Ironi Dalam Revolusi: Kekerasan Militer Belanda di Kalimantan Barat

Dua anggota tentara KNIL di Singkawang yang sedang berlatih senjata
(Sumber: NIMH)

Penulis: M. Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Riwajat

Sejumlah kekerasan mewarnai aksi militer Belanda di Kalimantan Barat selama masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Baik pejuang republik maupun rakyat jadi korban kekejaman serdadu KNIL.

Perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya antara tahun 1945-1949 merupakan salah satu babak sejarah terpenting bangsa ini. Periode ini bukan hanya milik segelintir orang besar, namun seluruh rakyat baik sipil maupun militer. Tidak hanya milik Indonesia, namun juga dalam catatan risalah bagi negeri Belanda juga. Perjuangan rakyat melalui perlawanan bersenjata diwarnai dengan berbagai macam kisah seperti heroisme dan keteladanan, dan juga kesedihan karena banyak sekali kesuma bangsa yang gugur di palagan. Aksi-aksi kekerasan bersenjata sering dijumpai pada periode ini, umumnya oleh tentara Belanda ke para pejuang Indonesia dan rakyat sipil. 

Tidak kalah seperti di Jawa dan Sumatera, wilayah Kalimantan Barat yang sejak bulan Oktober 1945 telah dikuasai oleh NICA dengan tentara KNIL juga terjadi perlawanan hebat yang dilancarkan oleh organisasi-organisasi kelaskaran atau badan perjuangan. Sebut saja Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM) di sekitar Landak, Laskar Merah Putih (LMP) di Nanga Pinoh, Barisan Kuntji Waja (BKW) di sekitar Pontianak, dan yang terbesar yakni Barisan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) yang memiliki daerah operasi sekitar Sambas, Bengkayang, Mempawah, dan Singkawang. Perlawanan organisasi perjuangan itu mencapai puncaknya pada bulan Oktober 1946, dimana secara bersamaan meletus perlawanan atau upaya untuk merebut sejumlah kota di provinsi ini antara lain di Bengkayang, Ngabang, Nanga Pinoh, Pontianak, Singkawang, Sintang, dan Sambas.

Dengan kekuatan persenjataan yang lebih lengkap, dan berkat bantuan informasi dari telik sandi masyarakat yang setia pada mereka, peristiwa yang sering disebut Revolusi Oktober 1946 ini dapat ditumpas mudah oleh KNIL. Penumpasan para pejuang ini menyebabkan kerugian yang besar bagi organisasi perjuangan, banyak dari mereka yang gugur di tempat, namun tidak sedikit yang harus meregang nyawa karena disiksa dan dihabisi ketika menyerah tertangkap. Syafaruddin Usman sebagaimana pada buku Landak Dalam Nukilan Sejarah menyebutkan, upaya penumpasan para pejuang republik yang melawan itu seringkali berakhir dengan eksekusi ditempat bagi mereka yang tertangkap. Seperti yang menimpa tiga pejuang Laskar GERAM yakni Bunyamin, M. Kasim, dan Abdur Rani Darwin yang tertangkap di daerah Menyuke dan langsung ditembak. Bunyamin dan M. Kasim setelah ditembak masih hidup dan melarikan diri, namun kembali tertangkap dan dibawa ke tempat semula. Kali ini KNIL menyiksa berat mereka sampai gugur, dipaksa menelan cabikan bendera merah putih dan kemudian ditusuk bayonet. 

Rakyat sipil yang sebenarnya tidak tahu menahu juga menjadi keganasan tentara KNIL di front Landak. Masih dalam upaya penumpasan untuk mencari gerombolan pejuang republik, pernah tentara KNIL menggeledah sebuah kampung yang disinyalir tempat persembunyian Laskar GERAM. Rumah kepala kampung bernama Muhammad Umar digeledah dan ditemukan dokumen-dokumen yang diduga milik Laskar GERAM. Ditangkap pula seorang khatib (pemuka agama) kampung, dan tokoh masyarakat bernama Husein. Ketiganya dianggap membantu Laskar GERAM dan diesekusi di tengah kampung oleh Belanda. Tentu saja eksekusi ini juga dilihat oleh seisi penduduk kampung yang seolah menjadi shock therapy agar rakyat takut dan tidak melawan Belanda. 

Soedarto dalam Naskah Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat 1908-1950, mengisahkan eksekusi rakyat sipil yang sebenarnya tidak terlibat dalam melawan NICA itu sebagai bentuk kefrustasian mereka. Dalam kacamata KNIL, memberantas pejuang republik seperti Laskar GERAM adalah pekerjaan yang sulit. "GERAM mampu dengan cepat melihat keadaan kondisi kritis untuk segera mengarahkan laskar menyingkir ke posisi lain, sehingga seringkali penyergapan Belanda ke kampung tempat pos pejuang kosong." ujar Soedarto. Pernah karena begitu frustasinya, komandan KNIL yang ditugaskan untuk menyergap sebuah kampung memilih bunuh diri karena merasa gagal untuk menangkap pimpinan GERAM yang berhasil meloloskan diri. 

Pertempuran Nangapinoh
Di kota Nanga Pinoh, Sintang, yang kini menjadi ibukota Kabupaten Melawi, kaum pejuang dari Organisasi Pemberontak Merah Putih (OPMP) dengan sayap kelaskarannya Laskar Merah Putih (LMP) melancarkan serangan untuk merebut kota itu ditengah malam buta antara 10 dan 11 November 1946. Serangan ini dipimpin langsung oleh Bagindo Djalaludin Chatim bersama 32 anggotanya yang sebagian besar adalah pemuda dan eks-Kaigun Heiho. Usaha itu berhasil tanpa menumpahkan darah dan menangkap sang kontrolir NICA bernama Laurent Hermans Josep hidup-hidup yang tengah melakukan perjalanan dinas ke daerah. Konsentrasi aparat keamanan NICA di kota ini memang kecil, hanya ada tangsi polisi dengan personil KNIL yang semuanya berkebangsaan pribumi. Sejumlah polisi NICA yang tertangkap pun akhirnya lebih memilih untuk bergabung dengan pasukan LMP dan menyerahkan senjatanya. Harian Het Dagblad pada 21 November 1946 menyebutkan 22 senjata berhasil jatuh ke tangan pejuang republik. 

Keberhasilan merebut Nanga Pinoh ini sedianya dilanjutkan untuk merebut Sintang, dimana beberapa tokoh masyarakat dan sejumlah tentara KNIL disana yang bersimpati pada perjuangan republik bersedia ambil bagian. Sayangnya usaha ini sudah tercium oleh  NICA, terputusnya hubungan komunikasi antara Sintang dengan Nanga Pinoh telah menjadi indikasi kota ini direbut oleh para pejuang yang dalam pemberitaan mereka sebuh teroris. Aspar dalam Sejarah Perjuangan Rakyat Melawi Sintang menyebutkan, Belanda segera mengirimkan pasukannya untuk merebut kembali Nanga Pinoh dari tangan pejuang RI yang sudah berhasil dikuasai sejak 11 November 1946. Pada tanggal 16 November 1946 pasukan KNIL dari Sintang berhasil merebut kembali Nanga Pinoh yang telah dipertahankan mati-matian oleh Laskar LMP. Selain itu, mereka juga berhasil membebaskan kontrolir Laurent Hermans Josep dari tangan pejuang. 

Harian Het Daglad 21November 1946 yang mengabarkan
penculikan kontrolir di Nanga Pinoh oleh pejuang LMP
yang mereka sebut teroris. (Sumber: Het Dagblad)


Het Dagblad pada 21 November 1946 mewartakan 20 pejuang LMP gugur dan puluhan lainnya ditangkap dalam pertempuran mempertahankan Nanga Pinoh tanpa kerugian di pihak KNIL. Pejuang LMP yang ditangkap kemudian diinterogasi oleh komandan KNIL, mereka yang memilih bungkam akan berakhir dengan siksaan yang berat dan kejam. Hal ini menimpa pejuang Harun, setelah lima hari memilih bungkam ia akhirnya dieksekusi. Hal serupa juga diterima pejuang M. Saad Ain, ia mendapatkan siksaan yang berat hingga tidak sadarkan diri. Belanda kemudian mengirimnya ke Rumah Sakit Sintang untuk mendapatkan pengobatan. Nahas, rasa sakit yang ia terima akibat siksaan berat itu tidak mampu ditahannya hingga harus menghembuskan nafas terakhir. Operasi untuk menumpas pejuang LMP seringkali dilakukan dengan melakukan ancaman ke rakyat. Misalnya, Belanda mengancam akan membumi hanguskan semua rumah penduduk apabila sebuah kampung bekerjasama dengan LMP. 

Nasib Jasad Bambang Ismoyo
Nama Bambang Ismoyo lekat di telinga masyarakat Singkawan dan Bengkayang yang telah diabadikan menjadi nama jalan. Tidak banyak yang mengetahui siapa sebenarnya pemuda asal Jawa eks pasukan Hizbullah tersebut kecuali generasi-generasi tua. Bambang Ismoyo adalah salah satu komandan Badan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) yang memimpin serangan untuk merebut Bengkayang pada 9 Oktober 1946. Dalam struktur BPIKB yang dibentuk 1 April 1946 itu, ia adalah wakil dari Alianyang yang duduk sebagai komandan pasukan. Baik Alianyang maupun Bambang Ismoyo adalah dua orang yang paling dicari di Kalimantan Barat karena aktifitasnya yang oleh Belanda dianggap sebagai pengacau. Bahkan Belanda menawarkan sejumlah uang bagi mereka yang berhasil menangkap Alianyang, hidup atau mati. 

Serangan yang dilancarkan untuk merebut Bengkayang itu memang dapat dikatakan tidak begitu berhasil, kota itu hanya dapat dipertahankan 20 jam sebelum diserang balik oleh tentara KNIL yang didatangkan lebih banyak dari Singkawang. Dalam pertempuran mempertahankan kota Bengkayang inilah Bambang Ismoyo dan beberapa anak buahnya gugur tertembak Belanda. Jasad Bambang Ismoyo tidak langsung dimakamkan, melainkan dibawa Belanda ke Singkawang. M. Sabirin AG, saksi hidup yang menuliskan kesaksiannya dalam sebuah buku berjudul Perjuangan Rakyat Sambas Menentang Penjajah mengungkapkan, jenazah Bambang Ismoyo yang terbujur kaku itu diseret dengan sebuah jeep keliling Singkawang. Kemudian jasadnya dibawa ke Sekip Lama untuk dipertontonkan ke rakyat guna menakut-nakutin agar tidak melawan NICA. Aksi Belanda ini membuat rakyat kota Singkawang prihatin, namun dalam hati sebenarnya penuh dengan rasa kegeraman. 

Disinyalir masih terdapat banyak kisah-kisah kekejaman yang dilakukan tentara Belanda kepada pejuang republik dan rakyat di daerah ini yang masih belum terungkap. 

0 Comments:

Post a Comment