Pangeran Kuning Dan Perjuangannya Melawan Belanda di Sintang

Tugu Pangeran Kuning di Sintang
Sumber: K. Juniardi, 2022

 Oleh: Karel Juniardi | Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak

Pangeran yang bernama asli Ade Hasan ini bersumpah akan melawan Belanda sampai akhir hayat, bahkan ulat di jasadnya pun kelak tak sudi bertemu Belanda.

Bagi masyarakat Sintang, nama Pangeran Kuning sudah tidak asing lagi karena dikenal sebagai pejuang yang gigih menentang penjajah Belanda di wilayah Kerajaan Sintang pada pertengahan abad ke-19 M. Pangeran Kuning yang lahir pada tahun 1759 M dan masih keturunan bangsawan Kerajaan Sintang karena ayahnya yang bernama Raden Machmud adalah seorang Pangeran Mangkubumi di Kerajaan Sintang yang bergelar Mangku Negara  II. Raden Machmud sendiri merupakan saudara dari penguasa Kerajaan Sintang yang bernama Sultan Abdurrasyid. Raden Machmud dan Sultan Abdurrasyid adalah anak dari Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin, penguasa Kerajaan Sintang sebelum Sultan Abdurrasyid. Setelah Sultan Abdurrasyid meninggal dunia, kedudukannya diganti oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Ratu Ahmad Qamaruddin (Purba, 2001).

Pangeran Kuning memiliki nama asli yakni Ade Hasan, merupakan anak pertama dari enam bersaudara dan dari keluarga yang taat beragama. Hal ini dapat dilihat dari sosok kakek Pangeran Kuning yaitu Sultan Abdurrachman Muhammad Jalaluddin yang dikenal sebagai seorang yang taat beragama dan selalu memberi perhatian dalam mengembangkan agama Islam di Kerajaan Sintang. Sejak kecil Pangeran Kuning menimba ilmu agama dan silat dari Rajo Dangki (meninggal di Sintang pada tahun 1773 M) yang merupakan seorang penyebar agama Islam atau mubaligh di Kerajaan Sintang yang berasal dari Pagarruyung Sumatera Barat.

Dari hasil didikan gurunya itulah maka Pangeran Kuning dikenal sebagai sosok yang berani, ulet, jujur, dan mempunyai kepribadian yang baik. Konon katanya, ia dinamai Pangeran Kuning karena warna kulitnya yang agak kekuning-kuningan sehingga orang mengenalnya sebagai Pangeran Kuning. Setelah dewasa Pangeran Kuning kemudian menikah dan dikaruniai tiga orang anak, dimana salah seorang anaknya bernama Abang Arip yang bergelar Pangeran Muda. Sebagai seorang pejabat di Kerajaan Sintang, Pangeran Kuning dan keluarganya diberikan tanggung jawab oleh Raja Sintang untuk membantu pemerintahan Kerajaan Sintang. Pangeran Kuning menjadi seorang pejabat di Kerajaan Sintang dan Pangeran Muda mendapat jabatan sebagai pemimpin daerah Ketungau yang bertugas menjaga keamanan dan memungut pajak penduduk guna kepentingan Kerajaan Sintang. Setelah dari Ketungau, Pangeran Muda kemudian dipindah ke daerah Kayan. 

Foto Makam Rajo Dangki di Sintang, beliau adalah guru agama Pangeran Kuning. Sumber: K. Juniardi, 2022

Semenjak kedatangan Belanda di Kerajaan Sintang dan membuat perjanjian dengan Raja Sintang, Pangeran Kuning memutuskan mengundurkan diri sebagai pejabat di Kerajaan Sintang karena ia tidak menyetujui adanya perjanjian antara Raja Sintang dan Belanda. Meskipun telah mengundurkan diri sebagai pejabat kerajaan, Pangeran Kuning tetap peduli dengan nasib Sintang dan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya usaha untuk melawan Belanda di Kerajaan Sintang di kemudian hari. Menurut cerita, Pangeran Kuning mengatakan sampai mati pun, ulat ditubuhnya sendiri pun tidak rela bertemu dengan orang Belanda.

Sikap ketidaksukaan Pangeran Kuning terhadap Belanda di Sintang sangat beralasan. Sejak kedatangan Belanda pertama kali ke Kerajaan Sintang pada bulan Juli 1822 yang dipimpin Komisaris dari Westkust van Borneo yaitu Mr. J. H. Tobias. Hingga kedatangan Belanda selanjutnya di bulan November 1822 yang dipimpin oleh Pejabat Tinggi D. J. van Dungen Cronovius yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak Syarif Ahmad Al-Qadri, dengan tujuan semula hendak menjalin kerjasama antara Belanda dan Kerajaan Sintang. Namun perjanjian tersebut dinilai banyak merugikan Kerajaan Sintang. Belanda dianggap menggunakan akal licik mengelabui penguasa dan rakyat Kerajaan Sintang. Sampai akhirnya melalui berbagai perjanjian/kontrak yang diadakan, Belanda mampu menggeser kedudukan Raja Sintang yang semula sebagai penguasa berubah menjadi di bawah kekuasaan Belanda (Lisyawati, 1995). 

Beberapa perjanjian/kontrak yang dibuat antara pihak Belanda dan Kerajaan Sintang antara lain, pertama, Kontrak Sementara (November 1822) yang berisi tawaran persahabatan antara Kerajaan Sintang dan Belanda yang diperkuat dengan pernyataan bahwa Raja Sintang membenarkan keberadaan orang-orang kulit putih untuk tinggal di Sintang. Kedua, Kontrak Tetap (24 November 1823) yang berisi perjanjian mengenai kewenangan pemerintahan. Ketiga, Kontrak Ketiga (2 Desember 1832) yang berisi bahwa Belanda telah mencantumkan hak mereka untuk dapat ikut campur dalam pemerintahan Kerajaan Sintang. Keempat, Kontrak Keempat (19 November 1847) yang penandatanganan perjanjiannya dilaksanakan di Pontianak menyepakati bahwa Kerajaan Sintang dan menteri-menterinya dilarang untuk mengadakan hubungan dengan orang kulit putih atau bangsa lain. Perjanjian ini diikuti dengan pengangkatan seorang Asisten Residen Sintang disertai dengan didatangkannya serdadu yang lebih kuat ke Sintang. Serta kelima, Kontrak Panjang (31 Maret 1855) yang berisi hak pemerintah Hindia-Belanda atas tanah sebelah barat Pulau Borneo dan pelarangan Kerajaan Sintang untuk mengadakan hubungan dengan negara lain, serta kekuasaan penuh atas kehidupan Kerajaan Sintang di segala bidang, baik politik, ekonomi, hukum, dan sosial, serta penghapusan perjanjian-perjanjian sebelumnya. Kontrak Panjang ini menandakan tidak berlakunya lagi hak dan kekuasaan Undang-Undang Kerajaan Sintang yang berdasarkan ajaran Islam (Andre, dkk, 2008).

Pangeran Kuning menilai bahwa berbagai perjanjian kerja sama antara Raja Sintang dan Belanda banyak merugikan pihak Kerajaan Sintang. Oleh karenanya, ia segera mengambil sikap menentang perjanjian-perjanjian tersebut. Pangeran Kuning rela menerima dirinya danggap sebagai pemberontak yang menghalangi setiap kebijakan yang dibuat oleh penguasa Sintang dan Belanda.

Untuk menghadapi Belanda, Pangeran Kuning dan pengikutnya mengadakan pertemuan guna menyusun strategi. Hasil pertemuan menghasilkan kesepakatan antara lain bahwa Pangeran Kuning dan pengikutnya tidak akan bekerja sama dengan pihak Belanda dan siap menentang pihak Belanda yang dianggap telah banyak membuat kesengsaraan rakyat. Bagi Pangeran Kuning dan pengikutnya, dikatakan lebih baik mati daripada hidup terjajah. Setelah pertemuan itu, Pangeran Kuning menempatkan diri di Kampung Menyurai dengan tetap membuat kontak dengan pengikutnya untuk memastikan semua strategi perlawanan berjalan lancar. Ternyata tindakan penentangan Pangeran Kuning ini diketahui pihak Belanda. Pangeran Kuning tidak hanya berpangku tangan dalam menghadapi Belanda. Ia dibantu Pangeran Idris, Pangeran Anom serta dibantu pemuka adat mencoba menghalangi Belanda dalam melaksanakan kontrak barunya dengan Kerajaan Sintang dengan cara membuat kekacauan di daerah Kayan.

Adanya kekacauan di daerah Kayan yang dilakukan Pangeran Kuning dan pengikutnya menyebabkan Belanda mendatangkan pasukan tambahan sebanyak 146 orang di bawah pimpinan Kapten van Hoey Scholhouwer pada bulan Juli 1856. Datangnya pasukan Belanda dimaksudkan untuk mengamankan Raja Sintang dan kedudukan Belanda di Kerajaan Sintang.

Menanggapi hal itu, Pangeran Kuning kemudian mengatur strategi untuk menyerang benteng Belanda di Tanah Tanjung. Setelah strategi ditetapkan, maka pada malam hari tanggal 5 Oktober 1856, anak buah Pangeran Anom dan Pangeran Muda berkumpul di Kampung Menyurai untuk menunggu komando dari Pangeran Kuning. Siasat mereka adalah akan menyerang dari dua arah, yaitu pasukan Pangeran Muda menyerang dari arah darat sedangkan pasukan Pangeran Anom menyerang dari arah muara Sungai Tanjung.

Serangan pertama dari Pangeran Kuning dan pengikutnya terhadap Belanda pada tahun 1856 itu membuat pasukan Belanda terkejut, dan bahkan mengakibatkan terbunuhnya perwira berpangkat Luitnan (letnan) Belanda. Berita terbunuhnya Luitnan Belanda oleh pasukan Pangeran Kuning dan pengikutnya tersebar ke seluruh pelosok. Rakyat terkagum-kagum dengan kekuatan pasukan Pangeran Kuning yang walaupun menggunakan senjata yang tidak selengkap pasukan Belanda namun berhasil membuat pasukan Belanda kewalahan.

Setelah berhasil melakukan serangan pertamanya, Pangeran Kuning mengirim berita kepada Pangeran Idris di Kayan untuk segera mengatur kekuatan karena ia berencana akan melakukan serangan kedua terhadap kedudukan Belanda pada 11 November 1856. Pangeran Idris diperintahkan untuk mengumpulkan pasukan tambahan dan menjadikan daerah Kayan sebagai tempat persembunyian. Tepat pada tanggal 11 November 1856, di bawah komando Pangeran Kuning, Pangeran Anom, dan Pangeran Muda melakukan pengepungan benteng Belanda di Tanah Tanjung. Namun, kali ini benteng Belanda di Tanah Tanjung telah diperkuat penjagaannya sehingga gagal dikuasai oleh pasukan Pangeran Kuning.

Pasukan Belanda kemudian membalas serangan pasukan Pangeran Kuning dan pengikutnya dengan cara membakar tempat-tempat yang dicurigai seperti rumah Pangeran Kuning di Kampung Menyurai dan kubu-kubu pertahanan pasukan Pangeran Kuning. Meskipun ada serangan balasan dari pasukan Belanda, penyerangan yang dilakukan Pangeran Kuning dan pengikutnya untuk mengganggu kedudukan Belanda di Kerajaan Sintang tetap berlanjut hingga 12 November 1856.

Perlawanan yang dilakukan Pangeran Kuning dan pengikutnya terhadap kedudukan Belanda di Kerajaan Sintang membuat Asisten Residen van Gaffron meminta bantuan pasukan kepada Residen West Kust van Borneo. Sehingga pada tanggal 15 November 1856 datang bantuan pasukan Belanda berjumlah 75 orang dan tanggal 25 Desember 1856 datang lagi bantuan pasukan Belanda sebanyak 40 orang dari Pontianak untuk memperkuat kedudukan Belanda di Kerajaan Sintang.

Setelah datangnya pasukan bantuan dari Pontianak, Belanda berusaha untuk menangkap Pangeran Kuning dan pengikutnya namun tidak berhasil, sehingga Belanda mengalihkan perhatiannya ke daerah Kayan yang menjadi tempat Pangeran Idris. Belanda menuduh Pangeran Idris sebagai dalang dari semua penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Kerajaan Sintang dan berupaya menangkap Pangeran Idris. Hasilnya adalah pada tanggal 4 Januari 1857, Pangeran Idris berhasil ditangkap Belanda dan diasingkan ke Karawang, Jawa Barat.

Mengetahui adiknya telah ditangkap, Pangeran Kuning menjadi semakin bertekad meneruskan perjuangan melawan Belanda. Pangeran Kuning mengajak kepada seluruh Kepala Suku Dayak di Kayan untuk bersatu melawan Belanda karena ia yakin bahwa tanpa adanya persatuan, perjuangan tidak akan berhasil. Pangeran Kuning berjanji akan terus berjuang mengusir penjajah hingga akhir hayatnya.

Pada saat Pangeran Kuning dan pengikutnya sedang gencar melakukan perlawanan, Pangeran Kuning meninggal dunia karena sakit pada tahun 1857 Masehi. Hal ini membuat semua pengikutnya terpukul karena kehilangan sosok pemimpinnya. Beliau dimakamkan di tempat terakhirnya berada yaitu di markas pertahanan Pangeran Kuning dan pengikutnya di daerah Sedaga, Kayan Hulu. Setelah Pangeran Kuning wafat, perlawanan rakyat Kerajaan Sintang terhadap Belanda dilakukan di bawah pimpinan Pangeran Muda dan Pangeran Anom.

Pangeran Kuning merupakan tokoh yang berani dan mempunyai rasa cinta pada tanah airnya. Ia bersama pengikutnya berani melakukan perlawanan terhadap Belanda yang telah berlaku sewenang-wenang terhadap Kerajaan Sintang dan rakyatnya. Walaupun pada akhirnya Pangeran Kuning meninggal dunia karena sakit di medan perjuangan, namun jasa-jasanya akan terus dikenang sebagai salah satu tokoh pejuang dari Kalimantan Barat. Generasi muda sebagai generasi penerus hendaknya dapat mengambil teladan dari sikap kepribadian dan tindakan Pangeran Kuning semasa hidupnya.

Referensi:
Andre, WP, dkk, 2008. Peta Tematik Kebudayaan Dan Sejarah Pemerintahan Kalimantan Barat.Pontianak: Depbudpar.
Lisyawati, N. Pendataan Sejarah Kerajaan Sintang. Pontianak: BKSNT Pontianak.
Purba, J. 2001. Perjuangan Pangeran Kuning Dalam Menentang Penjajahan Di Kabupaten Sintang. Pontianak: Tidak diterbitkan.



0 Comments:

Post a Comment