Sejarah Awal Kerajaan Landak Era Pra-Islam

Keraton Ismahayana Kesultanan Landak di Ngabang, 
Kalimantan Barat. (Sumber foto: detiktravel)


Oleh: Karel Juniardi | Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak


Apabila kita datang ke Kota Ngabang yang merupakan ibukota Kabupaten Landak di Provinsi Kalimantan Barat, maka kita akan banyak menjumpai peninggalan Kerajaan Landak seperti Keraton, Masjid, Makam Raja-Raja Kerajaan Landak, dan sebagainya karena dulunya Kota Ngabang menjadi pusat Kerajaan Landak. Penulisan sejarah awal Kerajaan Landak tidak terlepas dari sumber cerita rakyat. Hal ini karena keterbatasan sumber tertulis yang menjadi dasar sumber primer. Menurut cerita rakyat, sejarah berdirinya Kerajaan Landak bermula dari seorang bernama Tedung Sari yang konon berasal dari Pulau Jawa yaitu daerah Banten (Pembayun, 1999:12). 

Ada juga yang menyatakan bahwa Tedung Sari berasal dari keturunan Raja Majapahit yang dibuang karena menderita suatu penyakit. Cerita rakyat versi lain mengatakan bahwa penguasa kerajaan di Ngabang adalah Ratu Sang Nata Pulang Pali I atau Raden Kesuma Sumantri Indra Ningrat yang dikatakan sebagai keturunan Raja Brawijaya Angkawijaya dari Majapahit, yang berlayar ke Kalimantan dengan sebuah rakit dari Ketapang berjalan memasuki Sungai Landak Kecil dan berhenti di Kuala Mandor (Lisyawati, 1994:9). Diceritakan Tedung Sari menderita suatu penyakit yang tiada kunjung sembuh sehingga oleh keluarganya ia diasingkan ke Kalimantan. Dalam pengasingannya tersebut, Tedung Sari sempat melakukan pelayaran pulang pergi sampai tujuh kali sehingga ia terkenal dengan sebutan Pulang Pali. Di Kalimantan, Tedung Sari berlayar sampai ke Sungai Landak Kecil dan berhenti di tempat yang bernama Kuala Mandor. Setelah beberapa lama menetap di tepian Sungai Mandor, Tedung Sari mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Angrat Batur dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Raja Pulang Pali (Pembayun, 1999:13).

Mengenai penamaan kerajaan yang didirikan Pulang Pali, ada beberapa versi, yang pertama Angrat Batur seperti cerita di atas dan yang kedua Ningrat Batur. Mengenai nama Ningrat Batur ini, awalnya berasal dari kata batu ningrat yaitu nama sebuah wilayah di mana Pulang Pali menetap di tepian Sungai Mandor yang terdapat banyak batu dan Pulang Pali sendiri adalah seorang keturunan ningrat sehingga daerah tempat Pulang Pali menetap itu dinamakan Batu Ningrat yang kalau dibalik namanya menjadi Ningrat Batur.


Kisah Dara Hitam
Dikisahkan Raja Pulang Pali mempunyai kebiasaan merendam kaki di tepian Sungai Mandor. Hal itu dilakukan untuk menyembuhkan sakit yang dideritanya. Dengan merendam kaki di air, banyak ikan yang mematuk-matuk kaki Raja Pulang Pali yang membusuk untuk memakan nanahnya. Pada suatu saat, di kala Raja Pulang Pali sedang merendam kaki di tepian sungai, ia melihat sebuah mundam yang hanyut. Setelah dilihat lebih dekat, ternyata mundam tersebut berisi sehelai rambut yang sangat panjang. Raja Pulang Pali kemudian berkeinginan mengetahui siapa pemilik rambut yang sangat panjang itu.

Selanjutnya Raja Pulang Pali ditemani para menterinya berlayar menyusuri sungai untuk mencari tahu siapa pemilik rambut yang sangat panjang itu. Tak lupa Raja Pulang Pali  membawa serta mundam yang ditemukannya hanyut di sungai. Dalam perjalanannya, Raja Pulang Pali singgah di kampung Tanjung Selimpat. Raja Pulang Pali kemudian menanyakan kepada penduduk Kampung Tanjung Selimpat mengenai mundam yang ditemukannya. Penduduk kampung mengenali mundam tersebut adalah kepunyaan Dara Hitam, seorang gadis anak kepala suku Kampung Tanjung Selimpat. Setelah dipertemukan dengan Dara Hitam, Raja Pulang Pali terpesona melihat kecantikan Dara Hitam sehingga Raja berniat mempersunting Dara Hitam menjadi istrinya. Dara Hitam merasa sedih karena sebenarnya ia sudah mempunyai kekasih yang bernama Ria Sinir. Namun apa boleh buat, Dara Hitam tidak bisa menolak permintaan Raja dan akhirnya Dara Hitam diboyong ke istana Kerajaan Ningrat Batur (Pembayun, 1999:13-14).

Cerita versi lain menyebutkan bahwa Dara Hitam adalah seorang Balian (dukun) yang disenangi rakyatnya. Ia anak dari Patih Gumantar, seorang yang sangat berpengaruh di zamannya. Ramuan kayu-kayuan dan akar-akar kayu hutanlah yang menjadi bahan obatnya. Ia sering diundang ke kampung tetangganya di dekat Sungai Tenganap, daerah Tembawang Selimpat. Dara Hitam sering mandi di Sungai Tenganap hingga suatu saat di kala ia sedang mandi, tercabutlah sehelai rambut panjangnya yang panjangnya memenuhi sebuah bokor kuningan. Bokor tersebut hanyut terbawa aliran sungai dan melewati sekumpulan pengawal Raja Pulang Pali yang sedang mandi di sungai. Bokor yang berisi rambut panjang Dara Hitam kemudian diambil oleh pengawal Raja Pulang Pali dan karena keheranan dengan temuannya maka para pengawal raja itu segera melapor kepada Raja Pulang Pali. Setelah mengetahui siapa pemilik rambut yang sangat panjang itu, Raja Pulang Pali bersiasat untuk menyunting Dara Hitam sebagai istrinya. Pada akhirnya Dara Hitam dapat dibawa Raja Pulang Pali dengan siasat Raja Pulang Pali berpura-pura sakit di dalam sampan dan mengundang Dara Hitam untuk mengobati. Namun setelah Dara Hitam berada di dalam sampan Raja Pulang Pali, sampan tersebut langsung dibawa berlayar ke Kerajaan Ningrat Batur bersama Dara Hitam sekalian di dalamnya (Lontaan, 1975:144-145).

Usia perkawinan Raja Pulang Pali dengan Dara Hitam tidak berlangsung lama. Hal ini dilatari peristiwa terbunuhnya ayah Dara Hitam yang bernama Patih Tegak Temula yang tewas karena dikayau (dipenggal kepalanya). Peristiwa itu membuat hati Dara Hitam bersedih dan ia menginginkan agar potongan kepala ayahnya dapat ditemukan. Demi memenuhi keinginan Dara Hitam, Raja Pulang Pali membuat sayembara yang isinya bahwa : “Barang siapa dapat mengambilkan kepala Patih Tegak Temula, akan diberikan hadiah sesuai dengan permintaannya”. Setelah sayembara itu diumumkan, banyak orang yang mengikutinya. Dan ternyata sayembara ini dimenangkan oleh Ria Sinir. Sesuai dengan perjanjian, Ria Sinir meminta Dara Hitam sebagai hadiah atas kemenangannya dalam sayembara itu. Raja Pulang Pali menepati janjinya dengan menceraikan Dara Hitam dan memberikannya kepada Ria Sinir sebagai hadiah sayembara, meskipun pada saat itu Dara Hitam sedang hamil. Raja Pulang Pali berpesan kepada Dara Hitam dan Ria Sinir bahwa apabila anak dalam kandungan Dara Hitam telah lahir dan sudah besar harus diserahkan kepada Raja (Umar, 1988:1-2).

Dara Hitam melahirkan anak yang dikandungnya dari hasil pernikahannya dengan Raja Pulang Pali dan memberinya nama Ismahayana. Setelah besar, Ismahayana diserahkan kepada Raja Pulang Pali. Setelah Raja Pulang Pali wafat kedudukannya sebagai raja digantikan Ismahayana dengan gelar Dipati Karang Tanjung Tua (memerintah sekitar tahun 1472-1542 M). Raja Dipati Karang Tanjung Tua menikah dengan Nyi Mas Limbai Sari, anak Patih Wira Denta. Nyi Mas Limbai Sari mempunyai gelar Ratu Permaisuri Sari Ayu. Selanjutnya Raja Dipati Karang Tanjung Tua memindahkan pusat kerajaan Ningrat Batur dari tepian Sungai Mandor ke Kampung Munggu yang letaknya di tepian persimpangan antara Sungai Landak dan Sungai Menyuke.

Pada masa Raja Dipati Karang Tanjung Tua, agama Islam mulai berkembang di Kerajaan Landak. Bahkan kemudian Raja Dipati Karang Tanjung Tua memeluk agama Islam dan mempunyai gelar Abdul Kahar. Bukti-bukti bahwa Raja Dipati Karang Tanjung Tua beragama Islam adalah adanya makam Abdul Kahar di Kampung Munggu. Makam tersebut sampai sekarang masih terawat dengan baik. Menurut kepercayaan masyarakat yang tinggal di sekitar makam tersebut, timbul kepercayaan bahwa siapa saja orang yang melangkahi makam tersebut akan mengalami muntah darah sehingga makam itu dikeramatkan penduduk setempat.

Referensi:
Lisyawati, N. 1994. Pendataan Peninggalan Sejarah Kerajaan Landak Di Ngabang Kabupaten Pontianak. Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak
Lontaan, J.U. 1975. Sejarah Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemprov. Kalimantan Barat
Pembayun, S. 1999. Asal Usul Keraton Pembekal Raja (Perwakilan) Kerajaan Landak Di Darit Kecamatan Menyuke Kabupaten Pontianak. Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
Umar, Y. S. 1988. Sejarah Singkat Perjuangan Rakyat Landak

0 Comments:

Post a Comment