Mengenal Operasi Lintas Udara Pertama AURI di Tanah Borneo (17 Oktober 1947)

Foto sebagian anggota yang diterjunkan di Kalimantan pada tanggal 17 Oktober 1947, dari kiri Soejoto, J. Bitak, M Dachlan (duduk), Bachri, Ali Akbar, C. Williams, Aminudin dan Darius
Sumber: Direpro dari Buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950

 

Oleh : Voka Panthara Barega

Inilah kisah operasi terjun payung pertama dalam sejarah TNI, berani terjun dari pesawat meski hanya berbekal latihan teori.

Waktu menunjukkan pukul 05.30, di saat orang-orang mulai terbangun dan melakukan aktivitasnya, terdengar deru pesawat yang kencang memecah keheningan di tanah Borneo. Pesawat itu adalah Dakota RI-002 yang membawa sejumlah pasukan untuk diterjunkan di kawasan Sepan Biha, Kalimantan Tengah. Mereka ditugaskan untuk menjalankan misi rahasia pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak lantas membuat seluruh rakyat Indonesia bersuka cita pada saat itu, melainkan timbul rasa khawatir akan dijajah kembali oleh Belanda. Benar saja, tidak lama setelah kedatangan pasukan sekutu yang menguasai Kalimantan pasca pendudukan Jepang, mereka segera menyerahkan wilayah Kalimantan secara resmi pada NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pada 24 Oktober 1945. Hal ini sontak membuat rakyat setempat yang mendukung kemerdekaan Indonesia marah dan melakukan perlawanan terhadap NICA.

Kalimantan Tengah menjadi salah satu kantong perjuangan dan pergerakan gerilya. Rizali Hadi dalam Tumbang Samba Kota Pahlawan di Tanah Dayak menjelaskan terdapat gerakan-gerakan seperti GP3 (Gerakan Pelopor Penegak Proklamasi), Laskar Kilat, Laskar Merah Putih, Katraco dan gerakan-gerakan lainnya yang dilebur menjadi GRRI (Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia) (Hadi, 2019: 99). Namun, pergerakan mereka terhambat dikarenakan menjadi sasaran tentara KNIL dan NICA. Ditambah dengan hasil dari Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946 menyebabkan suplai bantuan dari Jawa terhenti, dan mau tidak mau mereka harus berjuang sendirian.

Kekhawatiran muncul dari Gubernur Kalimantan pada saat itu, Ir. H. Pangeran Muhammad Noor. Ia mengirimkan surat kepada KSAU Suryadi Suryadarma untuk meminta bantuan agar AURI bersedia melatih para pemuda asal Kalimantan untuk diterjunkan ke Kalimantan membantu gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan, tulis Irna H.N. Hadi Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950. Karena akses melalui laut tidak mungkin dilakukan akibat blokade Belanda, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh hanyalah melalui udara dengan melakukan terjun payung.

Permintaan Gubernur Kalimantan kemudian dirundingkan oleh AURI dengan Markas Besar Tentara (MBT). Keputusannya MBT menyetujuinya dan segera membentuk staf khusus yang bertugas merekrut pasukan terjun payung. Dalam waktu singkat, mereka berhasil merekrut sebanyak 60 orang berasal dari Kalimantan, Jawa, Sumatra, dan Madura.

Sempitnya waktu yang ditentukan memaksa AURI memangkas teori dan latihan yang akan dilakukan. Mereka hanya diberi latihan berupa teori terjun dan juga cara melipat payung, dan sama sekali tidak diberi latihan terjun dari pesawat. Latihan tersebut dilakukan hanya dalam waktu satu minggu, dan AURI menyeleksi 12 dari 60 orang yang direkrut. Mereka yang terpilih adalah Achmad Kosasih, Iskandar, Ali Akbar, Mica Amiruddin, C. Williams, Morawi, Bachri, Darius, Emmanuel, M. Dahlan, J. Bitak, dan Jamhani dan semua orang tersebut paham bahasa Dayak Kahayan. Adapun tambahan 2 orang dari PHB AURI, yaitu Opsir Muda I Hari Hadisumantri sebagai montir radio, dan Sersan Udara F.M Soejoto sebagai juru radio.

Operasi ini bersifat rahasia, dan memiliki tujuan untuk membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di kawasan Sepan Biha, sekaligus membuka stasiun pemancar induk, dan menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi-operasi berikutnya. 14 penerjun tersebut memegang beban tugas yang berat dengan persiapan yang ala kadarnya.


Monumen Palagan Sambi di Kotawaringan Barat dan Pesawat RI-002 yang digunakan dalam penerjunan 17 Oktober 1947. Sumber : Kumparan


 
Pesawat bertolak dari Yogyakarta pada 17 Oktober 1947, pukul 02.30 dan mencapai Kalimantan pada pukul 05.30. Pesawat yang digunakan adalah Dakota RI-002 yang dipiloti oleh Bob Earl Freeberg, pilot berkebangsaan Amerika Serikat yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Adapun co-pilot adalah Opsir Udara III Makmur Suhodo, operator penerjun adalah Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, dan Mayor Tjilik Riwut sebagai penunjuk daerah penerjunan. Titik penerjunan mereka adalah di sebuah bukit di wilayah Sepan Biha, di mana wilayah ini merupakan salah stau kantong perjuangan utama di Kalimantan Tengah. Namun penerjunan mereka tidak semulus seperti apa yang direncanakan karena mereka mendarat di dekat Kampung Sambi, sekitar barat laut Rantau Pulut, Kotawaringin.

Dalam penerjunan tersebut, tiga belas penerjun berhasil mendarat dengan selamat, meskipun sempat tersangkut di pepohonan, hanya Jamhani yang batal meloncat karena ketakutan. Penerjunan ini disertai dengan dropping alat-alat perlengkapan, amunisi, dan juga perbekalan. Namun, mereka tercerai berai dan baru bisa berkumpul kembali pada hari ketiga, dan itupun sebagian perlengkapan, amunisi dan perbekalan tidak dapat ditemukan.

Karena mereka mendarat tidak di lokasi yang ditentukan, mereka terpaksa harus bertahan hidup di tengah hutan belantara. Setelah 35 hari bergerilya di hutan belantara Kalimantan, terjadi kontak senjata antara pasukan payung dengan tentara KNIL yang terjadi di sebuah ladang tepi Sungai Koleh yang menyebabkan tiga orang gugur. Ketiga orang yang gugur tersebut adalah Letnan Udara II Anumerta Iskandar, Sersan Mayor Udara Anumerta Achmad Kosasih, dan Kapten Udara Anumerta Hari Hadisumantri. Sersan Udara F.M Soejoto tertangkap, sedangkan Dachlan mengalami luka berat di leher. Ia bersama pasukan yang selamat lainnya berhasil meloloskan diri, dan meneruskan gerilya di tengah hutan belantara hingga akhirnya dalam waktu kurang dari dua bulan kemudian mereka semua tertangkap.

Mereka dibawa ke Banjarmasin, sebelum akhirnya dikirim ke Jakarta untuk ditawan di Penjara Bukit Duri, kemudian dipindahkan ke Penjara Glodok dan Penjara Cipinang. Terakhir, mereka dijebloskan ke Penjara Bukit Batu di Nusa Kambangan. Mereka akhirnya dibebaskan menjelang Konferensi Meja Bundar dan dikembalikan ke Yogyakarta.

Operasi tersebut kemudian dikenal sebagai operasi lintas udara pertama di Indonesia. Meskipun para pasukan payung tersebut gagal dalam menunaikan tugasnya, tetapi kisah para pasukan tersebut menjadi suatu kisah peristiwa yang gemilang hingga diabadikan dalam sebuah film berjudul Aksi Kalimantan pada tahun 1961. Selain itu, untuk memperingati peristiwa bersejarah ini, maka setiap tanggal 17 Oktober ditetapkan sebagai hari jadi Korps Komando Pasukan Gerak Cepat (KOPASGAT) yang kini menjadi Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (KORPASKHAS TNI-AU).

Daftar Sumber

Buku

Hadi, R. (2019). Tumbang Samba Kota Pahlawan di Tanah Dayak. Purwokerto: CV IRDH.

Soewito, I.H.N.H., Suyono, N.N., Suhartono, S. (2008). Awal Kedirgantaraan di Indonesia - Perjuangan AURI 1945-1950. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Internet

Dinas Penerangan – TNI Angkatan Udara, (n.d.). “17 Oktober 1947, Operasi Lintas Udara Pertama AURI”. Diakses pada 28 Juni 2021, dari https://tni-au.mil.id/portfolio/17-oktober-1947-operasi-lintas-udara-pertama-auri/

Dinas Penerangan - TNI Angkatan Udara, (2018, 23 Maret). "Lahirnya AURI dibumi Kalimantan". Diakses pada 29 Juni 2021, dari https://tni-au.mil.id/lahirnya-auri-dibumi-kalimantan-2/



0 comments:

Post a Comment