Berita Lawas : Pemandangan di Pontianak (1927)



Surat Kabar Oetoesan Borneo, 31  Desember 1927
(Sumber: Koleksi Pribadi)

Berita asli dari Surat Kabar Oetoesan Borneo, edisi no. 1 tahun ke-1 hari Sabtu 31 Desember 1927. di terbitkan dan dicetak oleh N.V. Boekh & Drunkkerij Phin Min, beralamat di fukustraat 18, 19 & 20 blok U. Berita berjudul asli "Pemandangan di Pontianak" mewartakan  tentang perkembangan kondisi perekonomian dan sosial di pontianak pada 1902.


Isi Berita Asli (disesuaijan dengan ejaan kini)

Jika kita membuka peta pulau-pulau di Indonesia dan kita bandingkan antara Pulau Jawa dan Borneo maka dapat kita lihat bagaimana perbedaan antara kedua pulau tersebut. 

Pulau Jawa dan Madura yang luasnya hanya 131.431 km2 dan Borneo yang luasnya sampai 739.630 km2 dari perbandingan tersebut dapat kita liat, Pulau Borneo memiliki luas kurang lebih 5,5 kali luas Pulau Jawa.

Akan tetapi sungguh begitu penduduk pulau Jawa  17,5 kali lebih banyak dari penduduk Pulau Borneo, karena Borneo hanya memiliki 2 juta jiwa saja, sementara Pulau Jawa terdapat sampai dengan 35 juta jiwa. 

Sekarang mari kita lihat Bagaimana perbedaan antara Pontianak yang dulu dengan yang sekarang ,pada tahun 1902 dengan 1927.

Kita kembali sebentar pada tahun 1902 dan mula-mula kita tunjukan pemandangan di arah gudang tempat kapal kapal berlabuh.

Pada waktu itu di sana hanya terdapat satu jembatan saja. Di mana paling banyak hanya 2 buah kapal saja yang bisa merapat dan satu gudang untuk penyimpanan barang-barang yang dibawa oleh kapal dari negara lain, di sanalah segala barang-barang itu dimasukkan untuk disimpan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan sebelum diambil oleh pemiliknya.

Kapal Api yang masuk ke Pontianak pada waktu itu berasal dari Betawi hanya “de kock” (+ 500 ton) dan “Merkus” (+ 600 ton) saja, yang hanya satu kali dalam 10 hari datang mengunjungi Sungai Kapuas berlabuh di Boom (gudang) Pontianak. Dari Singapura s.s “Ban Ho Soon” (+ 450 Ton) “Ban Hin Goan” (+ 450 Ton) dan “Valentyn” (+ 300 Ton).

Itulah nama kapal-kapal yang pada waktu itu menjadi langganan bagi gudang-gudang Pontianak, untuk mengangkut dan membawa barang dari Pontianak dan dari negara-negara lain. 

Kapal-kapal itu, baik yang datang dari Betawi, maupun yang datang dari Singapura sama-sama masuk dari Kuala sebelah Selatan, yang mana memakan waktu kira-kira 8 jam perjalanan jauhnya dari Pontianak.

Dan kalau kita lihat pula akan perjalanan kapal-kapal dagang Pontianak, banyak yang berhubungan dengan Singapura baik dari barang-barang yang masuk maupun barang-barang yang keluar seperti kopra, getah jeluteng, sahang, pinang, rotan, damar dan lain-lain.

Barang-barang untuk ekspor semuanya datang dari Tanah Hulu dibawa ke Pontianak dengan Bandong (Kapal) yang digandeng oleh kapal api kecil dan kapal “Kapuas’ milik K.P.M. Dari arah Landak barang-barang ini dibawa hanya dengan tongkang saja dengan menempuh perjalanan air yang sungguh jauh.

Di seberang gudang dapat kita lihat satu pabrik minyak kelapa dari Law Ban Seng, di sebelah hilir ada juga berdiri satu pabrik minyak kelapa juga milik Hemmes & Co.

Minyak kelapa yang dibuat oleh kedua pabrik tersebut banyak yang dikirim ke Batavia, Palembang, Banjarmasin dan tempat lain dengan kapal Betawi. Minyak ini juga banyak dipakai di Pontianak dan di Tanah Hulu, ampas minyaknya dikirim ke Jerman dan ada juga yang dikirim ke Belanda untuk dipakai menjadi pakan sapi dan babi.

Di dalam kantor Bea Cukai waktu itu hanya ada 1 pemeriksa saja yang menjabat juga sebagai Kepala Pelabuhan, 2 pengawas gudang, 1 staff dan 1 kasir. Kantor pengiriman paket hanya dipimpin oleh satu agen dan dibawahnya hanya ada satu staf, satu kasir, dan satu mandor saja. 

Pada waktu itu hanya terdapat satu hotel saja dan kecil pula begitupun  kantor posnya yang masih sempit dan kecil. Kampung Belanda biarlah kita lewati dulu untuk sementara, agar jangan sampai menghabiskan waktu bagi pembaca. 

Kantor Pemerintahan juga kecil dan hanya dipimpin oleh satu residen satu asisten residen dan satu pengontrol saja.

Pasarnya dapat dikatakan besar akan tetapi orang-orang Tionghoa tinggal di tokonya yang terdapat di pasar itu karena Kampung Cina (Pecinan) seperti di tempat lain tidak ada.

Di ujung pasar dapat kita lihat kantor dan gudang dari Borsumij (Borneo Sumatera Handel Maatschapij). Di dalam kantor yang kecil itu tinggal seorang pemimpin seorang pegawai, 2 staff dan satu kasir. Gudang impornya dikepalai oleh seorang Tionghoa dan dibagian export ada lagi dua orang lagi yang bekerja.

Di sebelah kantor dan gudang ini berdiri rumah Tuan heng Seng Hie  yang telah meninggal dunia, salah satu saudagar yang paling besar dan kaya di Pontianak.

Menurut cerita orang, perusahaan di Tanah Jawa tidak mau dan tidak suka datang ke Pontianak, karena negeri ini sangat dihinakan oleh orang yang mengatakan bahwa Pontianak adalah salah satu “Verbanningsplaats (tempat pengasingan)”, negeri orang Dayak dan sebagainya.

Begitupun juga pegawai-pegawai negeri yang dipindahkan Pontianak, seringkali kita dengar di mana orang itu minta dicabut saja dan dipindahkan kembali atau jika tidak minta di pecat saja! “Hidup sangat membosankan disana” begitu yang ia dengar kabar dari orang-orang yang telah pernah datang ke Pontianak. Itulah sebabnya maka mereka itu tidak mau dipindahkan ke sini. 

Juga seringkali kita dengar kabar siapa-siapa yang baru datang dari Pontianak ke Tanah Jawa, ia disebut sebagai orang Dayak.

Di seberang gudang Tuan Theng Seng Hie terdapat masjid, dan kedalam sedikit disanalah berdiri istana Tuan Sultan Pontianak Syarif Muhammad. Rumah sekolah hanya hanya terdapat tiga buah saja pada waktu itu, yaitu Sekolah Melayu dimana anak-anak muridnya kebanyakan terdiri dari anak-anak militer saja, dan satu sekolah Tionghoa yang kecil

Telepon tidak ada.

dan mobil?

Dapat hijau mata orang jika melihat mobil pada waktu itu, tentu tidak akan ditemukan, Jika orang pada waktu itu hendak pergi ke Sungai Kakap, harus pergi menggunakan sepeda angin yang yang waktu itu juga belum begitu banyak atau naik bidar (perahu) saja. Pada waktu itu banyak orang yang menyimpan bidar, dan dapat kita lihat pada waktu toke-toke pulang dari pekerjaannya, sama-sama naik bidar. 

Dahulu mengemudi bidar ini dapat dilihat sebagai suatu pekerjaan yang amat mulia, kalau orang duduk bersandar di atas kendaraan air tersebut akan didayungkan oleh seorang tukang  dayung.

Hingga tahun 1914, keadaan dan penghidupan di Pontianak masih tetap tertinggal seperti dalam tahun 1903, hanya ada perubahan waktu pada Tuan Kontrolir Karon (Digelar anak negeri kontrolir 3 bulan) datang memerintah ke Pontianak.


Penulis : Alima Diennur Yahya

 

 

 

 

 

 

Share:

Berita Lawas : Sultan Pontianak Dengan Waterledeng (1928)

 Surat kabar Matahari Borneo, 21 Desember 1928
(Sumber : Koleksi Pribadi)

Berita asli dari surat kabar Matahari Borneo, edisi No. 18 Tahun ke-1 Hari Jumat 21 desember 1928. Kepala redaktur L.Mandey beralamat di Pasar Besar Blok N.35 Pontianak. Berita berjudul asli "Sultan Pontianak dengan Water Leiding" Mewartakan proposal pembuatan parit untuk pembuatan pipa air ledeng.  


Isi Berita Asli (disesuaijan dengan ejaan kini)

Sungguh sudah banyak dibicarakan di gedung Volksraad dan media tentang waterledeng yang akan dibuat dikota ini, tetapi sampai saat ini belum ada satu ketetapan yang pasti dari mana sumber waterledeng itu.

Pemerintah sudah menyediakan dana sejumlan f 400.000.- untuk waterledeng tersebut.

Ada yang mengatakan bahwa air waterledeng akan di ambil di Sungai Melaya, ada juga yang mengatakan akan dicari di Sungai Bangkong dan ada pula yang mengatakan bahwa akan digali parit dari Kubupadi terus ke Parit Wan Salim di Siantan. Perkiraan masyarakat dalam ketiga prediksi tersebut sia-sia saja. Apabila diambil dari Sungai Melaya tentu saja air itu masih asin juga sebab di dalam sungai itu saat ini sudah mulai di gunakan untuk berkebun oleh orang Tionghoa dan Bumiputera. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika hutan di tepi sungai sudah tidak ada maka akan mudah pasang dan surutnya, dan karena derasnya air yang masuk bisa jadi air laut pun akan masuk juga.

Sebagai tambahan, tentu saja air itu akan kotor, karena banyak orang Tionghoa yang memelihara babinya di dalam kebun itu.

Jika diambil dari Sungai Bangkong, maka akan banyak orang yang kesusahan, karena jika datang musim kemarau maka semua mata air di sungai bangkong akan kering. Sehingga pada berberapa tahun yang lalu ketika musim kemarau, pernah terjadi kebakaran yang menjalar sampai darat yang mana api tersebut muncul dari dalam tanah.

Jika diambil dari Kubupadi sebagaimana yang dikerjakan orang sekarang ini, itupun belum bisa dikatakan beruntung.

Menurut Voorstelnja (Proposal) Sri Paduka Tuan Sultan kepada Sri Paduka Tuan Resident supaya air waterledeng itu diambil dari Mandor, jadi dengan jalan membuat parit dimulai dari Parit Belanda Siantan terus hingga ke Gunung Mandor.

Untuk membuat parit itu tidak banyak memakan ongkos, karena parit tersebut akan dikerjakan dengan heerendienst (kerja sukarela) dan orang yang bekerja mendapatkan beras dan ikan kering.

Apabila parit tersebut telah selesai terus hingga Gunung Mandor, maka orang-orang akan tetap mendapatkan air bersih yaitu air dari Gunung Mandor yang memang bening dan jernih.

Pipa-pipa waterledeng tentu akan terus menerima air tersebut.

Menurut  pertimbangan ongkos yang akan terpakai tidak begitu banyak dan begitu juga bagi rakyat dan landschap (perusahaan) ada keuntungan (voordeling). Tanah-tanah yang terdapat pada sisi kiri dan kanan parit tersebut dapat dibagikan kepada anak negeri supaya dapat di buka sebagai kebun.  

Itulah keuntungan rakyat dan tentu pula pada Landschap serta biaya-biaya waterledeng tidak seberapa.

Kita telah mendengar kabar bahwa kepala kampung dari Kerajaan Pontianak setuju dengan proposal Sri Paduka Sultan, sehingga mereka sudah meminta beliau supaya Segera dibagi-bagikan (dikerjakan) parit air yang akan dikerjakan terus sampai ke Gunung Mandor itu 

Mudah-mudahan pemerintah atau pihak yang berwajib setuju dengan proposal dari Sri Paduka Sultan ini.


Penulis : Alima Diennur Yahya

Share: