Dari Hubungan Organisasi ke Pribadi: Kisah Bung Karno dan H. Abdul Karim Oey

Ir. Soekarmo di kediamannya selama diasingkan di Bengkulu bersama

sahabat dan rekan-rekannya. (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)



Oleh: Hardiansyah

Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Bengkulu


Berkat permintaan Bung Karno, Abdul Karim Oey berhasil memimpin dan membawa kemajuan bagi gerakan Muhammadiyah di Bengkulu. Ia pun menjadi saksi perjodohan Bung Karno dengan Fatmawati.

 

Salah satu sahabat dekat Bung Karno selama pembuangannya di Bengkulu adalah seorang Tionghoa. Dialah Oey Tjeng Hien. Siapa Oey Tjeng Hien atau yang lebih dikenal dengan nama Babadek oleh masyarakat Kaur ini atau Haji Abdul Karim Oey ini? Oey Tjeng Hien dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1905, di Padang Sumatera Barat. Sejak kecil ia diasuh oleh abang dan kakak iparnya. Menginjak dewasa, ia mencoba peruntungannya di Bintuhan –sekarang Kabupaten Kaur-. Di Bintuhan inilah ia mendapatkan hidayah dan memeluk agama Islam. Sebagai seorang pedagang, ia sering pula bertandang ke tanah Jawa dan bertemu dengan A.Hassan, A.M Sangadji, Syekh Ahmad Syurkati, M. Sabirin dan H Zamzam (PERSIS). Diakuinya dalam autobiografinya berjudul Mengabdi Agama, Nusa, dan Bangsa, Sahabat Karib Bung Karno: Otobiografi H. Abdul Karim (Oey Tjeng Hien), bahwa Syekh Ahmad Syurkati dan A.M Sangadji menempati posisi khusus di hatinya. Dari sinilah pemikiran kebangsaan dan rasa nasionalisme Oey mulai terbentuk. Setelah masuk Islam, ia belajar agama dengan Fikir Daud, seorang tokoh pembaharuan Islam yang berasal dari Minangkabau. Fikir Daud ini dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang terkenal di kabupaten Kaur.

Darah dan nafas pergerakan terus bergelora dalam diri Oey, tak lama kemudian bersama–sama dengan guru privatnya dan beberapa tokoh pembaharuan Islam di Bintuhan, ia mendirikan cabang Muhammadiyah. Mulailah ia berdakwah keliling Bintuhan dan Kaur. Muhammadiyah pun semakin berkembang sampai ke daerah–daerah terpencil di Kaur itu. Namun hal ini bukanlah tanpa hambatan. Beberapa kali nyawanya harus terancam dengan orang–orang yang tidak senang dengan gaya dakwahnya Muhammadiyah ataupun sikapnya yang anti kolonial Belanda itu. Sikapnya yang akhirnya menjurus pada sikap non–kooperatif dengan Belanda membuat Muhammadiyah Bintuhan mendapatkan perhatian dari pemerintrah Hindia-Belanda pada masa itu. Sampai–sampai Haji Muchtar utusan Hoofd Beestur Muhammadiyah harus turun tangan tiga kali bolak–balik ke Bintuhan untuk menenangkan gejolak politik yang mulai panas di sana. Kehadiran Haji Muchtar akhirnya  memang dapat menenangkan situasi dan kondisi yang ada.


Bersama Bung Karno di Bengkulu

Tersebutlah bahwa Bapak H. Yunus Djamaludin selaku konsul sakit keras. Pengurus Muhammadiyah pun mengajak Bung Karno untuk berembuk siapa kiranya yang akan menggantikanya sebagai konsul. Pilihan Bung Karno jatuh pada Oey Tjeng Hien. Beliau sendiri awalnya diusulkan oleh Hassan Din, yang nantinya menjadi mertua Bung Karno. Rupanya Bung Karno telah banyak pula mendengar tentang gerakan Oey Tjeng Hien selama di Bintuhan, sehingga merasa pula perlu dekat dengan tokoh Muhammadiyah yang satu ini. Tokoh–tokoh Muhammadiyah yang hadir pun sepakat dengan usulan Bung Karno tersebut, dan segera melayangkan kabar tersebut kepada Oey yang berada di Bintuhan. Namun, Oey yang saat itu sedang mengorganisir Muhammadiyah, menolak dengan alasan bahwa mata pencahariannya ada di Bintuhan dan belum melakukan pengkaderan secara baik di Muhammadiyah Bintuhan untuk menggantikan dirinya. Namun karena Bung Karno terus mendesak  maka akhirnya hati Oey luluh. Apalagi Bung Karno menjanjikan ingin membuat perusahaan mebel bersama–sama dengan Oey dengan mengandalkan keahlian Bung Karno dalam bidang arsitektur. Usaha tersebut dibukanya di wilayah Sukamerindu sedangkan Oey sendiri tinggal di daerah Tebek.


Bung Karno (berdiri, kanan) bersama Hamka (berdiri, kiri)
dan Abdul Karim Oey (duduk)

Setelah Oey Tjeng Hien di Bengkulu, mulailah ia mengorganisir Muhammadiyah yang semakin meluas dan berkembang hingga ke Lubuk Linggau, Lahat, Pagar Alam dan Karang Dapo. Sedangkan Bung Karno duduk sebagai ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu. Bersama–sama dengan Bung Karno pula akhirnya Muhammadiyah Bengkulu dapat melangsungkan Konferensi Daeratul Kubro se-Pulau Sumatera pada tahun 1940. Diundanglah Teuku Hassan, konsul dari Aceh, Buya Hamka dari Medan, AR Sutan Mansyur dari Sumatera Barat, Abdul Mu’in dari Tapanuli, Riau dan Jambi dan RZ Fananie konsul Palembang dan Lampung. Saat itu warga Bengkulu tercengang melihat acara yang sangat besar ini. Mereka tak menyangka bahwa daerah mereka dapat melaksanakan acara sebesar ini. Namun karena acara inilah Bung Karno sempat “ditahan” satu malam di Benteng Marlborough. Dengan segala keberanian yang dimiliki, Oey maju untuk membebaskan sahabatnya itu dan memang benar akhirnya ia mampu membebaskan Bung Karno.



Hubungan Pribadi Dengan Bung Karno

Hubungan Bung Karno dengan Oey terjalin dengan erat. Selain sama–sama satu pergerakan memiliki perusahaan yang sama, Oey Tjeng Hien ternyata adalah salah satu orang terdekat Bung Karno yang mengetahui bagaimana hubungan cinta segitiga Bung Karno–Inggit–Fatmawati (Putri Hassan Din, seorang tokoh Muhammadiyah Bengkulu). Ia pula yang menjadi tempat curhat ibu Inggit dan Bung Karno tentang masalah keluarganya. Oey juga yang berusaha meredam pertikaian Bung Karno dan ibu Inggit saat mereka ribut besar. Oey pula yang menjemput Bung Karno dari Padang yang di jemput oleh Jepang. Pada awalnya, Belanda mengungsikan Bung Karno ke Padang agar tidak dimanfaatkan oleh Jepang saat mereka masuk ke Indonesia. Oey pun menemani pula Bung Karno selama di Palembang. Tidak salah jika kemudian Bung Karno menganggap Oey sebagai saudaranya.


Kisah cinta Bung Karno belum lagi selesai. Dengan bantuan penguasa Jepang di Jakarta, Bu Inggit dan Bung Karno akhirnya bercerai. Dikirimlah surat kepada Oey tentang niatnya untuk meminang Fatmawati. Surat Bung Karno itu ia perlihatkan pada Hassan Din  dan istrinya. Namun muncul lagi masalah, Fatmawati tidak mau jika tidak Bung Karno sendiri yang datang ke Bengkulu meminangnya. Di bujuk pun Fatma tetap enggan. Maka dengan hati yang kesal Oey pun bermaksud mengirimkan telegram ke Jakarta bahwa Fatma menolak pinangannya. Namun di tengah jalan Oey bertemu dengan kakak Hassan Din, yakni Yusuf Din. Bersama Yusuf inilah akhirnya Oey membuat sebuah taktik. Yusuf diminta untuk menemui Fatma dan berkata bahwa Bung Karno jika pinangannya ditolak akan menikah dengan wanita yang lebih cantik dan lebih pintar dari Fatma di tanah Jawa. Akhirnya hati Fatma luluh, dan ia pun menikah secara wakil dengan Sardjono yang pada awalnya akan diwakilkan oleh Oey. Namun karena tidak mau dianggap pengkhianat oleh Bu Inggit, maka Oey menolak hal itu.


Kedekatan Bung Karno dan Oey berjalan mulus. Hingga pengakuan kedaulatan Indonesia, Oey tetap menyertai Bung Karno. Bung Karno pun mengizinkan Oey untuk menggunakan nama anaknya Megawati untuk nama perusahaan ekspor dan impor yang akan digelutinya. Demikian pula saat Muhammadiyah berada dalam kondisi–kondisi sempit karena bersebrang jalan dengan Bung Karno, salah satu juru bicara yang berusaha melunakkan hati Bung Karno adalah Oey Tjeng Hien. Bung karno pun berkonsultasi dengan Oey tentang menteri–menteri yang akan ditunjuk untuk menempati beberapa pos menteri. Hal ini terjadi di tahun 1964. Termasuk dalam mendesak presiden untuk hadir dalam Muktamar Muhammadiyah di Bandung tahun 1965

0 comments:

Post a Comment