Jejak Misionaris Amerika di Bogor Diawal Abad ke-20

Otto Carlson misionaris Methodist yang dikirim ke Bogor pada 1908, dan 

bertugas di Anglo Chinese hingga 1909.

  Sumber: Elizabet Harper Brooks  

Oleh: Yogi Fitra Firdaus | Rohaniawan GKI Anugerah Bandung


Gairah penginjilan kepada masyarakat Tionghoa di Hindia-Belanda awal abad ke-20 semakin meningkat. Karya misi kepada etnis Tionghoa ini dilakukan secara serius oleh Board Foreign Mission dari Gereja Methodist yang sebelumnya telah hadir di Semenanjung Malaya. Pada masa ini pewartaan Injil di Jawa tidak hanya didominasi oleh zendeling Belanda tetapi juga para misionaris dari  Amerika. 

J. R. Denyes menjadi utusan Methodist pertama di Pulau Jawa, awalnya ia memilih Batavia sebagai tempat berkarya karena dekat dengan pusat pemerintahan Hindia Belada. Namun, pada kelanjutannya pusat misi Methodist tersebut dipindahkan ke Buitenzorg (Bogor) yang tidak jauh dari Batavia. Pekabaran Injil di kota Bogor ini mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat Tionghoa terutama setelah dibukanya sekolah berbahasa Inggris pada tahun 1906. Bahkan penginjilan di wilayah ini sempat menyasar masyarakat Sunda yang ada di Tjisaroea, terbukti dalam Minutes of Fifteenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1908 dituliskan bahwa pada tahun 1907 telah dibangun gereja sederhana bagi orang-orang Sunda di Tjisaroea. Jemaat Sunda ini dilayani oleh Buchanan yang juga berasal dari Amerika.

Meskipun berperan penting dalam menyebarkan kekristenan di Bogor dan sekitarnya kisah para misionaris Amerika ini jarang sekali diulas dalam buku-buku sejarah gereja di Indonesia. Buku-buku Sejarah gereja di Indonesia mayoritas masih ditulis oleh orang-orang Belanda dan mengutamakan sejarah misi yang dilakukan badan-badan zending dari negeri tersebut. Oleh sebab itu penulis berupaya secara singkat mengulas karya misionaris Amerika di Buitnezorg tahun 1905-1909.


Kedatangan Misionaris Pertama di Batavia

“Di Batavia saya berjumpa dengan mantan murid-murid saya di Singapura, setidaknya ada sepuluh orang yang tinggal di kota ini. Hanya satu yang beragama Kristen tetapi mereka semua adalah keluarga yang baik.” Demikianlah kesaksian dari John Russel Denyes seperti yang dikutip oleh Elizabeth Harper Brooks dalam bukunya Java and It’s Challenge (1911:99).

Sebelum diutus ke Jawa, J. R. Denyes merupakan seorang misionaris dari Gereja Methodist Amerika yang bekerja di Anglo-Chinese School Singapura. Sejak tahun 1885, Gereja Methodist Amerika memang telah membuka karya misi di Semananjung Malaya dan Singapura. Di kedua wilayah jajahan Inggris ini, mereka membuka banyak sekolah untuk penduduk setempat. Masih menurut buku yang sama, di Singapura itu lah Denyes berjumpa dengan siswa-siswa yang berasal dari Jawa yang memintanya untuk membuka misi Methodist di daerah asal mereka (1911:85).

Pada saat pertama kali menginjakkan kaki di Batavia pada 16 Maret 1905 sebetulnya Denyes tidak sendirian. Dia datang bersama dengan B. F. West seorang Disctrict Superintendent Gereja Methodist di Singapura, mereka berdua diutus oleh Bishop Oldham untuk meninjau terlebih dahulu calon mission station di Tanah Jawa. Berdasarkan catatan Minutes of Fourteenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1906, sebelum memutuskan Batavia sebagai pusat misi Methodist di Jawa, mereka sempat mengunjungi Surabaya, Lawang, Mojowarno, Semarang dan Yogyakarta.

Di dalam laporan mereka kepada Konferensi Tahunan Gereja Methodist di Malaysia tahun 1906, Ada beberapa alasan yang membuat mereka memilih Batavia sebagai pusat kegiatan misi diantaranya: masyarakat Tionghoa di Batavia sudah tidak keukeuh memegang budaya leluhur mereka, memudahkan kontak dengan Gereja Methodist di Malaysia, Batavia menjadi pusat pemerintah Hindia Belanda dan selain itu orang-orang Tionghoa di sini kebanyakan berbahasa Melayu, bahasa yang sudah dikuasai oleh Denyes selama melayani di Singapura. Maka atas pertimbangan tersebut maka Denyes mengajukan izin kepada pemerintah untuk melakukan penginjilan kepada masyarakat Tionghoa di Batavia.

Sembari menunggu keluarnya izin dari pemerintah, setiap Minggu Denyes melayani kebaktian bagi jemaat berbahasa Inggris di Batavia. Di dalam suratnya kepada pimpinan distrik Singapura Denyes menyebut jemaat ini sebagai “has been small, but there has been some spiritual advance”. Denyes merasa iba ketika menyaksikan bahwa gereja ini tidak memiliki pendeta dan mengalami kesulitan dana.

Menurut Adolf Heukeun dalam Gereja-gereja tua di Jakarta (2003:173), gereja berbahasa Inggris di Batavia tersebut adalah peninggalan Walter Henry Medhurst seorang utusan London Missionary Society.  Melalui tulisannya William Ellis mengatakan bahwa ketika berada di Batavia, pada tahun 1822 Medhurst menyelenggarakan kebaktian bagi orang-orang Inggris dan membangun panti asuhan. Selain itu ia juga gemar melakukan penginjilan kepada masyarakat Tionghoa baik di Batavia maupun tempat-tempat lain (The History of The London Missionary Society, 1884:546).


Dari Batavia ke Buitenzorg. 

Setelah satu bulan berada di Batavia, J. R. Denyes sempat pulang ke Singapura untuk menjemput keluarganya. Sekembalinya ke Batavia pada Juli 1905, ternyata cuaca di Batavia dirasa tidak begitu bersahabat bagi Denyes beserta keluarganya. Hal ini memaksanya untuk pindah ke Buitenzorg yang memiliki hawa lebih sejuk. “Pekerjaan di Jawa sesungguhnya baru dimulai pada 23 Juli 1905, ketika saya kembali dari Singapura untuk menjemput istri dan anak-anak. Tetapi kali ini saya harus berpindah tempat dari Batavia ke Buitenzorg demi alasan kesehatan.” Ungkapnya dalam laporan kepada konferensi Gereja Methodist di Malaysia tahun 1906.

Di Buitenzorg juga lah Denyes memetik buah pertama dari penginjilannya. Bermula dari perjumpaannya dengan Pang Ek Poi seorang peranakan Tionghoa yang bersedia menjadi guru bahasa Belanda baginya. Sebagai balas budi, Denyes mau mengajarkan bahasa Inggris kepada Ek Poi dengan syarat menggunakan Alkitab dan juga The Methodist Hymnal sebagai bahan ajarnya. Lagu “Jesus Loves me this I know” menjadi lagu pertama yang dipelajari oleh sepasang suami istri Tionghoa tersebut. Di dalam ceritanya kepada Elizabeth Harpers Brooks, Mrs. Denyes mengatakan “Itu adalah musik termanis yang pernah dia dengarkan selama berbulan-bulan di Jawa”. Mary Owens Denyes, sang istri juga memiliki peran penting dalam penginjilan kepada kaum perempuan Tionghoa di Bogor.  Ternyata strategi ini membuahkan, Pang Ek Poi dan istrinya Tan Si Cheng memutuskan untuk menjadi Kristen. “Nampaknya misi Methodist di kota ini membangkitkan harapan.” Tulis Brooks.

Setelah pembaptisan Pang Ek Poi dan Tan Si Cheng ini, misi Methodist di Bogor terus mendapatkan sambutan hangat dari kalangan masyarakat Tionghoa. Rencana pun berubah pusat misi yang awalnya akan berada di Batavia kini beralih ke Bogor. Lagi pula bagi Denyes Batavia bukanlah tempat yang sulit dijangkau dari kota ini, buktinya setiap Minggu ia masih bisa pergi ke Batavia dengan menggunakan kereta api untuk melayani jemaat berbahasa Inggris di sana.


Gereja Methodist Pertama di Jawa

J. R. Denyes, Mary Owen Denyes, beserta anak-anak mereka.

Sumber: Elizabeth Harper Brooks.

Mulai 05 November 1905 secara resmi terbentuk Gereja Methodist pertama di Jawa dan berada di bawah distrik Singapura. Jemaat mula-mula terdiri atas empat pria dan dua wanita Tionghoa. Setelah itu bertambah lagi empat orang pria Tionghoa sehingga berjumlah sepuluh orang. Untuk sementara waktu kebaktian menggunakan tempat tinggal Denyes, tetapi selanjutnya mereka menyewa sebuah bangunan di tengah Pecinan Bogor. 

Semenjak pindah ke Pecinan jumlah pengunjung kebaktian pun meningkat menjadi tiga puluh orang Tionghoa, terdiri dari dua puluh pria dan sepuluh perempuan. Melalui suratnya kepada Konferensi Pittsburgh Denyes mengatakan, “Kebaktian dilaksanakan setiap Senin, Rabu, Jumat dan Minggu malam. Ketika saya dan Mrs. Denyes tiba di gereja pada pukul. 19.15, mereka sudah berkumpul untuk menyambut kami. Seperti biasa kami akan saling berjabat tangan dan menanyakan kondisi kesehatan dan keadaan keluarga.”

Ibadah dimulai dengan doa dan nyanyian setelah itu jemaat dipisahkan berdasarkan gender. Para perempuan mendapatkan pelajaran membaca dan cerita Alkitab dari Mrs. Denyes sedangkan Mr. Denyes mengajarkan katekismus kepada kaum pria. Menurut Denyes kebanyakan pria yang menghadiri pertemuan ibadah adalah para ahli mekanik atau penjaga toko sehingga mereka mampu dua hingga tiga bahasa. Selesai pertemuan kelompok mereka akan kembali ke ruangan utama untuk menyanyikan lagu terakhir sekaligus menaikan doa penutup.


Karya Pendidikan dan Kemunduran di Bogor

Misi Methodist selalu identik dengan pendidikan. Mereka membuka sekolah-sekolah berbahasa Inggris sebagai alat untuk “menjala manusia”. Seperti halnya di Singapura atau Malaysia, dibuka juga Anglo-Chinese School di Buitenzorg pada 1 Juli 1906. Sebelumnya Mrs. Denyes telah membuka “Women Training School” untuk mempersiapkan para perempuan sebagai pengabar Injil juga khususnya bagi sesama orang Tionghoa atau suku lainnya. 

Anglo-Chinese School dibuka dengan enam orang murid dan sekolah ini diasuh oleh Mrs. Godwin seorang perempuan Inggris. Namun penyakit yang diderita mengharuskannya untuk kembali ke kampung halaman. Sepeninggal Godwin, Unosuki Ogawa seorang guru berkebangsaan Jepang diutus ke Buitenzorg setelah sebelumnya bekerja di Singapura. Berdasarkan catatan  Minutes of Sixteenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1908, pada masa ini Anglo Chinese School mengalami tantangan hebat karena dana di kas misi tidak cukup untuk membiayai sekolah.

Tak disangka kabar baik datang, seorang hartawan bernama Tan Guan Huat memberikan tawaran kepada Denyes. Ia bersedia membiayai seorang guru asal langsung didatangkan dari Amerika. Tuan Tan berkeinginan agar puteranya mendapatkan pendidikan ala Barat. Maka untuk menindaklanjutinya Bishop Oldhan pimpinan Gereja Methodist Malaysia mengirim Mr. Otto A. Carlson ke Buitenzorg untuk menjadi kepala Anglo-Chinese School. 

Di bawah kepemimpinan Mr. Carlson, sekolah tersebut berkembang dengan baik. Sekolah ini juga menerima anak-anak miskin untuk dapat belajar. Metode pendidikan dirasa cukup ampuh untuk menjangkau anak-anak Tionghoa, beberapa diantara mereka berhasil dibawa ke Sekolah Minggu di Gereja Methodist. Selain sebagai pengasuh sekolah, ia juga menjadi misionaris bagi orang-orang Sunda di Cisarua dan Ciampea dimana telah didirikan juga sekolah-sekolah dalam bahasa Melayu. Sayangnya setelah satu tahun berada di Buitenzorg, Mr. Carlson harus kembali ke Amerika dengan alasan kesehatan. April 1909 ia meninggal di Colombo pada saat perjalanan pulang ke Amerika. Penyakit disentri membuat misionaris itu tidak berhasil mencapai negeri asalnya.

Berdasarkan data statistik dari Minutes of Seventeenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1909 jumlah murid sekolah Methodist di Buitenzorg berjumlah dua puluh orang dengan dua orang guru. Mr. dan Mrs. B. J. Baughman dipilih untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan Mr. Carlson. Seperti yang sudah-sudah pasangan suami-istri asal Michigan ini pun pernah menjadi guru di Anglo-Chinese School Singapura. Pada  masa kepemimpinan mereka terjadi sebuah terobosan dengan membuka “The Boys’ Boarding School of Buitenzorg”.

Meskipun sempat berkembang, pada kelanjutannya Anglo-Chinese School Buitenzorg mengalami kemunduran. Alasannya perkumpulan politik dan kebudayaan masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda yaitu Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) telah membuka sekolah di kota yang sama. lebih banyak menarik minat orang-orang Tionghoa karena lebih murah. “Imbasnya murid-murid sekolah Methodist banyak yang berpindah ke THHK” Catat Minutes of Twenty-Third Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1915.

Ironis memang sebab tidak lama setelah kedatangannya di Batavia, Mr. Denyes mengikat kerjasama dengan Tiong Hoa Hwee Koan dalam bidang pendidikan. Misi Methodist bersedia menyediakan guru bahasa Inggris untuk sekolah-sekolah THHK dan lembaga pergerakan politik Tionghoa itu menyanggupi gaji para misionaris Amerika. Dengan cara ini badan misi dapat menghemat biaya hidup misionaris dan para murid THHK bisa mengetahui keunggulan agama Kristen. Namun dugaannya meleset, setelah sepuluh tahun kehadiran bayak misionaris di sekolah THHK ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat itu sedang bangkit Nasionalisme Tiongkok dan ajaran Neo-Konfusianisme yang dipromosikan oleh THHK. Mereka meninginkan guru-guru Barat yang berkualitas tetapi tidak ingin generasi mudanya menjadi Kristen. Oleh sebab itu kerjasama itu pun disudahi pada tahun 1927 seiringg ditutupnya misi Methodist di Pulau Jawa.


Sumber Pustaka

Dokumen:

Minutes of Fourteenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1906

Minutes of Fifteenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1907

Minutes of Sixteenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1908

Minutes of Seventeenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1909

Minutes of Eighteenth Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1910

Minutes of Twenty-Third Session of The Malaysia Conference of The Methodist Episcopal Church 1915

 

Buku:

Brooks, Elizabeth Harper. Java and It’s Challenge. Pittsburgh Young    Conference: Pittsburgh, 1911. 

Ellis, William. The History of The London Missionary Society. London: John   Snow, 1844.

Heukeun, Adolf. Gereja-gereja tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta   Loka Caraka, 2003.



0 Comments:

Post a Comment