ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Sungai Siak, Nadi Penghubung Pantai Barat-Timur Sumatera

Pelabuhan Pekanbaru di tepi Sungai Siak, tahun 1930.
(Sumber: Digital Collection Universiteit Leidein)

 Oleh: Bayu Amde Winata | Penulis Sejarah dan Heritage Pekanbaru

Sungai Siak menjadi saksi peperangan hebat dan pesatnya perdagangan kesultanan Siak di sekitar abad 17-18 M, hingga didirikanlah sebuah kota baru bernama Pekanbaru.

Pada pukul 9 malam, 16 Juni 1761 Raja Alam masuk ke Mempura, pergerakannya terhambat oleh benteng pertahanan yang disiapkan oleh pasukan Raja Ismail. Perang sengit merebut Mempura, ibukota Kerajaan Siak berlangsung hingga pukul 11 siang esoknya 17 Juni 1761. Pada tanggal itu, Raja Alam berhasil memukul mundur pasukan Raja Ismail dan Kerajaan Siak direbut oleh Raja Alam. Dari perang pada bulan Juni 1761, 25 pasukan VOC meninggal dunia, dan 30 orang luka berat. Dari pihak Raja Ismail, Sultan III Kerajaan Siak, kapal-kapal perang kerajaan Siak dalam kondisi rusak parah dan meninggalkan 103 meriam berbagai ukuran. 

Dalam catatan Van Den Parra bertarikh 31 Desember 1761, yang dimuat dalam Generale Missiven van Gouvernours Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oost Indische Compagnie, Kapal Pasgeld yang dinahkodai Raja Alam mengalami kerusakan sangat parah. Sebagian dari kapal sudah tenggelam ke sungai, kapal ini dihujani 109 tembakan meriam dari Kerajaan Siak. Setelah ibukota Kerajaan Siak yaitu Mempura berhasil direbut, Raja Alam atau Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah (1761-1766) menjadi Raja IV Kerajaan Siak menggantikan Raja Ismail. Beliau kemudian meninggalkan Mempura menuju Siantan (sekarang menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau). 

Dalam Tuhfat An Nafis buku karangan Raja Ali Haji, perang antara Raja Alam dan pasukan Raja Ismail dinarasikan, dengan bunyinya: 

Hatta, sekira kira enam belas hari, maka banyaklah kelengkapan Siak itu rosak hingga kenaikan Raja Ismail pun tenggelam dan segala batangan dan jojol pun habislah dicabut Holanda. Maka larilah yang Dipertuan Raja Ismail itu ke darat ke dalam kubunya. Maka dilanggar pula oleh Holanda kubu itu dinaikkannnya dengan baris serdadu. Maka Yang Dipertuan Raja Ismail pun larilah serta saudara saudaranya menuju ke sebelah Riau

Karena wilayah Kerajaan Siak dianggap sudah aman oleh VOC, Gubernur Malaka David Boelen (1758-1764), pada surat yang ditulis pada bulan Maret 1762, memberikan  izin kapal yang berlayar dari Pulau Jawa sebanyak tiga kapal dari Batavia, dua dari pantai timur Pulau Jawa, dan satu dari Cirebon untuk berdagang dengan Kerajaan Siak. Surat dari Gubernur Jendral Malaka ini ditulis pada Generale Missiven van Gouverneurs Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oost Indische Compagnie. Perdagangan Kerajaan Siak mulai pulih setelah perang yang terjadi pada tahun 1759 hingga 1761. 

Setelah menjadi Raja IV Kerajaan Siak, Raja Alam , antara  bulan Juli sampai September 1763 masuk ke Petapahan bersama para prajuritnya untuk melakukan perundingan dengan Datuk Bendahara, Petapahan merupakan wilayah yang berada di hulu Sungai Siak. Sejak pertengahan abad ke 17, Petapahan menjadi pelabuhan penting dari Kerajaan Johor. Timothy P Barnard dalam bukunya berjudul Multiple Centers of Authority: Society and Environment in Siak and Eastern Sumatra 1674-1827 menuliskan Perjalanan Raja Alam menuju Petapahan. Raja Alam  “memaksa” Datuk Bendahara untuk bersedia menjadi bagian kerajaan Siak, dengan kepiawaiannya dalam bernegosiasi, di Petapahan terjadi perjanjian antara Raja Alam dengan Datuk Bendahara Petapahan. Datuk Bendahara meminta bantuan pada VOC karena merasa terancam dengan armada Raja Alam, tetapi VOC tidak menanggapi permintaan ini.  

Generale Missiven van Gouverneurs Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oost Indische Compagnie menuliskan pada surat dari Van Den Parra bertarikh 31 Desember 1765,  VOC melihat bahwa Raja Alam merupakan sekutu yang penting bagi perdagangan mereka di Selat Malaka. Bahkan, VOC meminta Datuk Bendahara Petapahan untuk membangun persahabatan dengan Raja Alam dan anaknya Yang Dipertuan Muda Muhammad Ali.

Dari perjanjian di Petapahan  kapal- kapal yang membawa hasil bumi seperti timah, emas, dan merica dari Petapahan sebelum menuju Melaka singgah dahulu di Senapelan. Raja Alam pun memindahkan ibukota Kerajaan Siak dari Mempura menuju Senapelan pada bulan Juli 1763. Tujuan pemindahan ibukota kerajaan untuk mendekatkan kerajaan dengan pelabuhan dalam di Sumatera, yaitu Petapahan dan untuk menjauhkan ibukota kerajaan dari loji di Pulau Guntung. 

Anthony Reid dan Nadin Radin Fernando dalam artikel mereka berjudul Shipping on Malacca and Singapore as an Index of Growth 1760-1840 menuliskan peningkatan perdagangan dari Kerajaan Siak juga terjadi di Malaka. Pada tahun 1761, kapal dari Kerajaan Siak singgah ke Malaka sejumlah 9 buah kapal, dan pada tahun 1765 meningkat drastis menjadi 58 buah kapal. Karena meningkatnya perdagangan dari pelabuhan Kerajaan Siak seperti Petapahan, Senapelan, dan Bukit Batu, pada tahun 1765 Raja Alam mampu membayar hutang perang yang diminta oleh VOC pada perjanjian 16 Januari 1761. Raja Alam diminta VOC membayar hutang akibat perang Guntung tahun 1759. Pada kumpulan kontrak dengan kerajaan kerajaan di Hindia pada zaman VOC yang berjudul Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum 1753-1799 hutang yang harus dibayar Raja Alam sebesar 6549 gulden dan 22 kg emas.

Meskipun arus perdagangan menuju Malaka meningkat, krisis keuangan yang terjadi pada VOC, semakin tahun semakin berat, selain itu, jumlah perdagangan dari bagian hulu Sungai Siak kembali menurun. Elisa Netscher pada bukunya yang berjudul De Nederlanders in Djohor en Siak, Historische Beschrijving 1602 tot 1865 menyebutkan pada bulan Oktober 1765, Gubernur Jenderal VOC di Malaka menutup loji di Pulau Guntung. Loji ini dibakar oleh utusan dari VOC yaitu Richardson. Pulau Guntung merupakan sebuah pulau yang berada di muara Sungai Siak, VOC membangun loji atau benteng di pulau ini tahun 1756 pada masa pemerintahan Sultan II Kerajaan Siak, Raja Mahmud atau Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1760). Loji ini kemudian dihancurkan oleh Raja Mahmud pada tahun 1759. Pada 18 September 1765, Raja Alam wafat, Beliau digantikan oleh anaknya, Raja Muhammad Ali, dia menjadi Sultan V kerajaan Siak dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1766-1779). 

Perdagangan yang dilakukan oleh Raja Muhammad Ali dari Senapelan dan wilayah Kerajaan Siak memberikan dampak yang signifikan pada jumlah kapal dari Siak yang singgah di Malaka. Pada tahun 1770, jumlah kapal dari Siak, yang singgah ke Malaka sejumlah 122 kapal. Selain itu, perdagangan dari Siak menuju Jawa meningkat dari dua kapal setahun menjadi enam kapal setahun. Izin memberangkatkan enam kapal ini didapatkan pada tahun 1777. Dianne Lewis dalam disertasinya yang berjudul The Dutch East India Company and the Strait of Malacca 1700-1784, Trade and Politics in The Eighteenth Century menuliskan Gubernur Malaka Jan Crans (1772-1776) meminta izin kepada Pemerintah Batavia, agar kapal dari Siak dapat berdagang di Pulau Jawa.

Raja Muhammad Ali tidak lama menjadi Sultan Siak, dia kemudian digantikan oleh sepupunya Raja Ismail atau Sultan Ismail Abdul Jalil Syah (1779-1781). Sultan Ismail kembali menjadi Raja setelah perebutan kekuasaan pada tahun 1761. Setelah Raja Ismail wafat dia digantikan oleh anaknya yang bernama Raja Yahya atau Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1781-1791), Raja Yahya menjadi Sultan VI Kerajaan Siak dan Raja Muhammad Ali menjadi Raja Tua. Dalam pemerintahan Raja Yahya, ibukota Kerajaan Siak dipindahkan kembali ke Mempura. 

Setelah Raja Yahya memindahkan ibukota Kerajaan Siak, Raja Muhammad Ali kembali ke Senapelan.  Di Senapelan, Raja Muhammad Ali fokus membangun pusat perdagangan. Raja itu membuka pasar baru yang tujuannya untuk meningkatkan arus perdagangan dari Sumatera bagian dalam menuju Semenanjung Malaka. Pasar yang dibuka oleh Raja Muhammad Ali berada di tepian Sungai Siak, pasar ini diberi nama Pekan Baharu atau Pekanbaru. 


Dari Pasar Menjadi Kota

Balai Kerapatan Tinggi Siak. (Sumber: goriau.com)


Wan Ghalib dalam bukunya berjudul Sejarah Kota Pekanbaru menuliskan, menurut catatan Imam Suhil Kerajaan Siak, pasar ini didirikan pada tanggal 23 Juni 1784 atau pada 21 Rajab 1204 Hijriyah. Pasar yang dibuka oleh Sultan Muhammad Ali ini sekarang menjadi kota Pekanbaru, ibukota dari Provinsi Riau. Sebutan Senapelan berubah menjadi Pekanbaru yang menjadi pusat perdagangan baru menghubungkan antara Sumatera Timur dan Sumatera Barat ke Semenanjung Malaya. 

Nordin Hussin pada bukunya berjudul Trade and Society in Strait Malaka,Dutch Malaka and English Penang 1780-1830 menyebutkan bahwa setelah Riau kalah pada perang tahun 1784. Pusat perdagangan VOC Malaka berpindah dari Riau ke Kerajaan Siak. Dapat dikatakan perdagangan  dari Kerajaan Siak menggantikan Riau di Malaka. Petapahan, Pekanbaru, Siak, dan Bukit Batu menjadi pelabuhan yang mengirimkan komoditas dari Sumatera timur dan barat ke Malaka.  Pada tahun 1785, jumlah kapal dari Kerajaan Siak yang masuk ke Malaka sejumlah 207 kapal, selain peningkatan jumlah kapal, peningkatan pedagang Tionghoa, Arab, dan Melayu yang berdagang dari Siak ke Malaka juga terjadi

J.Kathirithamby Wells dalam artikel berjudul Siak and Its Changing Strategies for Survival 1700-1780 pada buku berjudul The Last Stand of Asian Autonomies. Responses to Modernity in The Diverse States in Southeast Asia and Korea 1750-1900 menuliskan pada tahun 1780, jumlah pedagang Tionghoa dari Siak sejumlah 57 orang, dan pedagang arab dan melayu sejumlah 47. Pada Tahun 1785, jumlah pedagang Tionghoa sejumlah 56 orang dan pedagang Arab dan Melayu sejumlah 105.  Pada buku Sejarah Datuk Laksemana Raja di Laut Bukit Batu karangan Drs.A Murad Thalib & W.A.Rahzain disebutkan selain membuka akses perdagangan lewat sungai, pada masa Sultan Muhammad Ali memerintah, dia membuka jalan dari Teratak Buluh (sekarang sebuah desa di tepian sungai Kampar) ke Pekanbaru. Jalan setapak ini semakin memudahkan akses dari Pantai Barat dan Timur Sumatera menuju Malaka.

Pada saat Pekanbaru didirikan, kayu dari Pekanbaru dan wilayah kerajaan Siak dijadikan sebagai sumber bahan baku galangan kapal di Penang. Jhon Anderson, utusan Pemerintahan Prince of Wales/Pulau Pinang, Malaysia, dalam perjalanannya ke Pantai Timur Sumatera pada tahun 1823 menuliskan beberapa buku yang diantaranya berjudul Acheen and the Ports on the North and East Coast of Sumatra. Buku itu menyebutkan saat  pelabuhan di wilayah Kerajaan Siak (Pekanbaru, Siak, dan Bukit Batu) menjadi pusat perdagangan menuju Malaka, 2500 ton garam dari Pulau Jawa diperdagangkan. Selain itu, 600 sampai 700 kotak sutera juga diperdagangkan di Kerajaan Siak. Komoditas yang diperdagangkan dari pelabuhan Kerajaan Siak ke Malaka di antaranya adalah rotan, damar, jernang, lilin lebah, telur ikan terubuk, kapur barus, kain tenun, gading gajah, dan kopi. Kerajaan Siak menjadi pusat ekonomi baru di Pulau Sumatera saat itu. 

Raja Yahya memerintah tidak lama, kemudian dia dilengserkan oleh Sayid Ali, keponakan dari Raja Muhammad Ali. Tidak lama setelah Raja Muhammad Ali wafat di antara bulan Agustus atau bulan September 1791. Sayid Ali menjadi Raja VII Kerajaan Siak menggantikan Raja Yahya dan bergelar Sultan Sayid Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1791-1811).  Raja Yahya meninggalkan Kerajaan Siak dan wafat di Dungun, Trengganu, Malaysia.

Pada masa Sayid Ali atau  Sultan Sayid Ali Abdul Jalil Syaifuddin ibu kota kerajaan Siak dipindahkan dari Mempura ke Koto Tinggi. Pekanbaru tetap menjadi pelabuhan komoditas menuju Semenanjung Malaya. Penang atau Prince of Wales Island sebagai pelabuhan dagang dibuka oleh Francis Light dari East India Company atau EIC pada tahun 1786, membawa hasil alam yang dibawa dari Petapahan dan Pekanbaru dijual ke Penang.

Selain dengan Penang, jalur perdagangan dengan Malaka masih terjaga. Pekanbaru menjadi magnet pedagang- pedagang Cina, Melayu, dan Arab. Pedagang Arab yang berdagang di Pekanbaru diantaranya adalah Sayid Abdul Kadir bin Mohammed Ibrahim, ayah dari Abdullah bin Abdul Kadir Al Munsyi seorang satrawan masyhur Melayu yang berada di Melaka. Sayid Abdul Kadir berdagang di Pekanbaru dengan menggunakan kapal milik Adrian de Koek, seorang pejabat Belanda di Malaka. Demikianlah perjalanan awal Pekanbaru menjadi kota yang berawal dari sebuah pasar dan pelabuhan yang berada di tepi Sungai Siak. 

Post a Comment

0 Comments