Dari Sentuhan Hingga Koneksi Digital: Menjelajahi Transformasi Keintiman di Indonesia

Iklan pencarian jodoh di surat kabar Oetoesan Borneo 31 Desember 1927
(Sumber: Perpusnas RI)

 

Sekelumit perjalanan manusia Indonesia dalam mencari jodohnya, mulai dari dijodohkan oleh keluarga besar, mencari di biro jodoh di tahun 1970an, hingga menginstal aplikasi perjodohan yang mulai marak sejak milenium 2000an.


Oleh:

Rinta Arina Manasikana | Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta


Keintiman menjadi salah satu aspek yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Konsep ini memiliki sifat yang fleksibel dan memiliki beragam definisi, mengacu pada hubungan dekat antara individu satu dengan yang lain dan proses menuju kualitas tersebut. Hal ini juga biasanya  merujuk  pada  sebuah  hubungan  yang terjadi secara emosional, kognitif, maupun fisik yang biasanya terkait dengan berbagai bentuk kedekatan pada  pasangan,  hubungan  pertemanan,  maupun  relasi  romantis  di  antara  satu  individu  dengan individu lainnya (Morgan, 2009).

Sebelumnya, konsep keintiman seringkali dipahami sebagai entitas tetap dan alamiah atau taken for granted. Namun, persepsi ini telah berubah seiring dengan perubahan zaman yang menunjukkan adanya transformasi konsep keintiman yang berkembang seiring dengan perubahan sosial dan budaya. Sebagaimana ditegaskan oleh Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love, and Eroticism in Modern Societies (1992) yang mendiskusikan bahwa hubungan intim, khususnya dalam konteks romantis, telah mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya pada masyarakat modern di Eropa. Dalam tulisannya, Giddens mengelompokkan transformasi keintiman menjadi tiga fase: pra modern, modern, dan late modernity. Namun, sulit untuk menentukan secara pasti kapan dimulai dan berakhirnya setiap fase tersebut. Fase-fase ini cenderung saling tercampur dan memiliki durasi yang berbeda-beda, karena tidak semua masyarakat di seluruh dunia bergerak dalam waktu yang sama untuk memasuki era baru. Hal ini juga berlaku untuk fenomena di Indonesia.

 

Masa Tradisional

Rubrik jodoh yang gencar di koran-koran tahun 1980-1990an. (Sumber: kompasiana)


Pada masa tradisional di Indonesia, masyarakat sangat dipengaruhi oleh tradisi dan norma-norma, termasuk dalam hal seksualitas. Sebelum munculnya konsep keintiman dalam bentuk hubungan kencan, perjodohan menjadi metode umum yang digunakan oleh orang tua dan keluarga untuk mengatur pertemuan antara anak laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan dalam menjalin hubungan khusus, terutama dalam bentuk pernikahan. Setidaknya sebelum abad ke-19 M, perjodohan dan pernikahan merupakan proses negosiasi antara kedua belah pihak, terutama bagi keluarga kerajaan dan masyarakat kelas atas. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan status ekonomi, kekuatan politik, dan kualitas keturunan. Terkadang, perjodohan bahkan dilakukan ketika kedua calon pasangan masih sangat muda, dan hubungan tersebut jarang didasari oleh rasa saling cinta atau kesesuaian di antara mereka.

Bagi masyarakat kelas bawah seperti buruh dan petani, perjodohan dan pernikahan merupakan proses penting untuk mendapatkan tenaga kerja baru serta jaminan sosial dan kesehatan. Pernikahan dianggap sebagai cara untuk mengatur tenaga kerja dalam pertanian. Giddens juga mencatat bahwa di masa pramodern, hubungan didasarkan lebih pada faktor ekonomi daripada ketertarikan seksual. Tradisi perjodohan di Indonesia melibatkan aspek transaksi, di mana pihak laki-laki "membeli" seorang gadis dari keluarga perempuan. Anak, terutama perempuan, sering kali menjadi alat tukar utama dalam proses ini. Pada masa itu, pernikahan dini yang melibatkan pengantin perempuan di bawah usia 18 tahun atau setelah mengalami menstruasi pertama masih umum terjadi, terutama di masyarakat Jawa (Wollburg, 2016; Amini, 2016).

Pada tahun 1950-an, di pedesaan Indonesia, sebagian besar perempuan menikah pada usia 16 atau 17 tahun. Tidak menikah pada usia 20 tahun dianggap negatif dan dapat menyebabkan stigma sosial. Perjodohan umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan latar belakang sosial dan sikap calon pasangan serta keluarganya. Orang tua memiliki kendali penuh atas anak mereka dalam memilih pasangan, dan perempuan memiliki sedikit otonomi dalam menentukan pernikahan mereka. Kultur patriarki dan interpretasi agama turut memperkuat pandangan ini. Pernikahan yang dilakukan oleh perempuan muda tanpa pendidikan seringkali mengalami kegagalan dalam rumah tangga (Amini, 2016)


Biro dan Iklan Kontak Jodoh: Sebuah Era Baru

Seiring dengan peningkatan kesempatan pendidikan dan pekerjaan, sikap masyarakat terhadap perjodohan dan pernikahan di usia dini juga mengalami perubahan. Khususnya bagi perempuan, yang kini memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan bersekolah, mereka mendapatkan ruang dan kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dan berkenalan dengan lawan jenis secara bebas. Pada masa ini, konsep kencan menjadi salah satu opsi bagi masyarakat Indonesia untuk lebih mengenal pasangan dengan lebih intim sebelum memutuskan untuk menikah. Terjadi pula peningkatan usia rata-rata perempuan menikah, dari 18,9 tahun pada tahun 1971 menjadi 20,9 pada tahun 1990 (Jones, 2002).

Meskipun demikian, pilihan perjodohan tidak sepenuhnya menghilang. Kesibukan dan kesulitan menemukan pasangan yang sesuai dengan kriteria menjadi alasan bagi sebagian masyarakat untuk menggunakan jasa pihak ketiga sebagai perantara pencarian jodoh (matchmaker). Tuntutan untuk segera menikah dan adanya stigma negatif bagi mereka yang belum memiliki pasangan di usia tertentu juga menjadi alasan popularitas jasa matchmaker. Pada era 1970-an, pola perjodohan mengalami pergeseran, di mana tradisi yang melibatkan keluarga besar dengan tekanan yang tinggi mulai digantikan oleh upaya mandiri individu dalam mencari calon pasangan yang akan dinikahi (Noviani, 2009).

Di  era  1970-an misalnya,  jasa  biro  jodoh  mulai bermunculan  di  daerah  urban  Indonesia  salah satunya yakni Yayasan Scorpio (Yasco) sebagai salah satu  lembaga  biro  tertua  dan  terpopuler  di  Jakarta  pada masanya. Berdiri pada tahun 1974, Yasco kala itu  mematok  harga  sebesar  Rp 200.000  sebagai biaya pendaftaran bagi para calon anggota. Meski mematok harga yang cukup mahal saat itu, di era 1970-1980-an Yasco mampu menjaring hampir 10 ribu  anggota  selama  masa  kejayaannya  (Liberti, 2017).


Yasco, Pasang Surut Biro Jodoh Lawas Ibukota
Biro Konsultasi Keluarga (dan Jodoh) Yasco Jakarta yang masih bertahan
hingga saat ini. (Sumber: CNN Indonesia)

Empat  tahun  setelah  kehadiran  Yasco, platform media konvensional seperti koran turut meramaikan upaya mandiri dalam pencarian jodoh dengan rubrik iklan tak berbayar (gratis) mingguan, salah   satunya   yakni   dalam   rubrik   Kontak   Jodoh   (pertemuan)  milik  koran  Kompas.  Rubrik ini menjadi tempat bagi mereka yang siap menikah mencari pasangan idaman. Dalam masa operasinya selama 36 tahun, rubrik Kontak Jodoh (Pertemuan) didominasi oleh perempuan dengan jumlah yang lebih banyak daripada laki-laki. Data menunjukkan bahwa 88% pengiklan lajang dalam sebulan adalah perempuan, sedangkan laki-laki hanya 12%.

Fenomena ini bukanlah suatu hal yang asing, mengingat perempuan menghadapi tekanan dan pandangan sosial yang beragam dan berat terkait masalah pernikahan. Mereka dianggap tidak laku jika terlambat menikah, dan status janda setelah bercerai pun terlihat negatif. Kendala biologis seperti usia yang membatasi kemampuan melahirkan juga membuat perempuan merasa tertekan dan harus mempertimbangkan waktu menikah dengan lebih cermat (Arianto, 2018).

 

Modernitas dan Aplikasi Kencan Online

Dengan luasnya penggunaan internet dan kemajuan teknologi, cara mencari jodoh atau teman kencan mengalami perubahan di era digital. Metode tradisional seperti biro jodoh dan iklan kontak jodoh di media massa mulai digantikan oleh situs dan aplikasi online yang dapat diakses melalui aplikasi ponsel seperti eHarmony, Badoo, Ok Cupid, dan Tinder yang populer dan muncul pada tahun 2000-an. Kemudian, pada tahun 2012 kemunculan Tinder memperkenalkan konsep "swipe right era" dimana pengguna dapat mencari pasangan dengan menggeser profil pengguna lain di layar ponsel. Pada tahun 2018, Tinder memiliki jutaan pengguna gratis dan berbayar, serta telah membantu banyak pengguna menemukan pasangan (Pertiwi, 2018).

Relasi keintiman pada era modernitas lanjut menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa lalu. Perubahan tersebut melibatkan pergeseran dari pola tradisional pernikahan menjadi inklusi hubungan kencan, hubungan seks di luar pernikahan, dan kohabitasi (tinggal bersama tanpa pernikahan). Aksesibilitas dan platform seperti situs dan aplikasi kencan online memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan keintiman, baik emosional maupun seksual. Beberapa orang menganggap pernikahan tidak lagi memiliki tingkat kesakralan yang sama, dan hubungan seksual sebelum menikah atau hubungan semalam dengan orang yang baru dikenal dianggap lebih umum terutama di perkotaan, meskipun masih ada stigma sosial yang terkait dengan hal ini karena dianggap tabu dalam masyarakat (Himawan, et al., 2018).

Namun, penggunaan situs dan aplikasi kencan online di Indonesia tidak membebaskan penggunanya dari bayang-bayang objektifikasi dan pelecehan terhadap perempuan. Survei pada tahun 2017 menunjukkan bahwa sekitar 12,52% pengguna pernah mengalami pelecehan verbal dan visual saat menggunakan Tinder. Stereotip gender juga mempengaruhi penggunaan aplikasi kencan online, di mana perempuan cenderung merasa malu dan enggan untuk memulai pembicaraan setelah terjadi match dibandingkan dengan pengguna laki-laki. Mereka lebih suka menunggu untuk disapa daripada mengambil inisiatif. Stigma negatif dan budaya patriarki masih mempengaruhi sikap dan tindakan perempuan dalam mencari pasangan, meskipun berada di era modernitas lanjut (Fandia, 2017; Nurfazila, 2015).

 

Keintiman dan Dunia Digital

Dalam era internet, teknologi telah mengubah cara pemenuhan keintiman dengan adanya hubungan jarak jauh, cybersex, dan akses pornografi online yang memungkinkan hubungan dengan orang lain dari berbagai lokasi menjadi lebih mudah. Cybersex dan pornografi internet memberikan kemudahan dalam memuaskan hasrat seksual tanpa harus menunggu kesediaan pasangan. Di era digital, keintiman dapat dicapai secara instan tanpa penundaan, berbeda dengan cara tradisional yang melibatkan hasrat, penundaan, dan penyampaian. Internet dan teknologi digital menjadikan komputer dan gadget sebagai alat bantu pemenuhan keintiman yang dapat digunakan kapan saja dan di mana saja (Sabbadini, et al., 2019).

Meskipun teknologi memberikan kebebasan dalam memenuhi keintiman, pengaruh tatanan patriarki yang mendominasi masih berlanjut. Dalam kasus cybersex, perempuan nyatanya masih rentan menjadi korban kekerasan seksual dan pemerasan. Konten seksual mereka dapat tersebar secara luas dan privasi sulit dijaga, sehingga mengancam keamanan mereka. Fenomena sextortion juga muncul, di mana image seksual digunakan untuk memeras uang. Studi Gareth Branwyn menunjukkan bahwa pengguna aktif situs online sering menjadi target pesan pribadi dan ajakan hubungan seks jika mereka menggunakan identitas perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa dunia maya tidak sepenuhnya mengubah perilaku di dunia nyata, bahkan dapat menjadi ruang bagi agresi seksual. Ideologi patriarki yang memposisikan laki-laki sebagai dominan masih berpengaruh tidak hanya dalam ranah domestik, tetapi juga di ranah publik. Perempuan masih harus melakukan negosiasi dengan tatanan patriarki, seperti menghindari ruang berbincang publik atau keluar dari grup chat (Irawanto, 2017).

 

Daftar Pustaka

·         Amini, M.  (2016).  Perkawinan dalam Sejarah Kehidupan Keluarga Jawa 1920-an - 1970-an.  Jurnal Sejarah dan Budaya 10 (1), hal.   54-62.   http://dx.doi.org/10.17977/um020v10i12016p054

·         Arianto, Y. CK. (2008). Berburu Jodoh, Petualangan Mencari Cinta dengan Comblang Teknologi. Yogyakarta:  Dian Pertiwi Publishing.

·         Fandia, M. (2017) Survey Report on Indonesian Tinder Users. Blog.jakpat.net. Dilihat 10 April 2020 dari https://blog.jakpat.net/swipe-your-destiny-survey-report-on-indonesian-Tinder-users/

·         Giddens, A. (1992). The Transformation of Intimacy Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies. California: Stanford University Press.

·         Himawan, K. K., Bambling, M., and Edirippulige, S. (2018). What Does It Mean to Be Single in Indonesia?  Religiosity, Social Stigma, and Marital Status Among Never-Married Indonesian Adults. SAGE Open, hal. 1-9. https://doi.org/10.1177%2F2158244018803132.

·         Irawanto, B. (2017). Mereguk Kenikmatan Di Dunia Maya  Virtualitas  Dan  Penubuhan  Dalam Cybersex.  Jurnal Kawistara 7(1), hal.  30-40. https://doi.org/10.22146/kawistara.23728.

·         Jones, G.W.  (2002).  The Changing Indonesian Household, dalam Women in Indonesia: Gender Equity and Development, Diedit oleh Robinson, Kathryn Robinson & Bessel, Sharon Bessel, Singapore:  Institute of Southeast Asian Studies hal.  219-234.

·         Liberti. (2017) Mencari Cinta di Biro Jodoh Tua. Detik.com. Dilihat 18 Maret 2020 dari https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20170602/Mencari-Cinta-di-Biro-Jodoh-Tua/

·         Morgan, D.H.J. (2009). Acquaintances: The Space Between Intimates and Strangers: The Space Between Intimates and Strangers (Sociology and Social Change). UK:  Open University Press.

·         Noviani, R. (2009). Performativitas Gender dalam Iklan Kontak Jodoh, dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer, Diedit oleh Abdullah, Irwan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 45-71.

·         Nurfazila, A.  (2015).  Self-Disclosure Perempuan Muda Di Platform Online Dating (Studi Pada   Mahasiswi   Pengguna   Aplikasi Tinder), Skripsi:  Universitas Indonesia.

·         Pertiwi, W.K. (2018) Pencari Jodoh Tinder Kini Punya 41 Juta Pelanggan Berbayar.  Tekno.kompas.com. Dilihat 4 April 2020 dari https://tekno.kompas.com/read/2018/11/07/16090017/layanan-pencari-jodoh-Tinder-kini-punya-4-1-juta-pelanggan-berbayar

·         Sabbadini, A., Kogan, I., and Golinelli, P. (2019).  Psychoanalytic Perspectives on Virtual Intimacy and Communication in Film.  London New York:  Routledge.

·         Wollburg, C. (2016). The History of Matchmaking and the Function of Intermediaries in the Marriage Market, Paper: Oxford University.  https://www.talenteck.com/academic/Wollburg-2016.pdf

0 comments:

Post a Comment