Terbitnya Sang Surya di Gang Mariana

Gang Merak 2 Jalan Pak Kasih Pontianak
(Sumber: Google Photo Images)


Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Riwajat


Gang kecil yang terletak di Jalan Pak Kasih ini menyimpan banyak kenangan sejarah, disinilah pusat kegiatan cabang Muhammadiyah Pontianak dengan didirikannya Volkschool dan beragam aktifitas lainnya seperti kepanduan Hizbul Wathan sejak tahun 1930an. 

Gang Merak II, Kelurahan Mariana, Pontianak Kota, adalah sebuah gang kecil yang tidak seberapa besar. Letaknya persis di depan Pelabuhan Dwikora, Jalan Pak Kasih. Di gang tersebut terdapat dua sekolah milik Muhammadiyah, yakni SD Muhammadiyah 3 dan SMP Muhammadiyah 3. Akan tetapi tahukah jika komplek sekolah ini telah ada jauh sebelum negeri ini mencapai kemerdekaannya? 

Tidak ada catatan yang pasti, kapan tanggal Muhammadiyah mulai membuka cabangnya di Pontianak. Alqadrie dan Sastrowardoyo (1984), dalam Sejarah Sosial Kotamadya Pontianak menyebutkan, Muhammadiyah membuka cabangnya di tahun 1926 oleh para mubaligh dari Minangkabau. Orang yang dimaksud yakni H. Muhammad Akief (Akib) dan H. Abdul Manaf, yang kebetulan juga menjadi guru di Islamiyah School Kampung Bangka.

Surat Kabar Kapuas Bode 27 September 1927 mewartakan, telah dibuka Muhammadiyah School yang saat itu dipimpin guru Gouvernement Klas II School (Sekolah Kelas Dua), Mohammad Joenoes. Sekolah yang masih berupa kursus-kursus agama Islam ini masih menumpang di tempat Mohammad Joenoes mengajar sehingga dilaksanakan siang-sore hari. Menariknya, sekolah ini juga menyediakan guru perempuan untuk siswa perempuannya, dan pembayaran iurannya pun sesuai kesanggupan ekonomi orang tua siswa.

Perlahan namun pasti, cabang Muhammadiyah di Pontianak mulai menyusun personalianya.  dimana Arsyad Annasar terpilih sebagai ketua pertamanya, dibantu oleh Haji Muhammad Akief dan Jayadi Saman. Soedarto, dkk, (1978) dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat menyebutkan ketiga tokoh tersebut sebagai angkatan pertama Muhammadiyah cabang Pontianak. Arsyad Annasar sendiri dikenal sebagai hartawan pemilik percetakan (Drukkerij) Annasyar dan menjadi pendukung utama dalam hal keuangan bagi organisasi ini. Dahulu Gang Merak II dikenal sebagai Gang Mariana, pada masa itu dikenal sebagai pusat kegiatan Muhammadiyah cabang Pontianak. Berdiri ditengah kampung penduduk muslim, dimana tidak jauh pula dari situ terdapat Surau yang telah ada sejak tahun 1900 dan pada masanya berubah menjadi Masjid At-Taqwa pada tahun 1936 dan menjadikannya sebagai Masjid kedua di Pontianak.  (Ajisman, Perkembangan Lembaga Agama Islam di Kotamadya Pontianak Pada Akhir Abad ke 20, 2016).

 

Sempat Ditolak

Hadirnya Muhammadiyah di Pontianak atau di Kalimantan Barat secara umum bukannya tanpa halangan. Masyarakat Pontianak yang dikenal muslim yang agamis awalnya bersikap antipati terhadap Muhammadiyah. Pertentangan yang orang katakan antara aliran muslim moderat dengan muslim tradisional terjadi mewarnai perkembangan organisasi ini. Di lima tahun awalnya Muhammadiyah cabang Pontianak berdiri, belum terdapat perkembangan yang terlalu signifikan.

Soedarto, dkk (1978), menyebutkan pada periode tersebut, kebanyakan umat Islam masih memandang curiga organisasi Muhammadiyah. Hal itu dikarenakan gerakan Muhammadiyah yang dipandang terlalu modern dan kebarat-baratan. Hal ini terjadi di daerah yang agak masuk ke dalam atau jauh dari pesisir. Sebaliknya, organisasi ini cepat berpengaruh pada penduduk daerah pantai seperti Pontianak. Hal ini dikarenakan penduduk daerah pantai lebih maju dan lebih terbuka pikiran dan hatinya pada gagasan dan pandangan baru dalam Islam. Hal ini terlihat dimana pada tahun 1932, cabang-cabang resmi Muhammadiyah di luar Pontianak baru terdapat di Sungai Bakau Kecil (Kabupaten Mempawah) pimpinan H.M Kurdi Djafar, Singkawang pimpinan M. Taufik, dan Sambas pimpinan H. Malik Sood. Ketiga cabang tersebut termasuk daerah pantai barat Kalimantan (Ya’ Achmad, dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialsime di Kalimantan Barat, 1981).


Pendirian Sekolah

Sebagai gerakan purifikasi Islam dan dengan semangat pembaharuan, pendidikan adalah salah satu strategi dari dakwah Muhammmadiyah. Setelah susunan personalia Muhammadiyah cabang Pontianak tuntas (1932), barulah organisasi ini memantapkan diri untuk mewujudkan cita-cita amar maaruf nahi munkarnya dengan membuka Sekolah Volkschool di Gang Mariana (ada juga yang menyebutnya Kampung Mariana). Sekolah itu juga sekaligus menjadi pusat pendidikan maupun organisasi gerakan Muhammadiyah. Gurunya diambil dari tokoh-tokoh Muhammadiyah yang sudah mengajar di berbagai sekolah di Pontianak seperti H. Muhammad Akief, H. Abdul Manaf, M. Joenoes, dan beberapa tokoh lain.

Pembukaan sekolah tersebut dilatar belakangi beberapa hal. Pertama, keprihatinan akan nasib masyarakat pribumi khususnya umat islam akan sulitnya mengakses pendidikan di masa itu. Kedua, kurikulum sekolah-sekolah negeri (milik pemerintah kolonial) dengan politik dualisme, gradualisme, dan konkordansinya yang tidak memberikan pelajaran agama kepada murid-muridnya serta semakin dijauhkan dengan kebudayaan asli Indonesia. Ketiga, menyebarkan dan mewujudkan cita-cita Muhammadiyah. Keempat, mengimbangi sekolah-sekolah misi yang juga mulai marak berdiri dan mendapatkan dukungan pemerintah kolonial.

Perkembangan Muhammadiyah cabang Pontianak tidak sampai disitu. Sebagaimana Surat Kabar Kapuas Bode 27 September 1927 yang telah disebutkan di atas, bahwa dengan dibukanya Muhammadiyah School juga menyediakan guru perempuan bagi siswinya. Penulis menduga hal ini berkat sumbangsih guru-guru perempuan (ustadzah) dari Aisiyah, sayap organisasi wanita Muhammadiyah.




Gedung Sekolah SD Muhammadiyah 3 dan SMP Muhammadiyah 3 Pontianak di Gang Merak 2 yang dahulu bernama Gang Mariana. Telah eksis sejak tahun 1930an. (Sumber: Dok. Pribadi)

Aisiyah cabang Pontianak diketuai oleh R.A Sujarah, istri dari dokter Agoesdjam asal Pacitan yang berdinas di Rumah Sakit Militaire Ziekenhuis jalan Hospitaal Weg sejak tahun 1921. Aisiyah cabang Pontianak memusatkan aktivitasnya di rumah sang ketua, tepat di tengah pusat kota dan kawasan elite Heerenstraat. Dirumah itu pula, suaminya, dokter Agoesdjam juga membuka praktik dan dikenal sebagai keluarga yang gemar menolong dan murah hati. Kegiatan Aisiyah cabang Pontianak diisi dengan kegiatan-kegiatan yang juga tidak jauh dari semangat Muhammadiyah. Mengelola Sekolah Taman Kanak-kanak, pengajian, dan masih banyak lagi. Setiap tahun mereka juga mengadakan pasar amal dimana keuntungannya untuk pendanaan organisasi. Selain R.A Sujarah, putrinya, Djohar Insiyah juga turut meramaikan kegiatan Aisiyah di kota ini dengan ilmu dan kemahiran yang ia miliki. Djohar Insiyah adalah alumni Van Deventer School Semarang yang dikenal sebagai sekolah menengah kelas atas dimana lulusannya ditujukan untuk menghasilkan pengajar di Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan guru taman kanak-kanak (Sutjiatiningsih, Biografi: Ny. Djohar Insiyah Soeharso, 1983).

Dengan adanya Taman kanak-kanak Aisiyah, maka lulusannya kemudian bisa diarahkan ke Volkschool yang telah mereka dirikan di Gang Mariana. Sekolah itu memiliki mata pelajaran yang tidak jauh berbeda dengan Volkschool milik pemerintah kolonial seperti pelajaran berhitung, membaca, menulis, dan menggambar, dengan ditambah pelajaran agama Islam yang menjadi ciri khas sekolah Islam kala itu. Volkschool Muhammadiyah di Pontianak cukup digemari oleh masyarakat sebagai pilihan terbaik untuk putra-putri mereka. Sekolah itu menerima murid perempuan di tengah masyarakat yang masih tradisionalis memandang pendidikan bagi kaum perempuan. Berbiaya terjangkau dan dilengkapi dengan kegiatan ekstrakurikuler kepanduan yang masih sangat jarang waktu itu. Saeman (83 tahun), tokoh masyarakat sekitar menyebutkan sekolah itu memang telah ada sejak sebelum kemerdekaan dan dulunya memiliki murid yang banyak.

Gerakan kepanduan Muhammadiyah, ‘Hizbul Wathan’ menjadi gerakan kepanduan pertama yang eksis di Kalimantan Barat sekitar tahun 1930an yang waktu itu digawangi oleh M. Rasyid. Kepanduan ini tidak hanya sebagai program untuk menambah keterampilan dan kesetiakawanan bagi Pemuda Muhammadiyah, namun secara lebih jauh juga digunakan untuk menyebarkan paham-paham keislaman, nasionalisme, dan cinta tanah air. Bukankah Hizbul Wathan sendiri artinya adalah pembela tanah air?

Lulusan Volkschool Muhammadiyah dapat melanjutkan studinya ke Schakelschool agar setara dengan HIS (Sekolah Dasar milik pemerintah). Sebagian melanjutkan ke Schakelschool milik Islamiyah School di Kampung Bangka yang kebetulan H. Muhammad Akief dan dan Haji Abdul Manaf juga mengajar ditempat itu. Sebagian yang lain mulai tahun 1936 bisa melanjutkan ke Schakelschool Raudhatul Islamiyah di Palmenlaan yang lebih dekat.

Perkembangan positif Muhammadiyah cabang Pontianak ini sebenarnya tidak disenangi oleh pemerintah kolonial, tetapi Belanda cenderung bersikap soft dan tidak mengambil tindakan untuk mempengaruhi perkembangan Muhammadiyah. Strategi perlawanan dengan jalur pendidikan dan sosial dinilai oleh Belanda tidak membahayakan kedudukan mereka dibanding perjuangan secara radikal seperti yang pernah dilakukan Sarekat Rakyat (1926). Muhammadiyah dinilai juga tidak berpolitik, meskipun membebaskan anggota dan pengikutnya dalam pandangan dan saluran politik. Ya’ Achmad (1981) menuturkan apabila ada tokoh Muhammadiyah yang berurusan dengan Politie, maka letak persoalannya bukan karena mereka menentang atau menggerakkan perlawanan. Akan tetapi karena adanya perbedaan pendapat tentang masalah ibadah agama atau karena pengaduan dari satu atau beberapa kelompok orang Islam lain yang tidak berkenan melihat kemajuan Muhammadiyah.

Sayangnya, seluruh kegiatan Muhammadiyah cabang Pontianak berhenti pada tahun 1942 ketika Jepang berkuasa. Sekolah-sekolah yang dimiliki Muhammadiyah ditutup, Hizbul Wathan dan organisasi Pemuda Muhammadiyah juga dilarang beraktivitas. Secara lebih jauh pada masa ini (1942-1945), Muhammadiyah juga kehilangan beberapa tokohnya yang turut dibunuh Jepang. Sang Ketua Arsyad Annasar jadi korban penyungkupan Jepang dalam peristiwa Mandor berdarah 28 Juni 1944. Suami R.A Sujarah (ketua Aisiyah cabang Pontianak), dokter Agoesdjam, juga turut menjadi korban kekejian Jepang. Belum lagi ditambah dengan cerdik pandai, pemuka agama, dan guru-guru Muhammadiyah lainnya yang dianggap membahayakan dan turut dibunuh pula oleh Jepang

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, kegiatan dan sekolah milik Muhammadiyah cabang Pontianak belum dapat pulih seratus persen. Selain karena guru-gurunya banyak yang menjadi korban Jepang, di masa yang sulit itu membuat perhatian beberapa tokoh cabang  tertuju kepada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan. Misalnya Jayadi Saman yang dikenal sebagai Wakil Ketua Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) dan turut aktif dalam perjuangan politik selama revolusi kemerdekaan di Kalimantan Barat. 

0 comments:

Post a Comment