FGD yang diisi oleh Prof. Dr. Agus Mulyana di IKIP PGRI Pontianak (26/3) (Dokumentasi: Humas IKIP PGRI Pontianak) |
Fenomena berkembangnya nasionalisme di berbagai negara tidak dapat dipungkiri di latar belakangi oleh fenomena sejarah yang tentunya tiap bangsa mengalami dinamika yang berbeda-beda. Misalnya dalam fenomena bangkitnya nasionalisme di negara-negara Asia-Afrika di awal abad ke-20, dilandasi peristiwa revolusi, kejatuhan monarki, dan bangkitnya kaum terdidik terpelajar. Khususnya Indonesia, penjajahan atau kolonialisme sebenarnya juga menjadi pendorong lahirnya rasa persatuan dan kesadaran untuk membangun suatu negara yang bersatu. Kemudian perkembangan penggunaan bahasa Melayu yang belakangan berkembang menjadi bahasa Indonesia dan menjadi bahasa persatuan di dalam momentum 28 Oktober 1928.
Penyebaran dan penguatan agama Islam sebenarnya juga berkontribusi dalam persatuan Indonesia. Hal ini disebabkan penyebarannya yang menggunakan proses kultural, sehingga secara perlahan melahirkan organisasi-organisasi gerakan Islam. Katakanlah seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, Persis, dan lain sebagainya. Organisasi tersebut meskipun berlandaskan Islam, namun sebenarnya juga merupakan organisasi kebangsaan yang turut merawat jiwa masyarakat Indonesia.
Sampai akhirnya Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ada titik temu antara agama dan negara. Sehingga agama dan nasionalisme kebangsaan bukanlah suatu hal yang dapat dipisahkan. Agama tidak dapat hidup jika tidak ada negara, begitupula sebaliknya karena kedua hal tersebut saling melengkapi. Sebab dasar nasionalisme Indonesia sendiri ialah ketuhanan sebagaimana sila pertama dalam pancasila. Demikian paparan Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Prof. Dr. Agus Mulyana dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema 'Merawat Nasionalisme, Memperkuat Karakter Kebangsaan'. Pada Selasa, 26 Maret 2024 di kampus IKIP PGRI Pontianak.
Ditambahkan pula oleh beliau bahwa keragaman di Indonesia tidak menjadi suatu potensi konflik, malah justru sebaliknya memperkaya Indonesia. Berkaca pada negara-negara di sekitar Indonesia seperti Malaysia dan Singapura dimana masih terjadi segregasi yang cukup kuat di tengah masyarakatnya terutama antara etnis Melayu dengan non-Melayu. Hal ini tidak terjadi di Indonesia dimana sistem pendidikan yang ada melarang adanya sekolah-sekolah berlandaskan etnis tertentu serta kewajiban mempelajari bahasa Indonesia, pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan.
Dengan demikian sebenarnya tidak terdapat masalah pada nasionalisme Indonesia. Dalam survei-survei yang ada, Indonesia selalu masuk dalam negara-negara di dunia yang warganya memiliki tingkat nasionalisme cukup tinggi. Sebaliknya, tantangan terhadap tingkat nasionalisme di Indonesia ialah merawatnya. Hal ini menjadi suatu yang penting sebab dapat terjadi perubahan yang mengarah kepada penurunan nasionalisme karena berbagai faktor. Sehingga menurutnya banyak cara untuk merawat nasionalisme di Indonesia, misalnya melalui hal-hal yang sederhana dengan tetap menggalakkan upacara bendera dan peringaran hari-hari nasional di sekolah-sekolah. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu investasi terbaik, dimana salah satunya dapat digunakan untuk merawat nasionalisme itu sendiri.
Kegiatan FGD yang diselenggarakan oleh IKIP PGRI Pontianak ini dihadiri oleh sejumlah civitas akademika. Selain itu juga turut mengundang perwakilan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) cabang Kalimantan Barat yang diketuai oleh Dr. Basuki Wibowo, Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, dan sejumlah organisasi mahasiswa internal seperti HIMA PPKn, BEM, dan DPM IKIP PGRI Pontiank. Sejumlah organisasi eksternal juga hadir seperti Rumah Dialog Nusantara. Di bagian penutup, Prof. Agus mengajak mahasiswa/i yang hadir pada kesempatan ini untuk serius dalam menempuh pendidikan namun tetap menjadi insan yang kritis dan peduli dengan permasalahan-permasalahan di sekitar, dan kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab atau diskusi.
Penulis: M. Rikaz Prabowo
0 Comments:
Post a Comment