Mengenang Kiprah dan Perjuangan Dokter Mas Soedarso

 

 

dr. Mas Soedarso 
(Sumber: dinkes.kalbarprov.go.id)

 

 Oleh: Yusri Darmadi 

Mengenal lebih dekat dr. Soedarso. Dokter pejuang dimasa revolusi, pernah menjadi rektor pertama Universitas Tanjungpura. Namanya diabadikan menjadi  Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). 

Anda masyarakat Kalimantan Barat? atau anda warga kota Pontianak? biasanya nama Soedarso anda kenal sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yakni RSUD dr. Soedarso. Betul, nama dr. Soedarso diabadikan menjadi nama rumah sakit sejak tanggal 28 Oktober 1976 melalui SK Gubernur KDH Tk. I Kalimantan Barat yang ditandatangani oleh Kadarusno dan diresmikan pada tanggal 24 November 1976 oleh Prof. G.A. Siwabessy, Menteri Kesehatan saat itu. 

Mas Soedarso dilahirkan di Pacitan, Jawa Tengah pada tanggal 29 November 1906. Penulis ingin mengulas jasa dan pengabdian dr. Soedarso saat masa revolusi kemerdekaan khususunya dalam bidang pendidikan dan kesehatan di Kalimantan Barat.

Dilahirkan dari seorang ayah yang merupakan Wedana di district Purwokerto sejak tanggal 23 Mei 1893 (Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1895: 192) bernama Raden Atmosoebroto dan ibu bernama Oemimackminatun, Soedarso yang merupakan anak keenam dari sebelas bersaudara menyelesaikan sekolah Europesche Legere School (ELS) di Madiun. Kemudian melanjutkan kuliah School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta dan mampu diselesaikan dalam usia 25 tahun 8 bulan yakni tanggal 28 Juli 1932. Beranjak dewasa, beliau menikahi gadis pilihannya sendiri bernama Soetitah. Hasil pernikahan ini dikarunai delapan orang anak yaitu: 1. Agus Sutiarso, 2. Agus Setiadi, 3. Andarwini, 4. Sriyati Supranggono, 5. Sri Rezeki Norodjati, 6. Agus Setiawan, 7 Sri Astuti Suparmanto, dan 8. Savitri Tri Haryono. Salah satu putrinya meninggal dalam usia tiga tahun yaitu Andarwini. Pernikahan dengan Soetitah hanya sampai tahun 1961, karena ibu dari delapan anak ini sakit dan meninggal dunia.  Setahun kemudian Soedarso menikah kembali dengan Hartati yang saat itu menjabat Ketua Yayasan Bersalin di Pontianak dan dikarunai seorang putri bernama Savitri Restu Wardhani (Juniar Purba, 1993: 7,8,9 & 34 ).

Awal pengabdian dokter Soedarso di Kalimantan Barat yakni pada bulan Februari 1938, beliau ditugaskan di Kabupaten Sanggau. Pada tahun 1941, dr. Soedarso ditunjuk sebagai petugas medis cadangan kelas 2 selama 3 tahun bersama Rubini dan Lie Giok Tjoan (Soerabijasch handelsblad, No. 299, 23/12/1941: 89). Menurut Sejarawan Kalimantan Barat Drs. Soedarto (Interview 16/11/2016), apabila berbicara tentang dokter Soedarso, pertanyaan yang selalu muncul yakni kenapa dokter Soedarso bisa luput dari pembunuhan oleh tentara Jepang? Pak Darto menjelaskan bahwa pada masa penjajahan Jepang, ada kecurigaan elit dari Kalimantan Selatan akan melakukan pemberontakan dan akan tersebar di kalangan serupa serta aristokrat di Kalimantan Barat. Itu yang menyebabkan Jepang bertindak melakukan pembunuhan-pembunuhan yang puncaknya terjadi di Mandor. Pembunuhan dilakukan terhadap aristokrat, tokoh pendidikan, pengusaha, orang-orang Koumintang, termasuk terhadap dokter-dokter yang saat itu dianggap kaum elit di masyarakat.  

Dr. Mas Soedarso dan istrinya. 
(Sumber: Keluarga dr. Mas Soedarso)

Beberapa dokter yang dibunuh tentara Jepang antara lain: dokter Sunaryo, dokter Agusjam, dokter Ismail, dokter Diponegoro, dokter Zakir, dan dokter Rubini. Dokter Soedarso luput karena beliau diperlukan oleh tentara Jepang untuk merawat tokoh-tokoh Jepang. Pada bulan Maret 1944, ia dipindahkan ke Singkawang, kemudian tahun 1945 pindah ke Pontianak. Ketika dokter-dokter Jepang meninggalkan Rumah Sakit Umum Sei Jawi (Saat ini Rumah Sakit St. Antonius Pontianak), dr. Soedarso mengambil alih tanggung-jawab Rumah Sakit tersebut untuk sementara waktu (Setengah Abad RSU Sei Jawi Pontianak 1929-1979). Pada tahun 1945 dr. Soedarso juga ditugaskan sebagai dokter pemerintah di Rumah Sakit Jiwa Pontianak dan Ngabang, kemudian pada tahun 1958–1971 menjabat sebagai Inspektur Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.

Pada tanggal 02 Mei 1947, dr. Soedarso sebagai ketua Gabungan Angkatan Pemuda Indonesia (GAPI) mengadakan kongres pemuda dan mengundang semua organisasi pemuda di Kalimantan Barat (Het Dagblad No. 120, 26/11/1947: 2). Dokter Soedarso juga dipercaya menjadi koordinator Badan Pemberontakan Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) sehingga pada tahun 1948 Belanda menghukumnya 6 tahun penjara. Dengan menggunakan kapal uap “Amnuputty”, dokter Soedarso dipindahkan ke Penjara Cipinang Batavia (De Locomotief No. 216, 21/05/1948: 96).

Sebagaimana dijelaskan Kronik Revolusi Indonesia Tahun 1948, hukuman penjara 6 tahun lamanya, yang dimintakan oleh landgerecht Pontianak terhadap dr. Soedarso tanggal 20 Maret 1948, karena dituduh “gerakan gelap dalam waktu keadaan bahaya”, disyahkan oleh hooggerechtshof di Jakarta, demikian Aneta. Dalam berita-berita sebelumnya dikatakan, bahwa dr. Soedarso telah memberi sokongan uang kepada seorang pemberontak (Antara). Keluarga Soedarso mengajukan permohonan grasi, sedangkan GAPI dan Komite “Urusan Soedarso” menghimbau melalui iklan di koran agar masyarakat tidak melakukan protes dan demonstrasi (Nieuwe Courant, No. 110, 20/05/1948: 3).

Saat terjadi pemogokan di Kalimantan Barat yang disebabkan oleh masih berlakunya hukum-hukum kolonial pada tahun 1950, dr. Soedarso sebagai sekretaris misi parlemen Kalimantan Barat yang diketuai oleh Mr. Lukman Wiriadinata berperan dalam tercapainya kesepakatan antara Dewan Kalimantan Barat dan Komite Nasional bahwa pemogokan akan dihentikan, menghapus dewan, dan membentuk pemilihan umum baru (Java Bode, No. 189, 21/03/1950: 98). Semua individu, yang ditangkap sehubungan dengan pemogokan, dibebaskan. Diantara mereka adalah Ketua Komite Nasional Bapak S.A. Marpaoe. “Menurut pendapat saya, sesegera mungkin menunjuk Komisaris RIS untuk Kalimantan Barat” kata dr. Soedarso (Nieuwe Courant, No. 66, 21/03/1950: 5).

Dalam bidang pendidikan, dokter Soedarso merupakan dewan kurator/pengawas (1959-1961) dan salah satu pelopor berdirinya Universitas Daya Nasional (kemudian berubah menjadi Universitas Dwikora, Universitas Negeri Pontianak dan saat ini Universitas Tanjung Pura/UNTAN) bersama beberapa tokoh politik dan pemuka masyarakat Kalimantan barat, antara lain: Edy Kresno, J.C. Oevang Oeray, R. Wariban, Ismail Hamzah, Ibrahim Saleh, Muzani A. Rani, Hasnol Kabrim Mr. A.S. Saripada, H.A. Manshur, dan D. Suhardi. Saat awal berdiri, universitas ini memiliki dua fakultas yaitu Hukum dan Ekonomi. Orang yang pertama kali masuk dan menjadi alumni fakultas Hukum yaitu Bapak H.M. Ali As, SH., (Bupati Kapuas Hulu 1975-1980), registrasi mahasiswanya nomor 2 (Interview Drs. Sudarto, 16/11/2016). Bahkan menurut akun instagram resmi Universitas Tanjungpura tertanggal 20 Mei 2020 (yang mendasarkan pada majalah Mimbar Untan edisi 10 tahun 2017), bahwa dr. Mas Soedarso menjadi rektor pertama pada 20 Mei 1959, yang saat itu disebut Presiden Universitas.

Dokter Soedarso juga mendirikan Sekolah Pendidikan Bidan di Pontianak, Sekolah Juru Kesehatan di Sintang dan Ketapang, dan turut mengusahakan berdirinya Sekolah Kejuruan di Pontianak (Juniar Purba, 1993: 48). Melihat jasa dokter Soedarso baik di bidang pendidikan maupun kesehatan sudah selayaknya beliau diberi gelar sebagai pahlawan nasional. Namun, Undang-undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan membatasi untuk mendapat gelar pahlawan nasional harus pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa (Pasal 26 huruf a) dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun (Pasal 25 huruf e). Mudah-mudahan harapan agar dokter Soedarso diberi gelar sebagai pahlawan nasional dapat terealisai di masa yang akan datang. Wallahu A’lam Bishawab.

(Tulisan ini pernah dimuat Pontianak Post, Rabu, 30 November 2016).

Share:

Mengenal Operasi Lintas Udara Pertama AURI di Tanah Borneo (17 Oktober 1947)

Foto sebagian anggota yang diterjunkan di Kalimantan pada tanggal 17 Oktober 1947, dari kiri Soejoto, J. Bitak, M Dachlan (duduk), Bachri, Ali Akbar, C. Williams, Aminudin dan Darius
Sumber: Direpro dari Buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950

 

Oleh : Voka Panthara Barega

Inilah kisah operasi terjun payung pertama dalam sejarah TNI, berani terjun dari pesawat meski hanya berbekal latihan teori.

Waktu menunjukkan pukul 05.30, di saat orang-orang mulai terbangun dan melakukan aktivitasnya, terdengar deru pesawat yang kencang memecah keheningan di tanah Borneo. Pesawat itu adalah Dakota RI-002 yang membawa sejumlah pasukan untuk diterjunkan di kawasan Sepan Biha, Kalimantan Tengah. Mereka ditugaskan untuk menjalankan misi rahasia pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak lantas membuat seluruh rakyat Indonesia bersuka cita pada saat itu, melainkan timbul rasa khawatir akan dijajah kembali oleh Belanda. Benar saja, tidak lama setelah kedatangan pasukan sekutu yang menguasai Kalimantan pasca pendudukan Jepang, mereka segera menyerahkan wilayah Kalimantan secara resmi pada NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pada 24 Oktober 1945. Hal ini sontak membuat rakyat setempat yang mendukung kemerdekaan Indonesia marah dan melakukan perlawanan terhadap NICA.

Kalimantan Tengah menjadi salah satu kantong perjuangan dan pergerakan gerilya. Rizali Hadi dalam Tumbang Samba Kota Pahlawan di Tanah Dayak menjelaskan terdapat gerakan-gerakan seperti GP3 (Gerakan Pelopor Penegak Proklamasi), Laskar Kilat, Laskar Merah Putih, Katraco dan gerakan-gerakan lainnya yang dilebur menjadi GRRI (Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia) (Hadi, 2019: 99). Namun, pergerakan mereka terhambat dikarenakan menjadi sasaran tentara KNIL dan NICA. Ditambah dengan hasil dari Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946 menyebabkan suplai bantuan dari Jawa terhenti, dan mau tidak mau mereka harus berjuang sendirian.

Kekhawatiran muncul dari Gubernur Kalimantan pada saat itu, Ir. H. Pangeran Muhammad Noor. Ia mengirimkan surat kepada KSAU Suryadi Suryadarma untuk meminta bantuan agar AURI bersedia melatih para pemuda asal Kalimantan untuk diterjunkan ke Kalimantan membantu gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan, tulis Irna H.N. Hadi Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950. Karena akses melalui laut tidak mungkin dilakukan akibat blokade Belanda, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh hanyalah melalui udara dengan melakukan terjun payung.

Permintaan Gubernur Kalimantan kemudian dirundingkan oleh AURI dengan Markas Besar Tentara (MBT). Keputusannya MBT menyetujuinya dan segera membentuk staf khusus yang bertugas merekrut pasukan terjun payung. Dalam waktu singkat, mereka berhasil merekrut sebanyak 60 orang berasal dari Kalimantan, Jawa, Sumatra, dan Madura.

Sempitnya waktu yang ditentukan memaksa AURI memangkas teori dan latihan yang akan dilakukan. Mereka hanya diberi latihan berupa teori terjun dan juga cara melipat payung, dan sama sekali tidak diberi latihan terjun dari pesawat. Latihan tersebut dilakukan hanya dalam waktu satu minggu, dan AURI menyeleksi 12 dari 60 orang yang direkrut. Mereka yang terpilih adalah Achmad Kosasih, Iskandar, Ali Akbar, Mica Amiruddin, C. Williams, Morawi, Bachri, Darius, Emmanuel, M. Dahlan, J. Bitak, dan Jamhani dan semua orang tersebut paham bahasa Dayak Kahayan. Adapun tambahan 2 orang dari PHB AURI, yaitu Opsir Muda I Hari Hadisumantri sebagai montir radio, dan Sersan Udara F.M Soejoto sebagai juru radio.

Operasi ini bersifat rahasia, dan memiliki tujuan untuk membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di kawasan Sepan Biha, sekaligus membuka stasiun pemancar induk, dan menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi-operasi berikutnya. 14 penerjun tersebut memegang beban tugas yang berat dengan persiapan yang ala kadarnya.


Monumen Palagan Sambi di Kotawaringan Barat dan Pesawat RI-002 yang digunakan dalam penerjunan 17 Oktober 1947. Sumber : Kumparan


 
Pesawat bertolak dari Yogyakarta pada 17 Oktober 1947, pukul 02.30 dan mencapai Kalimantan pada pukul 05.30. Pesawat yang digunakan adalah Dakota RI-002 yang dipiloti oleh Bob Earl Freeberg, pilot berkebangsaan Amerika Serikat yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Adapun co-pilot adalah Opsir Udara III Makmur Suhodo, operator penerjun adalah Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, dan Mayor Tjilik Riwut sebagai penunjuk daerah penerjunan. Titik penerjunan mereka adalah di sebuah bukit di wilayah Sepan Biha, di mana wilayah ini merupakan salah stau kantong perjuangan utama di Kalimantan Tengah. Namun penerjunan mereka tidak semulus seperti apa yang direncanakan karena mereka mendarat di dekat Kampung Sambi, sekitar barat laut Rantau Pulut, Kotawaringin.

Dalam penerjunan tersebut, tiga belas penerjun berhasil mendarat dengan selamat, meskipun sempat tersangkut di pepohonan, hanya Jamhani yang batal meloncat karena ketakutan. Penerjunan ini disertai dengan dropping alat-alat perlengkapan, amunisi, dan juga perbekalan. Namun, mereka tercerai berai dan baru bisa berkumpul kembali pada hari ketiga, dan itupun sebagian perlengkapan, amunisi dan perbekalan tidak dapat ditemukan.

Karena mereka mendarat tidak di lokasi yang ditentukan, mereka terpaksa harus bertahan hidup di tengah hutan belantara. Setelah 35 hari bergerilya di hutan belantara Kalimantan, terjadi kontak senjata antara pasukan payung dengan tentara KNIL yang terjadi di sebuah ladang tepi Sungai Koleh yang menyebabkan tiga orang gugur. Ketiga orang yang gugur tersebut adalah Letnan Udara II Anumerta Iskandar, Sersan Mayor Udara Anumerta Achmad Kosasih, dan Kapten Udara Anumerta Hari Hadisumantri. Sersan Udara F.M Soejoto tertangkap, sedangkan Dachlan mengalami luka berat di leher. Ia bersama pasukan yang selamat lainnya berhasil meloloskan diri, dan meneruskan gerilya di tengah hutan belantara hingga akhirnya dalam waktu kurang dari dua bulan kemudian mereka semua tertangkap.

Mereka dibawa ke Banjarmasin, sebelum akhirnya dikirim ke Jakarta untuk ditawan di Penjara Bukit Duri, kemudian dipindahkan ke Penjara Glodok dan Penjara Cipinang. Terakhir, mereka dijebloskan ke Penjara Bukit Batu di Nusa Kambangan. Mereka akhirnya dibebaskan menjelang Konferensi Meja Bundar dan dikembalikan ke Yogyakarta.

Operasi tersebut kemudian dikenal sebagai operasi lintas udara pertama di Indonesia. Meskipun para pasukan payung tersebut gagal dalam menunaikan tugasnya, tetapi kisah para pasukan tersebut menjadi suatu kisah peristiwa yang gemilang hingga diabadikan dalam sebuah film berjudul Aksi Kalimantan pada tahun 1961. Selain itu, untuk memperingati peristiwa bersejarah ini, maka setiap tanggal 17 Oktober ditetapkan sebagai hari jadi Korps Komando Pasukan Gerak Cepat (KOPASGAT) yang kini menjadi Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (KORPASKHAS TNI-AU).

Daftar Sumber

Buku

Hadi, R. (2019). Tumbang Samba Kota Pahlawan di Tanah Dayak. Purwokerto: CV IRDH.

Soewito, I.H.N.H., Suyono, N.N., Suhartono, S. (2008). Awal Kedirgantaraan di Indonesia - Perjuangan AURI 1945-1950. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Internet

Dinas Penerangan – TNI Angkatan Udara, (n.d.). “17 Oktober 1947, Operasi Lintas Udara Pertama AURI”. Diakses pada 28 Juni 2021, dari https://tni-au.mil.id/portfolio/17-oktober-1947-operasi-lintas-udara-pertama-auri/

Dinas Penerangan - TNI Angkatan Udara, (2018, 23 Maret). "Lahirnya AURI dibumi Kalimantan". Diakses pada 29 Juni 2021, dari https://tni-au.mil.id/lahirnya-auri-dibumi-kalimantan-2/



Share: