Riwajat Talks Diskusikan Sejarah Perjuangan Dokter & Nakes di Kalimantan

Dokumentasi pelaksanaan diskusi Riwajat Talks 31/08 (Dok. Refti)


Oleh: Refti Yusli Ananda | Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tanjungpura


Redaksi Majalah Riwajat kembali mengadakan diskusi  bertemakan “Perjuangan Dokter dan Nakes Dalam Lintasan Sejarah di Kalimantan”. Diskusi menghadirkan 4 pemantik yang memiliki pengetahuan mendalam terkait dunia sejarah. Beberapa  pemantik diantaranya adalah Yusri Darmadi (Pamong Budaya Bidang Sejarah BPK Wilayah XII KaltengSel), M. Rikaz Prabowo (Akademisi Sejarah), Voka Panthara (Penggiat Sejarah Kalimantan) dan M. Aqif Alqhifari (Mahasiswa Pendidikan Sejarah). 

Diskusi kali ini dilakukan secara daring pada 31 Agustus 2024, dan terbuka untuk masyarakat umum dengan jumlah hingga 38 peserta. Kegiatan diawali dengan pembukaan oleh moderator yakni Jonathan Rizki (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Untan) yang dilanjutkan sambutan dari Dr. Basuki Wibowo selaku ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Kalimantan Barat. 

Pemaparan materi yang pertama dimulai oleh Yusri Darmadi, yang mengangkat topik “Perjuangan Dr. Soedarso dalam Revolusi Kemerdekaan”. Soedarso sendiri dikenal sebagai dokter di Kalimantan Barat yang menjadi pemimpin kaum republik selama periode 1945-1949 dan pernah dipenjara  di Lapas Cipinang oleh NICA. Selanjutnya adalah pemaparan materi oleh M. Rikaz Prabowo terkait dengan “Pengentasan Wabah TBC dan Stunting oleh dr. Rubini”. Seperti yang kita ketahui, dr. Rubini lahir di Bandung pada tanggal 31 Agustus 1906. Beliau adalah sosok pejuang sekaligus aktivis pergerakan di Kalimantan Barat yang sebelumnya pernah bekerja menjadi dokter di RS Grogol Batavia dan RS CBZ antara tahun 1930-1934. Beliau juga pernah diperintahkan ke Pontianak untuk meneliti wabah malaria selama 6 bulan.

Dilanjutkan oleh Voka Panthara yang membahas mengenai kisah-kisah dr. Soemarno saat penugasannya di wilayah Keresidenan Borneo Timur dan Selatan. Beliau menjelaskan dulunya dr. Soemarno sebelum menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta (1960-1966), pernah berdinas di Tanjung Selor (Bulungan), hingga ke wilayah selatan Kalimantan mulai dari Kuala Kapuas, Katingan, Martapura, hingga ke Banjarmasin. Ia diberi tugas untuk menangani penyakit umum yang diderita disana dan bergabung dalam pergerakan kebangsaan seperti Parindra.


(Dok. Majalah Riwajat)

Materi terakhir disampaikan oleh M. Aqif Alqhifari yang mengangkay “Mayor Alianyang Dari Perawat ke Komandan Laskar”. Seperti diketahui Alianyang lahir dengan nama Anjang pada 20 Oktober 1920. Alianyang pernah menempuh pendidikan pada masa Hindia-Belanda di Vervolg School, dan sekolah perawat Burgerlijke Ziekem Inrichting di Semarang. Setelah selesai mengeyam pendidikan dibidang keperawatan, akhirnya Alianyang diperintah untuk membantu di RSU Semarang sebagai mantri juru rawat hingga pernah menjadi mantri  juru rawat di RS Sungai Jawi Pontianak. Pasca kekalahan Jepang, ia masih sempat menjadi juru rawat di Pontianak. Akan tetapi pada tahun 1946 ia terjun dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di wilayah ini hingga berhasil menjadi komandan laskar Badan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) hingga tahun 1949. Semangat nasionalisme Alianyang yang tidak ingin lagi melihat Belanda hadir di Kalimantan Barat mendorongnya terjun di sekitar palagan Singkawang, Bengkayang, hingga Sambas. Aksi terakhir yang paling dikenal ialah pada 10 Januari 1949 dimana Alianyang memimpin penyerangan BPIKB ke tangsi KNIL di Sambas. 

Setelah berakhirnya pemaparan materi oleh 4 pemantik, selanjutnya adalah sesi diskusi. Salah satu pertanyaan yang cukup menarik dari peserta ialah tentang banyaknya pejuang dan pahlawan Indonesia yang berlatar belakang pendidikan dokter atau tenaga kesehatan dan teknik.  Menanggapi hal itu menurut Voka Panthara, pada awalnya pendidikan/sekolah-sekolah pada masa Hindia Belanda mengarahkan kepada penduduk pribumi untuk memasuki sekolah tinggi dalam bidang kesehatan dan teknik. Hal ini disebabkan karena pada masa itu penanganan  penyakit masih terbilang sangat rumit dan terbatasnya tenaga kesehata, ditambah minimnya akses-akses kesehatan. Hingga pada akhirnya pemerintah Hindia-Belanda membutuhkan  tenaga bantuan dengan memanfaatkan penduduk bumiputera pada masa itu. Salah satu penyakit yang menyerang adalah cacar yang kala itu mematikan. Banyak lulusan sekolah kesehatan itu diangkat menjadi mantri cacar pada awalnya Lebih dari itu, lambat laun pemerintah kolonial berfikir diperlukannya pengembangan dibidang teknik. Hal ini dikarenakan wilayah Hindia-Belanda dikenal cukup luas dan adanya proses industrialisasi.

Melalui diskusi Majalah Riwajat diharapakan kepada mahasiswa dan tentunya masyarakat luas untuk tetap terus mengingat dan mengenang jasa para tokoh pahlawan yang sudah berjuang di seluruh Indonesia khususnya wilayah Kalimantan. Dengan diselenggarakannya diskusi ini, tentunya peserta memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terkait fakta-fakta sejarah yang sebelumnya mungkin kurang diketahui


Baca Juga:

0 Comments:

Post a Comment