![]() |
Pelabuhan di Sambas pada tahun 1845 yang dipenuhi oleh kapal-kapal Jung dari Tiongkok (Sumber: wereldculturen) |
(Mahasiswa Pend. Sejarah Universitas PGRI Pontianak)
Keberadaan orang-orang Cina yang bermigrasi dari negerinya ke pantai Barat Borneo, awalnya hanya singgah di tepi-tepian sungai untuk membuka lahan pertanian. Akan tetapi wilayah ini semakin dilirik saat dibukanya tempat penambangan emas di Mandor dan Monterado yang kemudian berkembang menjadi kongsi-kongsi.
Pada tahun 1745, Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah secara besar-besaran mendatangkan imigran Cina untuk dijadikan buruh, mengelola penambangan emas dan intan di Mandor dan Monterado. Saat itu para pekerja yang didatangkan oleh kedua pemimpin itu adalah pekerja tambang emas dari wilayah Hainan yang memiliki keahlian dan ketekunan dalam pekerjaan menambang emas. Kebanyakan dari mereka berangkat dari Hainan terlebih dahulu mampir di Brunei, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Sambas dan Mempawah. Demikian disampaikan Aju yang menceritakan sejarah awal masuknya orang-orang Tionghoa dalam bukunya yang berjudul Tionghoa Dalam Kekerasan Politik di Kalimantan Barat (2017). Para penguasa Melayu menjalin hubungan kerjasama dengan para buruh penambang emas untuk mendapatkan penghasilan tambahan dalam bentuk pembayaran konsesi. Poerwanto dalam Orang Cina Khek Dari Singkawang (2005), menyebutkan pembayaran tersebut dilakukan oleh buruh Cina yang bekerja di penambangan kepada penguasa Melayu sebagai imbalan atas izin, peralatan, dan makanan yang didapatkan mereka selama bekerja.
Pekerjaan
Pendatang Tiongkok di Kalimantan Barat
Turunnya izin dari penguasa Melayu kepada
orang Cina untuk mengusahakan penambangan emas, menyebabkan daerah pedalaman
semakin banyak didatangi orang Cina. Berikutnya muncul perkampungan Cina di
daerah pertambangan. Pada dasarnya keberadaan deposit emas di pedalaman telah
lama diketahui. Poerwanto dalam penelitiannya di atas menyebutkan, tambang emas itu biasa dieksplorasi orang Dayak atas izin dari
penguasa Melayu. Seiring perkembangan, tambang emas yang
dikelola oleh orang Cina mengalami pertumbuhan yang pesat sehingga banyak
mengundang pendatang-pendatang Cina yang baru, semakin hari mereka menganggap
bahwa mereka semakin kuat dan kaya.
Keberhasilan secara ekonomi dari hasil pertambangan emas ini, telah menimbulkan
persoalan baru dalam hubungan dengan sultan Sambas.
Tambang emas bukan satu-satunya daya tarik
lagi bagi mereka ke Borneo Barat.. Dalam perkembangannya imigran Cina yang
sudah bekerja di pertambangan juga melihat banyaknya potensi kekayaan alam yang
dimiliki wilayah ini. Bahkan tidak sedikit pendatang Cina yang bermukim di
pesisir pantai memilih membuka lahan pertanian untuk bercocok tanam dan
memelihara ternak. Oleh sebab itu, kebutuhan orang Cina yang tinggal di
pedalaman dapat terpenuhi tanpa bergantung pada kesultanan.
Ada empat keunikan yang menjadi ciri khusus Cina, yaitu kegiatan agraris, jumlah mereka yang semakin meningkat, komposisi dan penyebaran penduduk serta, faktor emas dan intan. Hal ini menjadikan empat faktor yang saling terkait dalam memberi corak khas dalam sejarah koloni Cina di Borneo Barat. Kegiatan agraris dan pertambangan Cina saling melengkapi dan mengisi. Pola perekonomian yang dipilih dimaksud untuk eksistensi dan sufisiensi para imigran. Pilihan ini di satu pihak memperkuat tendensi mengelompok orang Cina, serta di pihak lain merongrong peranan ekonomi bumiputera dan sultan sebagai penyedia bahan kebutuhan pokok para imigran. Terlebih karena keterlibatan dalam sektor agraris ini bertolak belakang dengan larangan penguasa Melayu. Akan tetapi orang-orang Hakka dan Hoklo yang di negeri asal adalah petani, menganggapnya penting aktivitas agrarisnya demi eksistensi budaya mereka.
Pos Ekonomi Cina di Singkawang
Dari setiap aktivitas masyarakat Cina, diwajibkan membayar pajak kepada kongsi. Pasar merupakan pusat untuk melakukan kegiatan jual beli/perdagangan, dimana terdapat pasar lama di Singkawang yang diperkirakan sebuah kompleks perdagangan yang digunakan orang-orang Cina menjual hasil pertanian, ternak dan kegiatan ekonomi lainnya. Tidak hanya itu, terdapat sarana infrastruktur yang berkembang sekitar awal abad ke-20, berupa dua buah hotel. Hal ini berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang pesat di Singkawang.
Di Singkawang ada sebuah wilayah yang
bernama Kali Asin memiliki penggilingan garam, karena tempat ini merupakan
penghasil garam yang dikenal juga dengan sebutan Pemukiman Yam Tang (bendungan atau lapangan garam). Tidak jauh dari pemukiman
Yam Tang terdapat satu perkampungan
yang bernama Sa-liung atau yang
dikenal padang pasir. Di tempat ini memiliki kandungan pasir dan kaolin yang
digunakan imigran Cina sebagai pembuatan keramik dengan berciri khaskan
kebudayaan dan tradisi asli mereka di dataran Cina. Singkawang berada di
wilayah yang sampai pertengahan abad ke-19 sering disebut oleh pemerintah
Hindia Belanda sebagai Distrik Tionghoa. Sampai pada 1848, wilayah ini
merupakan salah satu bagian dari Keresidenan Sambas, salah satu dari tiga
keresidenan yang berada dibawah
kekuasaan Belanda di Borneo.
Pada kejayaan kongsi, Singkawang menjadi
semacam kota satelit dari kongsi besar yang berpusat di Monterado. Namun
Singkawang lebih menjanjikan orang-orang Cina memiliki profesi lebih beragam
selain penambang dan petani. Perlu menjadi catatan bahwa petani termasuk
kelompok masyarakat yang sejak pertama telah mendiami tanah pinggiran
Singkawang mengingat tanah sekitaran Singkawang termasuk tanah yang subur.
Dalam kondisi tanah yang subur inilah pesisir Singkawang sangat cocok untuk
ditanami padi. Jumlah petani di Singkawang mulai bertambah sejak abad ke-19 M
dikarenakan perpindahan orang-orang akibat dari pertikaian antar kongsi dan
serangan militer Belanda.
Berkembangnya
Kongsi-Kongsi Orang Cina di Kalimantan Barat
Pada akhir abad ke-19, kegiatan
perdagangan mengalami kemajuan dari berbagai komoditas dagang seperti, karet,
kopra, sarang burung, lada dan berbagai hasil bumi lainnya. Pasar merupakan
tempat pemukiman masyarakat Tionghoa, saat masih sebagai kampung aktivitas
perdagangan yang berlangsung di ruko dan pedagang kaki lima di jalan antara
deretan ruko hanya berlangsung sampai sore hari. Para pedagang Tionghoa yang
mempercayai bahwa rezeki datang di pagi hari memulai aktivitasnya pada dini
hari. Interaksi antara pedagang Cina dengan para pembelinya sangat terbatas hal
ini dikarenakan para pedagang hanya memiliki pemahaman bahasa yang minim
sehingga menyulitkan mereka dalam berinteraksi kepada pembeli. Hal ini yang
membuat istilah baru, yaitu perdagangan bisu.
Untuk itu penawaran barang dagang yang dilakukan oleh para pedagang Cina dengan cara meletakkan daftar harga dan saat mereka melakukan komunikasi dibantu oleh para pekerja Melayu. Seiring dengan perjalanan waktu, perdagangan bisu dari tahun ke tahun mulai berkurang karena sekolah untuk orang Tionghoa juga dimasukkan bahasa Melayu, sehingga para pedagang Cina mulai memahami dan mudah berkomunikasi. Perlahan-lahan karena kemajuan dan kemakmuran mereka lebih menonjol dibanding kemakmuran orang pribumi, setelah merasa kaya dan kuat, pada tahun 1760 beberapa pemimpin pekerja tambang mendirikan “kongsi” dengan pengelompokan anggota menurut suku asal mereka di Cina. Sebagai gambaran betapa kayanya tambang emas yang mereka kerjakan, dari beberapa lokasi pertambangan dapat menghasilkan pundi-pundi tidak kurang dari 4.744.000 dollar Spanyol setahun.
Menurut Vlerming Jr. (1989), ada tiga jenis kongsi yang dikembangkan oleh orang Cina. Pertama, Bohan kongsi dimana jenis ini mirip dengan firma Barat. Kalau dua orang atau lebih menyatakan hendak mendirikan bohan kongsi, maka suatu perjanjian yang dibuat harus ditandatangani oleh para persero. Kedua, liangkap kongsi dimana perseroan ini terdiri dari persero-persero dengan tanggung jawab terbatas dan tidak terbatas. Terbatas hanya bertanggung jawab sampai jumlah modal yang disetor. Sedangkan persero dengan tanggung jawab tidak terbatas harus bertanggung jawab sebagaimana dalam bohan kongsi. Ketiga, kohun yuhan kongsi, persero ini mirip dengan bentuk perseroan terbatas Belanda, tetapi tunduk pada beberapa ketentuan misalnya jumlah pendiri minimal harus tujuh orang, yang harus menyusun dan menandatangani akta pendiriannya. Demikian hasil penelitian Jauhari Musa yang berjudul Kongsi Orang Cina di Monterado Kalimantan Barat (1999).
Masyarakat Cina mempunyai pandangan bahwa individu adalah bagian dari keluarga, keluarga bagian dari clan, dan clan merupakan bagian dari seluruh bangsa. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa dalam menjalin kerjasama ekonomi orang Cina selalu bermitra dengan anggota keluarga atau sahabatnya. Kongsi yang ada di daratan Cina merupakan kongsi usaha yang hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan di bidang ekonomi. Sedangkan di Monterado kongsi itu berubah bentuk selain menjadi kongsi usaha juga bermaksud politis. Kongsi usaha bertujuan untuk mengakumulasi modal usaha sebesar mungkin dan meraup keuntungan yang maksimal secara kolektif. Persaingan antara kongsi-kongsi Cina sering menimbulkan konflik yang pada dasarnya terjadi karena adanya perebutan tambang-tambang emas yang merupakan sumber mata pencahariannya. Misalnya konflik kongsi Tai-ko Lo Fong yang ingin menaklukkan kongsi-kongsi disekitarnya.
0 Comments