnya di Monash University. Siti Syamsiatun adalah seorang ilmuwan pakar dalam bidang kajian Islam dan gender serta menjadi Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies di Sekolah Pascasarjana UGM dan pengajar di UIN Syarif Hidayatullah.  Buku ini memotret perkembangan wacana Jender dalam Nasyiatul Aisyiyah pada periode 1965 - 2005. Nasyiatul Aisiyah / Nasyiah adalah organisasi perempuan dalam Muhammadiyah yang berdiri sejak tahun 1931. Hal ini menarik, karena kaum pembaharu yang hidup pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 seperti Abduh, Ahmad Khan, Iqbal, Al Afghani, atau Rasyid Ridha sangat jarang membahas peran kaum perempuan dalam wacana ataupun dalam gerakan praksis. Namun, menurut Dr. Syaifullah, Kiai Dahlan adalah salah satu kaum pembaharu yang mengelaborasikan wacana pemberdayaan kaum perempuan ke ranah praksis.

Jauh sebelum perempuan Muhammadiyah diteliti, G. F Pijper, menulis keberminatannya terhadap wanita dan Masjid dengan mengambil penelitiannya tentang hal ini di kampung kauman, Yogyakarta, jantungnya gerakan Muhammadiyah. Keaktifan kaum perempuan di masjid mereka "sendiri" beserta fungsi ritual dan sosial disorot oleh Pijper dengan baik. Fenomena ini unik pada masa itu, dimana posisi kaum perempuan sangat terpinggirkan dan tersubordinasi.

Nasyiah muncul dari benih Siswa Praya Wanita (SPW) yang berdiri pada tahun 1918. Seiring waktu akhirnya SPW masuk dan menjadi satu bagian dengan Aisyiyah ( nama sebelumnya Perempuan Sapa Tresna). Dalam Kongres Muhammadiyah ke 20 pada 16 Mei 1931, SPW mengganti namanya menjadi Nasyiatul Aisiyah. Sayangnya perlu berpuluh tahun kemudian NA baru diberikan kesempatan untuk melaksanakan muktamar sendiri seiring dengan muktamar Muhammadiyah setengah abad pada tahun 1962.  Pada siding Tanwir tahun 1963 di Yogyakarta, tuntutan Nasyiah untuk mendapatkan otonomi sendiri dipenuhi sehingga pada 19 – 24 Juli 1965, Nasyiah melakukan Munasnya sendiri sebagai lembaga otonom Muhammadiyah.

Periode pada buku ini bermula dari masa orde baru berkuasa, dengan ditandai hancurnya PKI, peminggiran Soekarnois serta kemenangan Angkatan Bersenjata dalam politik. Kehancuran PKI diikuti pula oleh kehancuran organisasi kiri lainnya seperti Gerwani, rival terberat Aisyiyah dan Nasyiah pada masa orde Lama. Memang, Gerwani memiliki paradigma sendiri dan muncul sebagai tonggak kaum wanita pada masa itu yang mencitrakan kaum wanita bukanlah kaum yang lemah dan bukan sebagai babu rumah tangga. Bu Syamsiatun menerangkan fakta menarik seputar perdebatan antara Aisiyah / NA disatu sisi dan Gerwani di sisi yang lain.

Pada masa Orde Baru, ibuisme negara - meminjam istilah Julia Suryakusuma- adalah " Mazhab" resmi negara dimana peran perempuan sebagaimana yang dipersonifikasikan oleh Gerwani dihempas ke belakang. Wanita harus kembali ke kodratnya, rumah dan menjadi ibu yang baik. Tidak ada ruang politik bagi perempuan, paling banter perempuan aktif dalam PKK maupun Dharma wanita. Orba menggalakkan KB, vaksinisasi untuk balita dan program lainnya dimana Aisyiyah maupun NA ikut terlibat dalam program - program tersebut.  Masa 1985 - 2005 adalah masa dimana intelektualisasi NA terjadi, bertepatan pula dengan wacana feminisme dan kesetaraan gender berkembang yang ditangkap oleh NA. ada yang pro dan ada pula yang antipati. Hal ini menimbulkan dinamika tersendiri di tubuh NA. Paradigma lama di tubuh NA perlahan mulai tergantikan dengan pendekatan baru terhadap masalah perempuan. Apalagi pada masa itu, banyak kaum perempuan yang kuliah di Kanada, Amerika, Australia dan Mesir. Alih alih terjebak dengan pemikiran feminisme Radikal, Nasyiah mengajukan dan mengglontorkan feminisme Islam.

Jika dulu pendidikan Islam kurang dihargai, kini justru menjadi sumber otoritas bagi perempuan untuk terjun dalam perdebatan mengenai perempuan melalui wacana, perdebatan aktivisme sosial keagamaan hingga usaha intelektual lainnya. Jika dulu perempuan Muhammadiyah mati matian membela poligami dalam Kongres perempuan pertama, bu Syamsiatun malah menemukan fakta, di Sulawesi Selatan terdapat " Pemboikotan" terhadap anggota yang mengizinkan suaminya nikah lagi.

Lalu bagaimana dengan kontestasi pasca orba runtuh? Dimana muncul partai politik dan calon presiden baru. Salah duanya adalah Amin Rais dan Megawati. Di satu sisi, pak Amin adalah tokoh politik harapan warga Muhammadiyah, namun di sisi lain ada mbak Mega yang mewakili suara perempuan. Dalam hal ini NA membuat keputusan berani yaitu netral. Banyak yang akhirnya menilai diamnya NA sebagai sebuah dukungan untuk Megawati dimana NA hendak mempertahankan nilai kesetaraan gender tersebut. Sebuah kasus yang tentu sangat menarik.

Sebagai sebuah refleksi hingga hari ini dimana suara keterwakilan perempuan trelah diberikan 30 persen dalam politik, Nasyiah belum mampu untuk meletakkan kader – kader terbaiknya baik secara kuantitas maupun kualitas. Sebuah kesimpulan terbetik, bahwa gen Nasyiah bukan di politik, namun ada pada lapangan pendidikan, sosial dan keagamaan, walau beberapa kader NA dapat merebut kuota politik negeri, namun tentu hasilnya tak seberapa.

Buku ini menggunakan pendekatan feminisme dalam mengkaji dinamika yang terjadi dalam tubuh Nasyiah. Kajian dalam buku ini meneliti bagaimana putri Islam dalam Nasyiah menggunakan kapasitas mereka dalam bertindak untuk mengembangkan gagasan mengenai ideology keputrian dan gender dalam konteks situasi politik kontemporer di Indonesia. Penulis membagi buku ini dalam tujuh bab yaitu kerangka analitis penelitian, Nasyiah pada masa Orde baru, sejarah perkembangan Nasyiah dengan sudut pandang feminism religious, perubahan realitas perempuan pascakolonial, Kondisi Nasyiah setelah mendapatkan status otonom, Tantangan baru Nasyiah dan Budaya organisasi dalam Nasyiah

Akhirnya, lebar peluang untuk meneliti ortom Muhammadiyah khusus nya NA dipandang dari berbagai segi dan bidang sehingga semakin banyak dan marak kajian Muhammadiyah serta dinamikanya di ortom masing masing.

Wallahualambishawab.

0 Comments:

Post a Comment