dr. Rubini (duduk paling kiri gambar), waktu bergabung bersama klub sepakbola Oliveo di Batavia, 1928 (NIBV, 1934) Oleh: M. Rikaz Prabowo | Redaksi Majalah Riwajat |
Rubini muda gemar olahraga, menjuarai kompetisi senam di STOVIA dan tergabung dalam klub sepak bola profesional 'Oliveo'. Ketika ditugaskan di Pontianak turut mendorong lahirnya klub sepak bola bumiputera dan menjadi ketua Sportsvereeniging 'Excelsior'. Pada tahun 1942, menggunakan tenis sebagai taktik untuk menghadapi Jepang.
Menjadi seorang dokter seyogyanya mengharuskan diri sendiri untuk berperilaku hidup sehat sehingga dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Dalam dunia kedokteran, menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dengan berolahraga. Olahraga dinilai sebagai salah satu cara ampuh untuk menjaga kesehatan jiwa dan raga, kerap menjadi salah satu 'resep' yang turut diberikan oleh dokter kepada pasien dewasa kini. Sebenarnya hal ini bukanlah sebuah yang baru, dr. Rubini sejak tahun 1920an ketika masih bersekolah di STOVIA telah mempromosikan olahraga sekaligus menjadi olahragawan.
Keterlibatan dr. Rubini dalam aktivitas olahraga dapat dilacak pada beberapa jenis literatur seperti surat kabar. Olahraga yang ia tekuni juga cukup beragam. Harian De Locomotief edisi 18 Maret 1921 mengabarkan Rubini berhasil menjuarai salah satu nomor lomba senam antar mahasiswa STOVIA. Selain senam, Rubini juga dikenal piawai mengolah karet bundar (sepakbola). Bataaviasch Nieuwsblad 18 September 1928 mewartakan Rubini yang berhasil membawa tim sepakbola STOVIA kampiun pada ajang kompetisi sepakbola antar mahasiswa pada 1928. Selain STOVIA, ajang itu diikuti oleh tim sepakbola Technische Hooge School (THS) Bandung, Recht Hoogeschool (RHS) Batavia, dan Nederlands Indies Artsen School (NIAS) Surabaya.
Hal ini tidak mengherankan mengingat di tahun-tahun sebelumnya, Rubini mengisi waktu disela-sela studinya dengan bergabung di klub sepakbola profesional 'Oliveo'. Pada 1927, Rubini berhasil membawa Oliveo juara di Batavia, dan pada tahun 1928 berhasil mengalahkan Excelsior (Surabaya) dan Sidolig (Bandung). Oliveo tercatat menjadi salah satu klub sepabola yang berlaga di divisi utama liga Hindia Belanda kala itu. Demikian dalam buku 40 Jaar Voetbal in Nederlands Indie 1894-1934. Pencapaiannya itu menunjukkan kemampuannya dalam manajemen waktu yang baik, padahal di luar aktivitas akademiknya Rubini juga turut dalam arus pergerakan nasional. STOVIA sendiri dikenal sebagai wadah besar aktivis pergerakan kala itu. Selain Boedi Oetomo yang didirikan oleh dr. Soetomo pada 1908, Paguyuban Pasundan (PP) juga didirikan oleh sejumlah mahasiswa STOVIA dan kaum menak terpelajar di Batavia pada 1914. Diduga besar, bersama PP inilah Rubini juga mendalami politik kebangsaan yang mendorong lahirnya nasionalisme dalam dirinya.
Memimpin Sports Vereeniging
Jejak pemajuan olahraga yang dilakukan Rubini tidak berhenti saat di STOVIA saja. Empat tahun setelah lulus dari STOVIA (1930) dan mendapatkan gelar Indische Artsen, oleh Departemen Kesehatan ia dipindahtugaskan dari RS CBZ di Batavia ke Pontianak yang kala iu masuk dalam Westerafdeeling van Borneo (Keresidenan Borneo Barat). Disela-sela kesibukan menjalankan tugas utama memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dr. Rubini bergabung dalam Partai Indonesia Raya (Parindra) cabang Pontianak yang diakui sebagai cabang resmi pada tahun 1938. Ketergabungan dr. Rubini dalam Parindra merupakan ekspresi haluan politiknya, menunjukkan kebulatan tekadnya memajukan rakyat untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1939, dr. Rubini telah masuk dalam jajaran pengurus komisariat daerah Parindra Kalimantan Barat, salah satu programnya mendorong cabang-cabang untuk membentuk klub olahraga, khususnya sepakbola. Suwignjo dan Mansur dalam Sebelas Perintis Kemerdekaan Indonesia Dari Kalimantan Barat (1972), menyebutkan cabang Parindra di Landak berhasil memiliki klub sepak bola. Olahraga ini sendiri memiliki arti strategis bagi aktivis pergerakan, menurut Sembada dan Prasetyo dalam Aktualisasi Pancasila Dalam Sepak Bola Indonesia (2020), sepak bola dapat mempromosikan karakter sportif namun juga dapat digunakan untuk merekatkan persatuan. Pertandingan sepak bola sendiri dapat menjadi sarana efektif untuk mengumpulkan massa, yang dapat dimanfaatkan atau disusupkan dengan agenda politik.
Secara terpisah dr. Rubini juga turut memajukan olahraga melalui ketergabungannya dalam klub olahraga atau Sportsvereeniging yang ketika itu berkembang. Pada tahun 1937 dr. Rubini diangkat sebagai penasihat dalam klub olahraga 'Excelsior' di Pontianak sebagai penasihat. Di dalam 'Excelsior' sendiri berhimpun banyak orang dan tokoh bumiputera di Pontianak yang menaruh minat pada olahraga dan dibina secara khusus, diantaranya sepakbola dan atletik. Surat kabar Borneo-Barat pada 9 Maret 1939 mengabarkan dr. Rubini yang juga senang bermain olahraga tenis, telah duduk sebagai ketua S.V 'Excelsior' menggantikan M. Dodoh.
Kemauan dr. Rubini menjadi pengurus SV tidak hanya dipandang karena kegemarannya pada olahraga. Lebih dari itu, SV juga memiliki arti strategis dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Dalam kacamata aktivis pergerakan, organisasi-organisasi SV yang dibentuk oleh kaum bumiputera merupakan tandingan dari organisasi serupa yang dibentuk oleh Belanda yang bersifat eksklusif. Berisikan hanya kalangan orang-orang Eropa dan golongan bangsawan dengan privilese yang terlalu menguntungkan mereka. Sebaliknya SV-SV yang didirikan oleh kaum bumiputera lebih bersifat inklusif namun tetap independen, dan memastikan tidak akan menghilangnya sifat-sifat nasional pada organisasi mereka. Selain mempromosikan kesehatan, juga menggalang nilai-nilai seperti persatuan dan solidaritas yang dilandasi semangat atau kebudayaan bangsa Indonesia. Demikian Hariyoko dalam Sejarah Olaharaga dan Perkembangan Pendidikan Jasmani di Indonesia (2019).
Berpura Kooperatif Melalui Tenis
Kegemaran dr. Rubini akan olahraga tidak berhenti saat kekuasaan Belanda di Indonesia berakhir sekitar Maret 1942. Nyatanya ia tetap gemar melakoni olahraga ketika Kalimantan Barat telah berada di bawah bayang-bayang pendudukan Jepang. Ada sebuah kisah menarik dimana dr. Rubini pernah memenangi kompetisi tenis yang diadakan pemerintah pendudukan Nippon. Lawannya tidak hanya para petenis bangsa Indonesia, namun juga dari kalangan Jepang seperti pegawai pemerintah dan opsir.
Kompetisi tenis itu sebenarnya bentuk kamuflase dari haluan perjuangan kooperatif yang dilakukan dr. Rubini bersama aktivis-aktivis lainnya. Kala itu Jepang membubarkan semua partai politik dan organisasi yang ada, termasuk Parindra. Agar perjuangan mencapai kemerdekaan tidak terhenti, maka para aktivis secara rahasia memutuskan untuk mengambil haluan kooperatif dalam menghadapi Jepang sembari melakukan konsolidasi dan melihat peluang yang ada. Rivai dalam Peristiwa Mandor (1978), menyebutkan aktivis-aktivis pergerakan itu kemudian mendirikan organisasi selubung bernama Nissinkwai yang ternyata direstui opsir-opsir Jepang. Nissinkwai diketuai oleh R.P.M Noto Soedjono dimana dr. Rubini duduk sebagai salah satu wakilnya.
Pengurus Nissinkwai berusaha untuk berpura-pura menjaga hubungan baik dengan Jepang, salah satunya dengan mengikuti kompetisi tenis. Surat kabar Borneo Barat Shinbun mewartakan pada 7 Oktober 1942, dr. Rubini yang berpasangan dengan Masuda (orang Jepang) berhasil mengalahkan pasangan Miura-Jatim dengan skor 13-6 pada pertandingan final tenis ganda putra. Ia pun bersama Masuda keluar sebagai juara dan diganjar dengan hadiah dari Jepang. Misi untuk membuat Jepang tidak menaruh curiga terhadap mereka (aktivis pergerakan) kelihatannya pun berhasil.
Sayangnya usaha-usaha pemajuang dr. Rubini melalui olahraga sebagai salah satu bentuk perjuangan ini harus berakhir pada tahun 1944. Pemerintahan pendudukan Jepang yang kemudian digantikan oleh angkatan laut kekaisaran (Kaigun) menaruh kecurigaan yang besar kepada orang-orang eks-aktivis. Nissinkwai pun akhirnya dibubarkan, sembari menyebar banyak telik sandi untuk memata-matai para aktivis. Gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh dr. Rubini pun akhirnya tercium oleh aparat Jepang, hingga akhirnya ditangkap dan gugur dalam Peristiwa Mandor pada 28 Juni 1944.
Baca Juga
0 Comments:
Post a Comment