Perancis dan Imperiumnya Di Seberang Laut

Timnas Sepakbola Perancis saat menjuarai Piala Dunia 1998 
(Sumber: Sky Sports)
 

Oleh: Rakhadian Noer Kuswana

Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia


Prancis menerapkan politik asosiasi dan doktrin asimilisasi untuk membentuk “Imperium Seberang Laut” di wilayah Afrika, bertujuan mengintegrasikan wilayah Perancis secara interkontinental; serta mengasimilasi berbagai aspek kehidupan masyarakat koloni secara politik, sosial, kultural, hingga ekonomi.

 Tim nasional sepakbola Perancis gagal melaju ke babak final Piala Eropa 2024. Padahal selama Piala Dunia 2022, Perancis tampil apik hingga berhasil melaju ke final sebelum dikalahkan Argentina yang keluar sebagai juara. Timnas Perancis termasuk tim sepakbola jajaran atas dunia dengan susunan pemain yang multikultur. Banyak pemain dari timnas Prancis yang memiliki warna kulit berbeda dari orang Eropa pada umumnya yang berkulit putih. Hal tersebut sebenarnya memiliki latar belakang historis yang dapat kita pertanyakan dan telusuri. Hal ini bisa dilacak salah satunya ketika terjadinya eksplorasi-kolonialisme di wilayah Afrika oleh bangsa Eropa abad ke-19 hingga 20.


Eksplorasi-Ekspoitasi Bangsa Eropa di Afrika

Darsiti Soeratman, dalam Sejarah Afrika (2019) menyebutkan bahwa eksplorasi bangsa Eropa secara terorganisasi telah dimulai sejak akhir abad ke-18 (eksplorasi pada masa sebelumnya belum terorganisir) dengan dibentuk African Association oleh Sir Joseph Bank dari Inggris. Eksplorasi ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 dimana David Livingstone dan Henry Morton Stanley membuka misteri “benua gelap” ini hingga akhirnya eksplorasi pun berbuah eksploitasi terhadap sumber daya manusia maupun alam di Afrika.

Pada tahun 1875, daerah Afrika yang berada dibawah kekuasaan atau pengaruh bangsa Barat hanya sekitar 10,8% saja. Namun, pada tahun 1900 jumlah tersebut naik hingga angka 90,4% atau terjadi kenaikan sebagai 79,6% dalam kurun waktu 15 tahun saja. Pada tahun 1920, wilayah Afrika didominasi oleh Perancis dengan persentase sekitar 4.350.000 mil persegi (37%) dari keseluruhan penguasaan wilayah Afrika oleh bangsa Eropa.

Rodney, dalam artikelnya yang berjudul The Colonial Economy yang dimuat dalam buku General History of Africa Volume 6 (1985) memaparkan bahwa akumulasi nilai investasi bangsa Eropa di Afrika hingga tahun 1913 mencapai 845.000.000 poundsterling dan pada tahun 1936 berada di angka 611.000.000 poundsterling dengan persentase terbanyak berada di wilayah Afrika Inggris sebanyak 77%.

Sehingga Afrika di masa lalu menjadi salah satu kontinen yang begitu penting bagi bangsa Eropa dalam berbagai aspek, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik. Oleh karenanya, kepentingan tersebut termanifestasikan dalam beragam kebijakan yang diterapkan oleh bangsa Eropa di Afrika. Salah satunya adalah Prancis yang menerapkan politik asosiasi dan doktrin asimilisasi untuk membentuk “Imperium Seberang Laut” di wilayah Afrika.


Dinamika Dalam Imperium Seberang Laut Prancis

Apabila kita melihat peta ketika masa partisi Afrika oleh bangsa Eropa, Imperium Perancis di Afrika seakan membentuk sebuah wilayah perpanjangan yang melintasi laut, dari wilayah induknya di Eropa, tepatnya Paris. Louis Vignon, dalam artikelnya yang berjudul La Politique du protectorat et l'inégalité des races dalam majalah Revue Bleue bulan Maret 1905 mengungkapkan bahwa Perancis ingin mendirikan pemerintah yang sesuai dengan mereka di berbagai wilayah, sebagai penguasanya. Mereka percaya sedang melakukan sesuatu yang “menakjubkan” dengan mendirikan konstitusi diantara orang “tidak beradab”.

Diagram

Description automatically generated
Peta Afrika pada Tahun 1914 
Sumber: Buku A Short History of Africa -
Oliver & Fage (1962)

Pada masa Revolusi Perancis, semboyan liberte, egalite, dan fraternite, ditambah lagi Perancis merupakan negara yang juga menganut filsafat politik paternalisme. Sehingga pada akhirnya Perancis merasa bisa dan perlu untuk melakukan doktrin asimilasi melalui politik asosiasi dalam membentuk Afrika dengan “rasa” Perancis.

Tujuan politik asimilasi tersebut yaitu mengintegrasikan wilayah Perancis secara interkontinental; serta mengasimilasi berbagai aspek kehidupan masyarakat koloni secara politik, sosial, kultural, hingga ekonomi agar menjadi “Perancis”. Pembentukan identitas tersebut pun didasarkan pada keyakinan orang Perancis terhadap superioritas kulturalnya yang sudah mencapai titik tertinggi sehingga merasa memiliki misi untuk “misi pemberadaban” kepada orang-orang yang masih dianggap terbelakang.

Frantz Fanon, seorang psikiatris yang juga seorang aktivis pembebasan di Aljazair dalam bukunya yang berjudul Peau Noire, Masques Blancs (1952) (bahasa Inggris: Black Skin, White Masks) menceritakan dan menganalisis melalui pengalamannya sebagai seorang aktivis dan psikiater mengenai konstruksi psikis masyarakat Afrika terjajah. Orang kulit hitam dirancang untuk mempersepsikan kulit hitam dan dirinya sebagai yang inferior. Sebagai dampaknya, orang-orang kulit hitam tersebut merasa bahwa identitas dan budaya merupakan sesuatu yang lebih rendah dibandingkan orang-orang kulit putih. Sehingga pada akhirnya, mereka mencoba untuk menggunakan “topeng putih” dengan  menyesuaikan dan meniru budaya penjajahnya, dalam hal ini adalah budaya Perancis. Sehingga pada akhirnya mereka menjadi sosok yang kehilangan identitas aslinya.

Hal tersebut menjadi masalah dilihat dari bagaimana berbagai subjek kolonial di Afrika Barat menyusun bermacam strategi untuk menolak pembentukan sistem kolonial dan untuk menentang institusi tertentu aksi mogok di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Lagos, Kamerun, Dahomey, dan Guinea.

Para penganut agama Islam, khususnya di Sudan Barat juga menghidupkan kembali Mahdisme atau gerakan-gerakan yang didirikan seperti Mouridiyya yang dipimpin oleh Syaikh Armadou Bamb'a dan Hamalliyya yang dipimpin oleh Syaikh Hamallah untuk memprotes kehadiran Perancis. Sementara itu kaum Nasrani pun banyak mendirikan gereja mesianik atau millenarian atau Etiopia dengan liturgi dan doktrin khas Afrika didirikan untuk melawan pemaksaan kekristenan gaya Barat.

Sementara itu, berbagai kelompok dibentuk untuk memprotes undang-undang atau tindakan kolonialis tertentu yang dikenakan pada penduduk asli, seperti Young Senegalese Club dan Aborigines' Rights Protection Society, yang menggunakan surat kabar, pamflet, dan sandiwara untuk melindungi diri dari asimilasi.


Poskolonial di Aljazair

Jika menelaah historisitas antara Perancis dan Afrika, cukup menarik untuk melihat dampaknya di negara Aljazair. Karena Aljazair menjadi salah satu negara di Afrika yang paling banyak menerima pengaruh dari kebijakan asimilasi Perancis di masa lalu.

Setelah kemerdekaannya tahun 1962, Aljazair mencoba untuk melakukan reformasi terhadap sistem kehidupan kebudayaannya. Bahasa Arab diadopsi menjadi bahasa nasional sebagai representasi pemutusan hubungan dengan Prancis. Dalam bidang pendidikan pun nilai-nilai keislaman dibangkitkan kembali untuk menggeser asimilasi budaya Perancis dalam diri masyarakatnya.

Namun, Aybüke Rabia Halil dalam artikel ilmiahnya yang berjudul The Relations Between Algeria and France in The Shadow of Colonial Legacy: A New Page Possible? memaparkan bahwa Arabisasi tersebut pada hari ini dipandang sebagai the cause of chaos. Pelajar yang belajar dengan bahasa Arab pun memiliki kemungkinan kecil untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dibandingkan dengan seseorang yang menguasai bahasa Perancis.

Dilansir dari laman thearabweekly.com dengan judul Algeria seeks to replace French with English at university, sparks ‘language war’ memaparkan bahwa ribuan orang Aljazair mengambil kursus bahasa Perancis tiap tahunnya untuk berkuliah di Perancis. Ada sekitar 23.000 mahasiswa Aljazair di Perancis atau sekitar 8% dari total pelajar asing di negeri itu.

Sebagai penutup, mari melihat kembali kutipan dari Frantz Fanon yang penulis sajikan di awal diiringi pertanyaan, mungkinkah Aljazair atau lebih lebih luas lagi wilayah pos kolonial di dunia membangun kembali kebudayaan yang mencirikan identitas budaya mereka?

0 comments:

Post a Comment