Dari Mitos ke Logis: Perdebatan Tentang Toponimi Pontianak
Kanal di Kawasan Pasar Tengah Pontianak masa Kolonial Sumber: wereldculturen.nl |
Oleh: Yusri Darmadi
Pamong Budaya Bidang Sejarah Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat
Sejak awal Allah SWT mengajarkan kepada Adam A.S., nama-nama benda yang ada di lingkungannya, sesuatu yang tidak pernah diajarkan-Nya baik kepada malaikat maupun setan, “dan Ia ajari Adam nama-nama semuanya ...” (Q.S. 2:31). Mungkin pembaca juga pernah mendengar pernyataan bersayap what’s in a name yang diucapkan oleh Yuliet ketika berbantah dengan Romeo dalam Romeo and Juliet karya William Shakespeare. Bahwa nama itu demikian penting dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.
Zaman Lada Dalam Sejarah Bengkulu
Benteng Marlborough yang dibangun saat masa kolonialisme Inggris di Bengkulu (Sumber: KITLV) |
Oleh Hardiansyah | Kontributor Majalah Riwajat, Penulis Sejarah Bengkulu
Sekolah Setelah Pembuangan
Sebuah Sekolah Taman Siswa di Jawa Sumber foto: grid.id |
Oleh: M. Rikaz Prabowo | Redaksi Majalah Riwajat
Suwardi Suryaningrat dan Ernest Douwes Dekker sama-sama pernah mendirikan parpol pertama di Hindia Belanda yakni Indische Partij (1912) yang berbuah pembuangan oleh Belanda. Sepulang dari pembuangan, keduanya banting setir berjuang melalui pendidikan dan pendirian sekolah.
Menagih Amanat Perda HBD, Inventarisasi Korban Peristiwa Mandor 1944 Belum Selesai
Makam Juang Mandor di Kalimantan Barat (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id) |
Oleh: Yusri Darmadi | Pamong Budaya Bidang Kesejarahan BPNB Kalimantan Barat
Kalimantan Barat memiliki sejarah kelam pada masa pendudukan Jepang. Periode pendudukan Jepang yang singkat tetapi memakan korban melalui pembunuhan besar-besaran secara berencana atau genosida. Insiden tersebut dikenal dengan Peristiwa Mandor atau ada juga yang menyebutnya oto sungkup. Peristiwan Mandor terjadi pada tanggal 28 Juni 1944 di suatu tempat dalam Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak
Saat ini Peristiwa Mandor selalu diperingati melalui Upacara Bendera dan Pengibaran Bendera Setengah Tiang serta ditetapkan sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Barat No. 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor Sebagai Hari Berkabung Daerah dan Makam Juang Mandor Sebagai Monumen Daerah. Meskipun demikian, beberapa tahun terakhir peringatan Hari Berkabung Daerah tidak terasa berkesean dan hanya formalitas sekedar menjalankan Perda, itupun tidak dijalankan secara keseluruhan. Beberapa contoh, untuk mengibarkan bendera setengah tiang, belum semua instansi yang melakukannya. Sementara di Perda tersebut sudah dijelaskan pada Bab IV Pasal 5 (1) b, diwajibkan mengibarkan Bendera Merah Putih setengah tiang selama satu hari di lingkungan Instansi Vertikal, Instansi Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan baik negeri maupun swasta dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, BUMN dan BUMD, swasta serta di setiap rumah tempat tinggal penduduk di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Begitu juga terkait Upacaranya yang diatur dalam Pasal 5 (1) c.
Kisah Berdirinya Universitas Pertama di Kalimantan Barat
Kampus pertama Universitas Tanjungpura sekitar tahun 1960an. (Sumber: Mimbar Untan) |
Oleh: Mohammad Rikaz Prabowo | Pimred Riwajat
Nasionalisme Dari Perbatasan: Perjuangan Rakyat Sambas Mempertahankan Kemerdekaan RI
Oleh: Karel Juniardi | Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak
Pada tahun ini, bangsa Indonesia memperingati 77 tahun kemerdekaannya, yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. Momen proklamasi kemerdekaan menjadi tonggak terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan yang dikatakan selama 350 tahun. Namun proses kemerdekaan Republik Indonesia menghadapi berbagai halangan, rintangan dan tantangan yang tidak mudah. Selain adanya pergolakan di internal bangsa Indonesia sendiri, seperti adanya Pemberontakan PKI pada tahun 1948 di Madiun, juga adanya sistem negara federasi yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah persatuan bangsa Indonesia sebagai upaya Belanda untuk menduduki atau menjajah kembali bumi Indonesia.
ORANG DAYAK DALAM RIMBA PAPUA
Oleh: Voka Panthara Barega
“Kami melihat gunung yang amat tinggi dengan banyak tempat yang ditutupi salju, yang tentunya sangat aneh untuk gunung yang letaknya dekat dengan garis Khatulistiwa”. – Jan Carstensz dalam Nieuw-Guinea 1623
Kalimat di atas merupakan salah satu bagian dari catatan harian Jan Carstensz ketika ia sedang berlayar di sekitar selatan Laut Arafura. Ia bersama awak kapalnya melihat sebuah gunung yang amat tinggi dengan putihnya salju yang menyelimutinya. Namun, banyak orang yang menertawakan apa yang dilihatnya karena tidak mungkin ada es di wilayah Khatulistiwa. Tetapi pada akhirnya hal ini malah membuat sebagian orang tertarik melihat langsung dan mendaki gunung yang diceritakan oleh Jan Carstensz itu.
Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia, setelah Greenland yang dimiliki oleh Kerajaan Denmark. Pulau Papua yang sebagaimana disebutkan oleh Alfred Russel Wallace sebagai “terra incognita terbesar di dunia” di mana sedikit sekali informasi yang menyebutkan tentang pulau ini, hanya menyebutkan bahwa di pedalaman hutannya terdapat penduduk yang kanibal.
Hendrikus Albertus Lorentz menjadi salah satu tokoh penting dalam penjelajahan pedalaman hutan di Papua. Sebelumnya, ia terlibat dalam ekspedisi bersama C. E. A. Wichmann, seorang geolog asal Jerman pada tahun 1903 yang dikenal sebagai ekspedisi ilmiah pertama di tanah mutiara hitam (papua) yang berhasil memetakan Humboldt Bay di Pantai Utara Papua. Ia juga berhasil memetakan East Bay dan North River berbekal pengalamannya selama ekspedisi Wichmann dan dari catatan perjalanan Kapten Posthumus Meyes dan De Rochement. Lorentz juga pernah melakukan ekspedisi untuk mencapai pegunungan bersalju di tengah Papua pada tahun 1907, namun gagal karena banyaknya korban karena penyakit dan kehabisan stok makanan (Lorentz, 1907: 467).
Dr. Hendrikus Albertus Lorentz
Sumber: collectie.wereldculturen.nl
Ekspedisi kedua Lorentz dilakukan sebagai kelanjutan dari ekspedisi pertama yang sebelumnya dilakukan pada tahun 1907. Tujuan ekspedisi kedua ini untuk mencapai Puncak Wilhelmina (sekarang bernama Puncak Trikora). Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Lorentz ditemani J. W. von Nounhuys yang merupakan komandan Angkatan Laut Belanda sekaligus geolog, kartografer dan ahli meteorologi; Letnan D. Habbema, seorang perwira tentara Hindia Belanda di Kalimantan; Raden Jaarman Soemintrol Zeerban, seorang fisikawan pribumi; 2 orang ahli botani dari Kebun Raya Bogor (Bogor Botanical Gardens); 5 orang Melayu; 10 orang Sunda; dan 82 orang Dayak (66 orang diantaranya merupakan Orang Kayan yang direkrut di Putussibau atas rekomendasi dari Prof. Nieuwenhuis, dan 16 orang sisanya merupakan Orang Kenyah yang direkrut di Bulungan) (Lorentz, 1911: 339).
Dalam ekspedisi kedua ini yang menarik adalah adanya orang Dayak yang direkrut dalam ekspedisi. Pemilihan orang Dayak di sini dikarenakan berbagai faktor pertimbangan, seperti: yang pertama, orang-orang Dayak pada umumnya hidup dalam lingkungan yang mirip dengan lingkungan yang ada di Papua. Kehidupan mereka tidak terpisahkan dari hutan, dan gemar melakukan petualangan. Bahkan Lorentz menyebutkan bahwa orang Dayak adalah pembuat kapal yang ahli dan mampu mengoperasikannya dengan sangat baik. Yang kedua, orang Dayak terbiasa membawa beban yang sangat berat untuk perjalanan jauh sehingga sangat cocok untuk sebuah ekspedisi. Selain itu, terdapat orang Melayu yang direkrut karena mereka terbiasa melakukan pekerjaan berat, dan orang Sunda yang direkrut untuk membantu para ahli botani.
Ekspedisi kedua Lorentz dimulai pada 5 Agustus 1909, ketika kapal Elang mulai berlabuh meninggalkan Surabaya ditemani kapal uap milik Pemerintah Hindia-Belanda Falcon yang dikomandoi oleh J.H. Hondius van Herwerden. Dalam perjalanannya, mereka sempat singgah di Kupang dan Dobo (Kepulauan Aru) untuk mengisi ulang batubara. Pada 1 September 1909, mereka akhirnya tiba di East Bay dengan kondisi yang kurang menguntungkan akibat hujan yang terus menerus terjadi. Selama di East Bay, Lorentz memutuskan memilih mengarungi Sungai Van der Sande daripada Sungai Noord (North River) untuk mencapai Puncak Wilhelmina dalam waktu singkat.
Sebelum melanjutkan perjalanan lebih jauh, tim ekspedisi melakukan persiapan, seperti adanya beberapa kru kapal yang pergi menuju Pulau Biak untuk membangun barak tentara dan tempat penyimpanan logistik. Sedangkan kru lainnya yang berada di East Bay, mereka segera berangkat menuju Alkmaar, sebuah lokasi yang menjadi kamp dalam Ekspedisi Lorentz Pertama yang letaknya di kaki gunung dekat Puncak Wilhelmina. Orang-orang Dayak segera melakukan pekerjaan mereka dengan membuat kano sebanyak sepuluh buah, dan juga sebuah rumah dengan gudang di belakangnya untuk menyimpan cadangan makanan selama 100 hari.
Ketika semua persiapan sudah selesai, pada 4 Oktober 1909, para anggota ekspedisi berkumpul di kamp Alkmaar dan akan melakukan perjalanan pada 9 Oktober 1909. Dibentuklah sebuah tim kecil yang terdiri dari Dr. Lorentz, van Nounhuys, 30 orang Dayak, 1 orang Sunda dan 3 tentara. Mereka semua berangkat menuju Pegunungan Hellwig yang merupakan kawasan yang pernah dijelajahi oleh Lorentz. Selebihnya akan menyusul dalam sebuah rombongan yang diketuai oleh Letnan Habbema. Titik temu mereka adalah Pegunungan Hellwig.
Dalam catatan perjalanan dikatakan mula-mula tim Lorentz akan melintasi Pegunungan Hellwig dan menunggu rombongan Habbema menyusul. Pada saat itu rombongan Habbema tiba pada 27 Oktober 1909. Mereka melanjutkan perjalanan melintasi Pegunungan Treub, dan Pegunungan Wichmann sebelum akhirnya mencapai Puncak Wilhelmina. Selama perjalanan, mereka mengalami banyak kendala, seperti kondisi medan yang sangat ekstrem, cuaca buruk dan suhu udara yang dingin. Mereka juga terlibat kontak dengan penduduk asli, dan beruntungnya mereka dapat berhubungan baik setelah salah seorang Dayak bernama Tigang memberanikan diri melakukan kontak dengan mereka, dan bahkan rombongan Lorentz diundang dalam pesta adat penduduk asli tersebut yang menyebut diri mereka sebagai “Peseguems” (Ploeg, 1995: 231).
Rombongan Lorentz akhirnya menemukan salju pada 7 November 1909. Orang-orang Dayak berteriak kegirangan dan membuat bola salju untuk dibawa ke kampung halaman mereka di Kalimantan. Mereka berada di ketinggian 13.200 kaki saat ini dan masih belum melihat Puncak Wilhelmina. Lorentz memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.
Sumber: Jurnal An expedition to the snow mountain of New Guinea.
Keesokan harinya pada 8 November 1909, menjadi hari yang luar biasa bagi ekspedisi Lorentz. Ia bersama van Nounhuys dan 6 orang Dayak lainnya berhasil mendaki sebuah dinding batu tinggi dan mencapai Puncak Wilhelmina. Lorentz melihat bahwa salju tersebut adalah salju asli, bukanlah kapur atau zat-zat lainnya. Ia juga melihat hypsometernya menunjukkan angka 15.125 kaki; ia membandingkan dengan gunung Mont Blanc yang memiliki ketinggian 15.750 kaki. Lorentz sangat senang dan bergembira karena ekspedisi yang ia lakukan berhasil.
Setelah melakukan dokumentasi dan juga menikmati pemandangan, rombongan Lorentz memutuskan untuk kembali pulang ke kamp dekat Puncak Wilhelmina. Malangnya, Lorentz mengalami kecelakaan yang menyebabkan tulang rusuknya patah dan beberapa anggota badannya mengalami memar. Beberapa orang Dayak diperintahkan Nounhuys untuk kembali ke kamp mengambil peralatan P3K, sedangkan Nounhuys dan Adjang membopong Lorentz kembali ke kamp. Sesampainya di kamp, mimpi buruk pun terjadi, di mana terjadi hujan salju lebat. Setelah hujan salju reda, Letnan Habbema memerintahkan beberapa orang Dayak untuk mengambil persediaan di kamp Pegunungan Hellwig, disusul oleh rombongan Lorentz.
Mimpi buruk selama perjalanan pulang terus terjadi, hingga akhirnya pada 29 November, sekelompok orang Dayak yang dikirim Letnan Habbema datang menjemput rombongan Lorentz dengan membawa makanan. Rombongan Lorentz akhirnya tiba di kamp Pegunungan Hellwig. Raden Jaarman mengatakan bahwa tulang rusuk Lorentz akan segera sembuh. Jumlah korban selama ekspedisi kedua Lorentz disebutkan berjumlah 3 orang. Pada 15 Desember 1909, rombongan Lorentz tiba di Alkmaar, dan bisa merasakan tidur nyenyak setelah selama 68 hari berada di hutan belantara Papua, sebelum akhirnya dijemput oleh kapal uap Pemerintah Hindia-Belanda.
Ekspedisi yang dilakukan Lorentz ini menjadi pemicu ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan di tanah mutiara hitam. Besarnya peran orang Dayak yang ditunjukkan oleh Lorentz, membuat citra orang Dayak semakin terangkat, dan kemudian banyak direkrut dalam ekspedisi-ekspedisi berikutnya dalam menjelajahi rimba Papua yang masih misterius, yang mana salah satu ekspedisinya menyangkut pertambangan yang kelak dikenal sebagai Pertambangan Freeport.
DAFTAR PUSTAKA
Lorentz, H. A. (1907). De N. Guinea-expeditie van de Mij. ter bevordering van het Natuurk. Onderzoek der Ned. koloniën. Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 466-471.
Lorentz, H. A. (1911). An Expedition to the Snow Mountain of New Guinea. Scottish Geographical Magazine, 337-359.
Ploeg, A. (1995). First Contact, in the Highlands of Irian Jaya. The Journal of Pacific History, 227-239.
Kepingan Sejarah Perjalanan Raden Sulaiman Hingga Terbentuknya Kesultanan Sambas
Oleh : Aristi Dimin
Inilah awal kisah hidup Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Syafiuddin I) serta Kronologis terbentuknya kerajaan sambas yang masih memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Brunei Darussalam dan Kerajaan Sukadana.
Sejarah tentang asal usul Kerajaan Sambas tidak bisa terlepas dari Kerajaan di Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat. Pada jaman dahulu di Negeri Brunei Darussalam, ada seorang raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada anak cucunya secara turun temurun, sampailah pada keturunan yang ke-9 yaitu Sultan Abdul Djalil Akbar. Beliau mempunyai putra yang bernama Sultan Raja Tengah. Raja tengah inilah yang kemudian datang ke Kerajaan Tanjungpura (Sukadana). Karena perilaku dan tata kramanya beliau disegani masyarakat, bahkan Raja Tanjungpura rela mengawinkan dengan anaknya bernama Ratu Surya. Dari perkawinan ini lahir Raden Sulaiman.
Setelah sekian lama perkawinan antara Raja Tengah dan Ratu Surya ada suatu hal yang membuat merekaharus melakukan perjalanan menyisiri sungai, sehingga sampailah di muara Sebangun. Perjalanan Raja Tengah dan Istri beserta kelima anaknya (Raden Sulaiman, Raden Badarudin, Raden Abdul Wahab, Raden Rasmi Putri, dan Raden Ratnawati) diikuti oleh prajurit mempergunakan empat puluh kapal yang dipersenjatai. Rombongan Raja Tengah menyusuri pantai utara, lalu memasuki Sungai Sambas besar dan berhenti pada suatu tempat yang bernama Kota Bangun. Didaerah tersebut kemudian dibangun perkampungan yang sering disebut dengan Muare Tebangun (E.U Kratz dalam Mario Inirgo Oki Menes Belo, 2016). Desa Kota Bangun Sendiri merupakan tempat yang sangat strategis yaitu terletak pada pertigaan Sungai Sambas Kecil, Sungai Sambas Besar dan Sungai Kartiasa, hal tersebut yang diyakini mereka memilih daerah ini. Memang pada awalnya nama Desa Sebangun adalah ide dari Raja Tengah beserta keluarga, warga Dusun Kota Bangun, Pizul menyatakan “pada saat itu rombongan Raja Tengah tertidur dan ketika terbangun bertepatan di Muare Sebangun, kemudian rombongan Raja Tengah memutuskan untuk menetap dan membuat perkampungan, itulah asal muasal nama Sebangun”.
Kedatangan rombongan Raja Tengah ke Kota Bangun merupakan hal yang tidak disengaja, tidak hanya menetap tetapi sekaligus menyebarkan agama Islam, hal itu ditandai dengan berdirinya Surau yang diberi nama Surau Raden Sulaiman. Keadaan surau tersebut masih bagus, sebagian merupakan bangunan asli Raden Sulaiman, seperti kayu belian yang merupakan ciri khas bangunan jaman dahulu dan kayu belian sendiri terkenal dengan kekokohonannya. Terdapat pula 4 tiang yang terdapat didalam surau dan tempayan yang terbuat dari tanah liat untuk mengambil air wudhu yang merupakan situs asli zaman Raden Sulaiman. Menurut Nasarudin dari Tribun Pontianak menyatakan “Masjid Raden Sulaiman merupakan masjid pertama yang dibangun Kesultanan Sambas. Sampai saat ini, masih diyakini sebagai masjid tertua di Kabupaten Sambas”.
Berikut gambar Surau Raden Sulaiman dan tempayannya
Sumber : Koleksi Pribadi
Perjalanan jauh yang ditempuh oleh keluarga Raja Tengah bukanlah tanpa maksud, mereka berusaha menyebarkan agama Islam sekaligus tertarik dengan kekayaan Sambas yang kala itu terkenal dengan kekayaan emasnya. Sebenarnya agama Islam sudah masuk kedalam negeri Sambas pada abad ke 14 M, tetapi persentasenya kemungkinan masih sedikit. Mario Inirgo menyatakan “agama Islam pertama kali masuk ke Sambas dibawa oleh pedagang dari Arab, Banjarmasin dan Brunei Darussalam yang datag dengan tujuan berdagang. Para pedagang masuk ke Sambas dimulai sejak abad ke 14 M”. Negeri Sambas masih didominasi oleh pemeluk agama Hindu, Animisme dan Dinamisme, Sesuai dengan pernyataan Arpan dalam Catatan Peninggalan Sejarah di Sambas, bahwa ajaran Islam kembali menyebar dari negeri daerah Paloh membawa ajaran kebenaran yaitu Islam hingga Raden Sulaiman kawin dengan putri bungsu Ratu Sapudak”.
Pada saat itu Sambas dipimpin oleh raja yang disebut Ratu Sapudak yang menetap di Kota Lama. Hubungan antara Raja Tengah dan Ratu Sapudak sangat baik, setelah sekian lama menetap akhirnya Raja Tengah meminangkan putri Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu untuk Raden Sulaiman. Setelah setahun pernikahan Raden Sulaiman dan Mas Ayu Bungsu dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.
Sepeninggalan Ratu Sapudak, anaknya Prabu Kencana yang bergelar Anom Kesuma Yuda dinobatkan menjadi Ratu. Anom Kesuma Yuda mengangkat Raden Sulaiman Wazir (penasihat) II yang bertugas mengurusi urusan didalam maupun luar negeri. Setelah sekian lama menetap di Kota Lama, berbagai konflik internal terjadi, ada sebuah fitnah yang mengatakan Raden Sulaiman akan mengkudeta kedudukan Anom Kesuma Yuda. Pertikaian internal ini membuat Raden Sulaiman memutuskan untuk meninggalkan Kota Lama dan hijrah ke Kota Bangun lalu ke Bandir dan mendirikan perkampungan baru.
Setelah mendapatkan negeri dan pemerintahan Sambas melalui upacara serah terima yang dilakukan oleh Ratu Anom Kesuma Yuda, Raden Sulaiman kemudian pindah dari Kota Bandir ke daerah Lubung madung. Didaerah Lubuk Madung inilah pada tanggal 9 Juli 1631, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I (Ansar Rahman, 2001:42). Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan raja pertama Sambas dalam bentuk kerajaan Islam dan pemerintahan yang berlandaskan Islam. Setelah resmi menjabat, Sultan Muhammad Syafiuddin semakin menggiatkan ajaran agama Islam. Sultan Muhammad Syafiuddin memeritah Kesultanan Sambas pada 1631 sampai 1708. Akhirnya terbentuklah Kesultanan Sambas yang memiliki keterkaitan dengan tiga kerajaan yaitu Kerajaan Sambas, Kerajaan Brunei Darussalam, dan Kerajaan Sukadana.
Daftar Pustaka
Ansar Rahman, dkk. 2001.kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Pontianak : Taurus-Semar karya.
Arpan, 2001. Catatan Peninggalan Sejarah di Sambas. Sambas : Penilik Kebudayaan Kecamatan
Sambas
Mario Inirgo Oki Menes Belo, 2016. Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/profil-dan-sejarah-kesultanan-sambas/. Diunduh pada 10 Juni 2021
https://pontianak.tribunnews.com/2012/08/22/melihat-masjid-raden-sulaima-sambas. Diunduh pada 31 Mei 2021
https://sambas.go.id/profile-daerah/pemerintahan/sejarah-singkat.html. Diunduh pada 10 Juni 2021
Serangan Fajar Laskar BPIKB di Sambas
10 Januari 1949, Badan Pejuang Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) melakukan serangan fajar ke tangsi kompi KNIL di Sambas. Pemimpin serangan Mayor Alianyang beserta gerilyawan kemudian dikejar hingga ke perbatasan Malaysia.
Suasana tangsi kompi Batalyon Infanteri IX KNIL di Sambas sangat tenang, maklum waktu belum menunjukkan pukul 5 pagi dan para serdadu masih terlelap. Hanya ada beberapa penjaga piket yang sebenarnya juga sedang menahan kantuk di subuh tanggal 10 Januari 1949. Serenta keheningan di pagi hari itu pecah saat terdengar satu tembakan pembuka dari arah luar tangsi yang kemudian diikuti dengan serentetan tembakan lainnya ke arah rumah komandan, pos jaga, dan asrama tentara. Dalam sekejap seluruh serdadu di tangsi itu bangun dari tidurnya dan segera mengambil posisi stelling. Tanpa persiapan taktik dan persiapan diri (sarapan dan mandi), para serdadu KNIL yang justru terlihat wajah-wajah khas Indonesia itu saling bertanya dibenak mereka, siapakah yang berani-beraninya menyerang tangsi di pagi buta?
Aksi itu diiniasi oleh para pejuang yang tergabung dalam Badan Pejuang Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) yang memiliki wilayah operasi di sekitar Sambas, Singkawang, Bengkayang, hinga ke Mempawah. Di Kalimantan Barat sendiri, BPIKB termasuk organisasi kelaskaran yang cukup diperhitungkan oleh Belanda dan anteknya karena dianggap sebagai yang paling besar dengan jumlah anggota sekitar seribu orang dan terorganisir dengan baik. Berdiri sejak 13 November 1945, BPIKB menghimpun pemuda-pemuda republikan, ex-Kaigun Heiho, dan organisasi kelaskaran kecil lainnya untuk melawan Belanda melalui aksi-aksi sabotase, propaganda, spionase, dan aksi gerilya. Wan Abbas Mansyur dipercaya menjadi komandan BPIKB pertama, kemudian pada 1946 digantikan oleh wakilnya Bero Martosutikno, hingga kemudian berlanjut pada 1947-1949 dipimpin oleh Sarimin Minhad. Demikian Sarimin Minhad dan Usman Amin dalam Setetes Air di Padang Pasir: Sejarah Perjuangan Laskar BPIKB Afdeling Singkawang tahun 1945-1949 (2000).
BPIKB pantas diperhitungkan oleh Belanda karena aksinya yang menyulitkan keberadaan mereka. Dalam buku Revolusi Oktober 1946 di Kalimantan Barat (2019) misalnya, pada Oktober 1946 BPIKB merencanakan mengadakan pemberontakan di dua kota sekaligus yakni di Bengkayang dan Singkawang. Sebagai persiapan, Badan Pemberontak Republik Indonesia Antibar (BPRIA) Mempawah, yang telah terafiliasi dengan Pusat Komando BPIKB di Singkawang melakukan sabotase pembakaran jembatan yang menghubungkan ruas utama jalan raya Pontianak-Singkawang pada 14 September 1946. Aksi ini bertujuan untuk menyulitkan mobilisasi pasukan KNIL dari Pontianak, ditambah sejumlah ruas jalan juga sengaja dipalang oleh pejuang dengan pohon dan material untuk menghambat mereka. Puncaknya pada 8 Oktober 1946 Kota Bengkayang berhasil direbut oleh laskar BPIKB pimpinan Alianyang dan Bambang Ismoyo selama 20 jam. Sedangkan di Singkawang rencana itu gagal karena ketatnya penjagaan pasukan KNIL.
Pasca aksi di bulan Oktober 1946 tersebut, KNIL semakin giat melakukan aksi penumpasan terhadap para pejuang hingga akhirnya mendorong BPIKB bergerak secara bawah tanah dan menyingkir ke hutan untuk bergerilya. Beberapa pemimpinnya tidak sedikit yang berhasil dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Meskipun begitu, BPIKB tetap tidak mengendurkan aktivitasnya. Usaha-usaha untuk memperkuat pasukan terus dilakukan seperti mendatangkan senjata api dari Sarawak melalui Kesatuan Rakyat Indonesia Sarawak (KRIS), hingga mengadakan latihan-latihan. Hingga tahun 1948, BPIKB tinggal menyisakan Seksi Komando Utara di Jawai dan Seksi Komando Selatan di Sungai Kunyit, sedangkan Seksi Komando Timur di Bengkayang kekuatannya dianggap kurang memadai.
Seksi Komando Utara inilah yang pada 10 Januari 1949 melakukan serangan fajar ke tangsi KNIL di Sambas. Menariknya, rencana serangan ini disusun dalam tempo yang singkat. Para tokoh penting BPIKB seperti Sar’ie Mochtar H. Muksin, Sibu Saleh, Samiri H. Nalo, Tajudin, dan Alianyang, melakukan perundingan di sebuah Masjid di Desa Sempadian Tekarang. Hasilnya para tokoh itu sepakat untuk mengadakan penyerangan ke Sambas dan dipilihlah tangsi KNIL sebagai targetnya. Sejumlah persiapan dilakukan, pada 8 Januari 1949 pasukan yang sebelumnya telah berlatih dikumpulkan di Desa Sembuai (Kecamatan Sejangkung) dengan kekuatan 70 orang bersenjatakan puluhan senjata api berbagai jenis seperti LE dan Karabin. Sisanya bersenjatakan senapan lantak dan senjata tradisional. Berdasarkan kesepakatan, dipilihlah Alianyang sebagai komandan serangan. Pemilihan Alianyang sendiri dianggap tepat karena bagaimanapun juga ia telah berpengalaman dalam memimpin serangan serupa di Bengkayang pada 8 Oktober 1946.
Dengan jumlah kekuatan personil dan persenjataan yang disiapkan BPIKB, penyerangan agaknya tidak ditujukan untuk mengalahkan total pasukan setingkat satu kompi KNIL di tangsi itu. Melainkan sebagai bentuk perjuangan gerilya dengan maksud menciptakan kerugian sebesar mungkin di pihak musuh. BPIKB juga ingin membuktikan kepada KNIL bahwa mereka masih eksis dan berani, berbeda dari sangkaan yang selama ini dianggap terus melemah. Pada 9 Januari 1949 pasukan telah meninggalkan Sejangkung untuk menyusup masuk kota Sambas dan mengepung di titik-titik yang telah ditentukan di sekitar tangi KNIL.
Menurut rencana, penyerangan itu dibagi dalam tiga arah: serangan ke tangsi secara umum dipimpin oleh Alianyang, serangan ke rumah komadan dipimpin oleh Muchtar H. Muksin, dan serangan ke gedung asrama dipimpin oleh Sar’ie Dahlan. Memasuki dinihari tanggal 10 Januari 1949 pasukan telah berada di luar pagar tangsi dan bersiap untuk menanti aba-aba serangan dari Alianyang. Tepat pukul empat, Alianyang menbuka tembakan pertanda serangan ke tangsi dimulai. Para serdadu KNIL yang tidak pernah memperkirakan serangan ini dan sedang terlelap, segera terbangun penuh kebingungan. Setelah berhasil mengambil senjata, serdadu KNIL yang belum sempat mandi dan sarapan itu membalas tembakan laskar BPIKB namun tidak berani maju melakukan serangan balasan.
Gelapnya pagi menjadi penolong pasukan BPIKB untuk terus jual beli tembakan menghadapi tentara KNIL. Kurang lebih satu setengah jam kemudian atau pukul 05.30, seiring dengan hari yang mulai terang, Alianyang memerintahkan pasukannya untuk mundur dan kembali ke pos di Sejangkung. Serangan ini berhasil menewaskan 9 orang dari pihak mereka, sedangkan di pihak BPIKB tiga pejuangnya gugur antara lain: Zainuddin, Hasan, dan Saad. Bantuan kompi KNIL dari Singkawang didatangkan untuk mengintensifkan penumpasan pasukan BPIKB yang telah mundur.
Meskipun kerugian lebih besar diterima pihak KNIL dalam serangan fajar itu, namun dampak dari serangan ini memaksa BPIKB untuk mundur lebih dalam sembari bergerilya hingga mendekati perbatasan Malaysia. Beberapa pemimpin serangan akhirnya berhasil ditangkap, seperti Samiri H. Nalo. Selama gerak mundur itu, beberapa kali BPIKB harus menjalani pertempuran kecil karena disergap patroli KNIL, seperti pada 18 Januari 1949 di Kampung Acan, dekat perbatasan Sarawak. Di sisi lain patroli Inggris juga sering kontak senjata dengan gerilyawan karena mendekati perbatasan, sehingga memaksa sisa-sisa Pasukan BPIKB mundur hingga ke Tanjung Datu dan Camar Bulan. Di daerah itupun mereka kembali disergap oleh patroli KNIL pada 20 Maret 1949. Kondisi yang sulit ini memaksa mereka untuk terus melakukan gerak mundur dari kampung-kampung sembari mengkonsolidasikan kekuatan. “Patroli Belanda akan berpikir seribu kali untuk masuk ke dalam kampung yang lebih dalam dengan hutan-hutan yang lebat dan sulit dilalui, untuk bertahan untunglah banyak dibantu oleh para penduduk desa yang bersimpati dengan perjuangan kami”, kenang Sarimin Minhad.
Tentara Pelajar Dalam Palagan Sidobunder 1947
Pasukan Tentara Pelajar Sie I Kie III Det III di bawah pimpinan Rusmin Nurjadin yang anggotanya Sebagian besar pelajar SMA
(Sumber: http://djokja1945.blogspot.com/)
Oleh: Diki Kristiyadi
Sidobunder, suatu desa kecil di Kebumen yang pada tahun 1947 menjadi saksi pertempuran sengit antara Tentara Pelajar (TP) dengan Pasukan Belanda.
Gombong merupakan wilayah di Jawa Tengah bagian Selatan yang cukup strategis pada masa revolusi fisik. Pasca Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947, Gombong dan sekitarnya dikuasai oleh tentara Belanda. Menyadari arti penting Gombong, militer Indonesia berusaha untuk membatasi gerak tentara Belanda dan mengontrol wilayah di sekitar Gombong. Akan tetapi, ternyata justru tentara Belanda yang kemudian berhasil memperjauh jangkauannya dengan mendirikan pos militer di Desa Kemit, 4 km sebelah timur Gombong.
Untuk mengusir tentara Belanda dari Gombong, Tentara Pelajar (TP) Yogyakarta menugaskan Kompi 320 untuk bergabung dengan TNI Batalyon 62 di bawah Komandan Mayor Panuju yang berada di Karanganyar, Kebumen. Tidak berselang lama, datang pula Pasukan Pelajar Republik Indonesia Sulawesi (PERPIS) di bawah pimpinan Maulwi Saelan. Kedua kekuatan itu, baik TP maupun PERPIS kemudian ditugaskan untuk menempati wilayah Puring. Hal ini dilakukan karena pasukan Belanda di sebelah selatan Gombong telah sampai di wilayah Karangbolong.
Mayor Panuju kemudian memerintah TP untuk memindahkan pasukannya ke wilayah Desa Sugihwaras pada akhir Agustus 1947. Dalam perintahnya tersebut, Mayor Panuju juga menugaskan pada Komandan TP Sie 321 di bawah pimpinan Anggoro harus menduduki Desa Sidobunder terlebih dahulu dalam kondisi dan risiko apapun. Hal ini dilakukan karena posisi Desa Sidobunder sangat strategis.
Desa Sidobunder merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Sungai Kemit. Letaknya memanjang dari utara hingga selatan sehingga bisa digunakan sebagai benteng untuk melindungi wilayah Desa Sugihwaras. Walaupun demikian, sebenarnya desa Sidobunder adalah desa yang sangat tidak menguntungkan untuk dijadikan pertahanan karena berada di tengah areal persawahan luas dan terpisah dari desa lainnya.
Tuti Rahayu dalam skripsinya yang berjudul Pertempuran Sidobunder di Kebumen Tahun 1947 menuliskan bahwa setibanya di Sidobunder, TP Sie 321 yang berjumlah sekitar 60 orang kemudian menempati rumah Pak Kartowiyoto atau yang lebih dikenal dengan nama Pak Ponco. Rumah ini terletak di sebelah barat pertigaan Jalan Sidobunder. Untuk memperkuat posisi, maka di masing-masing jalan menuju pertigaan tersebut dibuat pos pertahanan tambahan agar markas utama bisa terlindungi ketika serangan musuh datang.
Malam hari tanggal 1 September 1947 terjadi hujan yang cukup deras. Menjelang tengah malam terdengar suara-suara yang mencurigakan. Selang beberapa waktu, datang 2 orang berpakaian jawa dengan membawa kopi dan singkong rebus untuk TP yang sedang berjaga. Namun, salah seorang anggota TP yang bisa berbahasa Jawa, kedua orang tersebut diminta untuk tidak usah menunggu. Mereka diduga merupakan orang suruhan Belanda yang bertujuan membunuh para anggota TP melalui singkong rebus yang telah diberi racun seperti yang terjadi pada 4 orang anggota TNI di Puring.
Tiba-tiba pada pagi hari tanggal 2 September 1947 terdengar rentetan suara tembakan. Hal ini membuat Anggoro terhenyak dan segera mencari informasi tentang apa yang terjadi. Setelah beberapa saat baru diketahui ternyata desa Sidobunder telah dikepung tentara Belanda dari berbagai arah. Posisi pertahanan di Sibodunber sudah terjepit dan sangat tidak menguntungkan
Anggoro kemudian memerintahkan pasukannya mundur ke arah timur, Gerakan mundur ini diawali pembagian tugas pertahanan kepada masing-masing regu. Regu I dibawah Djokomono diminta untuk menghadang musuh dari arah utara. Regu II dibawah Suryoharyono ditugasi untuk menghalau musuh dari arah selatan. Maulwi Saelan dan pasukannya ditugasi untuk menahan Belanda di arah timur. Sedangkan pasukan utama menahan Belanda dari arah barat sambal bergerak mundur.
Pergerakan mundur pasukan TP tersebut ternyata tidak berjalan mulus. Regu I dan II yang ditugasi untuk mempertahankan perimeter di utara dan selatan justru dengan mudah bisa ditembus oleh Belanda. Bahkan Belanda dengan leluasa bisa masuk ke segala penjuru desa dengan menyusup diantara tingginya alang-alang dan rimbunnya pepohonan. Kondisi ini membuat pasukan TP tercerai berai dan bertempur secara individu untuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Mereka kebanyakan berlari ke selatan desa yang ternyata adalah wilayah yang dikuasai Belanda.
Pertempuran yang berjalan seharian dalam kondisi tidak seimbang ini kemudian menimbulkan banyak korban jiwa baik bagi TP, KNIL, maupun warga sekitar. Dalam artikel berjudul Pertempuran Sidobunder di Kebumen tahun 1947 yang dimuat pada Jurnal Of Indonesian History Vol 4 No. 1 (2015), Retno Yuni Dewanti menyebutkan bahwa korban meninggal dari pihak TP adalah 25 orang, sedangkan korban dari pihak Belanda yang meninggal dalam pertempuran Sidobunder tidak dapat diketahui jumlahnya secara pasti. Kurang lebih sekitar empat puluh orang serdadu Belanda meninggal dalam Pertempuran Sidobunder dan Belanda kehilangan seorang kapten bernama Nex yang ditembak mati oleh La Sinrang.
Keesokan harinya diberangkatkan satu regu pasukan dari Kompi 320 untuk mengevakuasi para korban. Regu ini didampingi oleh beberapa TP dari Sie 321 yang berhasil menyelamatkan diri. Menurut Djokoewoerjo, seorang anggota TP Sie 321 yang ikut dalam regu evakuasi, kondisi korban sangatlah memprihatinkan. Djokowoerjo melihat dengan mata kepala sendiri kondisi dari Suryoharyono yang tertembak di kepala, Ridwan yang tertembus tiga butir peluru, Soehapto dengan muka penuh luka pecahan mortar, dan Willy Hoetaoeroek yang gugur dalam kondisi tertelungkup. Selain itu, dia juga mengenali beberapa teman lainnya yang juga telah meninggal seperti Djokomono, Pramono, Soegiyono, Poernomo, dan Ahmad.
Proses evakuasi akhirnya bisa dilakukan dengan susah payah karena kondisi desa yang dipenuhi air banjir. Jenazah para anggota TP diangkut dengan perahu-perahu kecil dari desa Bumiredjo dan Sidobunder untuk dibawa ke Karanganyar. Jenazah-jenazah yang kebanyakan adalah pelajar sekolah menengah di Yogyakarta ini kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta. Satu orang korban yaitu Willy Hoetahoroek dari PERPIS terpaksa dimakamkan di pemakaman Bumiredjo karena luka-lukanya. Sementara itu, Pak Kartowiyoto dan warga masyarakat yang turut menjadi korban dimakamkan di pemakaman Desa Sidobunder.
Pertempuran Sidobunder menjadi salah satu yang terhebat dalam catatan sejarah TP di Indonesia. Konon, akibat pertempuran ini, Martono, Komandan Batalyon 300 yang merupakan induk pasukan TP Yogyakarta dipanggil oleh Jenderal Soedirman. Martono diberi peringatan keras agar TP tidak lagi bertempur secara frontal dengan Belanda. Pun jika harus bertempur langsung dengan Belanda, maka diusahakan tidak dalam jarak dekat seperti yang terjadi di Desa Sidobunder.