Peristiwa Hotel Mountbatten Pekanbaru


Oleh: Bayu Amde Winata | Pekanbaru Heritage Walk

Berita kemerdekaan Indonesia baru sampai di Pekanbaru pada tanggal 22 Agustus 1945. Berita ini didengar oleh para pegawai PTT (Post Telegraaf, en Telephone) di Pekanbaru. Tetapi informasi kemerdekaan ini belum ditanggapi serius karena butuh penyelidikan lebih lanjut. Pada tanggal 30 Agustus 1945, pemuda PTT mendapat telegram bahwa anggota dewan Chou-Sangi-in Sumatera untuk Karesidenan masing masing agar mengambil alih pemerintahan dari pihak Jepang dan menunjuk seorang Kepala Daerah Keresidenan. 

Letnan Kolonel/Letkol Hasan Basri, dalam Menegakkan Merah Putih di Daerah Riau (1985) menjelaskan, setelah mendapatkan telegram ini, pemuda PTT mendatangi Aminuddin. Pada zaman pendudukan Jepang, dia adalah anggota Chou-Sangi-in Sumatera daerah Riau Syu. Tetapi, Aminuddin menolak melaksanakan instruksi pemerintah Republik Indonesia. Sehingga, Basrul Jamal selaku pemimpin pemuda PTT mendatangi Raden Yusuf Surya Atmaja, pada saat itu ia merupakan kepala PU/ Wakil Ketua Riau Sangi Kai. 

Pada zaman penjajahan Jepang, pembagian wilayah Pekanbaru berubah. Afdeeling menjadi Buncho yang dikepalai oleh Bun, bertugas mengawasi beberapa district/gun. District menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho, dan Onderdistrict menjadi Ku yang dikepalai oleh Kucho. Pekanbaru Guncho berada langsung dibawah Cokan. Pekanbaru Gun meliputi Senapelan Ku, Tapung Kiri Ku, Tapung Kanan Ku, Kampar Kiri Ku, dan Singingi Ku. 

Pekanbaru menjadi ibukota Senapelan Ku. Sehingga Pekanbaru adalah Ibukota Riau Syu Cokan terdapat Pekanbaru Guncho dan Senapelan Kucho.  Pekanbaru Guncho ditunjuk Datuk Wan Abdul Rahman dan Senapelan Kucho adalah Tengku Muhammad/Tengku Busu. Buku Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 yang terbit tahun 2004 menjelaskan mengenai Struktur pemerintahan di Riau Syu yang dipimpin oleh Syu Cokan yang membawahi beberapa wilayah di bawahnya. Misalnya, Bun yang dipimpin oleh pejabat yang disebut Bun su Cho, dan seterusnya seperti Guncho, dan Suncho. 


Pengibaran Bendera Merah Putih

Sementara Komite Nasional Indonesia (KNI) menyusun kekuatan formasi, pada hari Jumat tanggal 14 September 1945. Didorong oleh semangat yang membara, pemuda PTT mengibarkan bendera merah putih di atas gedung PTT. Hasan Basri dalam bukunya yang telah disebutkan di atas menuliskan, pengibaran ini dipimpin oleh Basrul Jamal dan pengibar bendera merah putih adalah Danilsyah. Kain bendera merah putih ini dijahit oleh Zalidar, kakak perempuan Basrul Jamal. Esoknya, pada tanggal 15 September 1945, di kantor polisi Pekanbaru dinaikkan bendera merah putih yang diprakarsai oleh Tugimin. Mochtar Saleh salah seorang angkatan muda PTT di Pekanbaru saat itu, menuliskan pengalamannya terlibat dalam pengibaran bendera merah putih di gedung PTT. 

    “Kami, angkatan muda PTT memakai tanda merah putih pada baju kami masing masing.         Mempelopori menaikkan bendera sang saka merah putih yang pertama di puncak atap gedung PTT Pekanbaru tanggal 14 September 1945, disaksikan oleh masyarakat umum di luar pekarangan gedung kantor.” - Pemuda PTT Pekanbaru

Saat pengibaran bendera merah putih, Lagu Indonesia Raya juga dinyanyikan, pada kalimat “Indonesia Raya merdeka merdeka” teriakan merdeka terdengar keras dari masyarakat Pekanbaru. Alasan tidak dikibarkannya bendera merah putih di Pekanbaru sebelum bulan September 1945 adalah karena; Pekanbaru sebagai ibukota Keresidenan Riau masih diduduki oleh Jepang dan POW (prisoners of war) dari KNIL mulai mencari jalan mengambil alih pemerintahan. Disisi lain belum ada tindakan resmi dari Residen karena masih berunding dengan tokoh tokoh untuk menentukan langkah selanjutnya. 

Setelah pengibaran bendera merah putih, Pekanbaru kemudian bersiap dengan pemulangan POW yang membangun jalan kereta api Pekanbaru-Muaro sepanjang 220 km. Di akhir September 1945, RAPWI/Rehabilitation Allied Prisoner of War and Internees datang ke Pekanbaru. Pasukan RAPWI mendarat di bandara Pekanbaru dan dipimpin oleh Mayor Langley.  Ekspor impor dari Pekanbaru sejak Jepang masuk sama sekali tidak terjadi. Bahan makanan di jatah oleh Jepang untuk penduduk Pekanbaru. Perkebunan karet Sukajadi ditebang dan diganti dengan singkong dan menjadi makanan pokok saat itu. 

Dalam buku Henk Hovinga, The Sumatra Rail Road, Final Destination Pakanbaroe 1943-1945, di Pekanbaru selain tahanan perang terdapat juga romusha. Setelah Jepang menyerah kalah, romusha yang berada di Pekanbaru pada awal bulan Oktober 1945 sebanyak 6178 orang dikumpulkan pada kamp-kamp yang ada pada saat pembuatan rel Pekanbaru-Muaro sepanjang 220 km.  Major Langley merenovasi kamp-kamp ini hingga layak untuk menampung para romusha. Untuk menyelamatkan romusha yang masih tersisa di Pekanbaru, maka dibuka penerimaan relawan.  Salah seorang relawan, dr. De Boer menceritakan pengalamannya dalam laporan yang dia tulis, “Dalam pencarian kamp Romusha, saya menemukan barak-barak yang ditinggalkan dan penuh dengan mayat yang sudah membusuk. Di depan mata saya, saya melihat korban yang kelaparan dan luka parah akibat perlakuan Jepang.”

Seribu orang pertama dari romusha di Pekanbaru dikumpulkan pada sebuah camp yang bernama Padang Terubuk. Kebutuhan akan obat dan makanan untuk romusha menjadi sangat mendesak. Pada bulan November 1945, ada 1400 romusha di kamp Padang Terubuk dan 1200 orang di bekas kamp POW yang ada di Pekanbaru. 500 orang romusha berada di rumah sakit darurat di Simpang Tiga. Tim yang dibentuk oleh Mayor Langley merawat 3100 romusha. 

Untuk menjemput POW/tahanan perang di Pekanbaru, Sekutu mengirimkan Edwina Cynthia Annete Mountbatten atau lebih dikenal dengan nama Lady Mountbatten untuk melihat kondisi tahanan pasca Jepang menyerah. Ia adalah istri dari Louis Mountbatten yang merupakan Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara, dimana ia terlibat dalam kegiatan relief worker dan repatriasi POW pasca perang. Lady Mountbatten datang ke Pekanbaru sebagai tim survei pemulangan para tahanan di Pekanbaru. Setelah kedatangan Mountbatten di Pekanbaru pada 15 hingga 16 September 1945. Evakuasi POW mulai dipersiapkan. Di Pekanbaru sendiri, keberadaan POW tidak disenangi karena keberadaan pasukan KNIL mulai menggonceng RAPWI. Akibatnya, konflik mulai terjadi antara pemuda dan barisan BKR dengan pasukan KNIL. Puncak dari konflik ini adalah terjadinya peristiwa di Hotel Mountbatten. 


Agresi Militer II

Hotel Mountbatten berada di Batu I/Km 1 Kota Pekanbaru. Hotel ini ikut terbakar saat peristiwa agresi militer Belanda 1948 di Pekanbaru oleh barisan pejuang Pekanbaru. Pada mulanya hotel ini adalah hotel yang dibangun Jepang yang bernama Hotel Syonanto. Hotel ini digunakan Jepang saat ada kunjungan resmi ke Pekanbaru. 

Setelah Lady Mountbatten mendarat dan berkunjung ke Pekanbaru, hotel ini berganti nama dengan Hotel Mountbatten. Pada tanggal 12 November 1945, berkibar bendera Belanda di atas teras hotel. Akibatnya, pemuda Pekanbaru yang telah setia pada panji-panji kemerdekaan marah. Belanda dianggap tidak menghargai wilayah Pekanbaru yang telah berdaulat menjadi bagian RI. Pada siang hari, seluruh massa berkumpul di markas BKR dan siap menggempur Hotel Mountbatten.  Seribu orang menyerbu hotel ini dan Letkol Hasan Basri berusaha meredakan amarah masyarakat Pekanbaru. 

Dalam kondisi terdesak, terjadi perundingan antara pihak RAPWI yang diwakili oleh Mayor Langley dengan pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Letkol Hasan Basri dan Toha Hanafi. Didampingi Raden Yusuf Surya Atmaja, dan Iman Jamian sebagai penerjemah. Isi perundingan ini adalah dalam waktu dua minggu yakni 26 November 1945 semua pasukan Belanda akan diungsikan ke Padang. Setelah perundingan, massa yang berkumpul di luar hotel tidak bisa dikendalikan. Kemudian, bendera Belanda diturunkan dan dirobek, warna birunya dibuang dan berganti dengan warna merah putih. Peristiwa perobekan bendera Belanda ini serupa dengan kejadian di Hotel Yamato di Surabaya. 

Tentara Belanda sedang meninjau bangunan yang 
dibakar oleh pejuang pada 1948 sebagai taktik 
bumihangus. (Sumber: Nationaal Archief) 

Pada saat Agresi militer Belanda II, Bandara Pekanbaru ditembaki oleh pesawat terbang KNIL. Pada sore hari 31 Desember 1948, sejumlah objek penting di Pekanbaru dibakar oleh pejuang tujuannya agar KNIL tidak dapat menduduki Pekanbaru. Pembakaran kota Pekanbaru dimulai dari Batu I, Hotel Mountbatten (yang setelah peristiwa perobekan berubah nama menjadi Hotel Merdeka), deretan rumah Kapitan Lie Ban Seng, pembangkit listrik, dan pelabuhan Pekanbaru.  Pembakaran ini sesuai dengan perintah Komando Sub Teritorial V Riau. Selain dibumi hanguskan, pertempuran melawan KNIL dimulai dari bandara hingga masuk ke dalam kota dibawah pimpinan Inspektur II Tugimin dan Letnan I Jamhur Jamin. 

Hotel Mountbatten yang memiliki sejarah penting Pekanbaru kemudian lenyap tanpa bekas. Tapak dari hotel ini sekarang menjadi kawasan ruko yang berada di Jalan Ahmad Yani. Kota Pekanbaru. 

0 Comments:

Post a Comment