Ticker

7/recent/ticker-posts

Bersama KUWAS Telusuri Pasar Tengah Pontianak Sejak Era Kolonial

Peserta telusur Pasar Tengah Komunitas Wisata Sejarah (KUWAS), (13/10). (Sumber: Dok. M. Aqif)

Pewarta: M. Aqif Alghifari 


Komunitas Wisata Sejarah (KUWAS) Pontianak mengadakan program telusur Pasar Tengah yang dibangun sejak era kolonial dan sebagian besar masih bangunan asli.

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (sekitar tahun 1800-an), Pontianak menjadi salah satu Afdeeling sekaligus pusat dari Keresidenan Westerafdeeling van Borneo (Sekarang Provinsi Kalimantan Barat). Kecamatan Pontianak Kota adalah lokasi orang Eropa bermukim di Pontianak. Wilayah Kecamatan Pontianak Kota layak mendapat predikat kota tua, mengingat hingga saat ini masih banyak dijumpai bangunan serta kawasan yang sudah ada sejak masa Kolonial Belanda. Salah satu kawasan yang sudah ada dan memiliki fungsi yang sama sejak masa Kolonial Belanda adalah kawasan Pasar Tengah atau Pasar Parit Besar.

Komunitas Wisata Sejarah (KUWAS) Pontianak pada hari Minggu, 13 Oktober 2024 mengajak masyarakat telusuri Pasar Tengah Kota Pontianak. Area sekitar toko Buku Menara menjadi titik kumpul 24 orang peserta yang akan mengikuti kegiatan ini. Awan mendung dan suhu dingin tidak menurunkan semangat peserta dan pemandu.


Khofifah Nur Rahmah, penggiat KUWAS sedang memberikan materi
(Sumber: Dok. M. Aqif)


Kegiatan ini dipandu langsung oleh tiga pegiat KUWAS, Reyhan Ainun Yafi, Annisa Januarsi, dan Khofifah Nur Rahmah. Sekitar pukul 16.00 WIB kegiatan dimulai, diawali dengan penyampaian materi Kota Kolonial Pontianak oleh Khofifah Nur Rahmah. “Saat ini kita sedang berada di kawasan kota konial, namun bukan dipusatnya. Pusat kota kolonial ada disekitar Taman Alun Kapuas.”

Rahmah juga menjelaskan sejarah Pasar Tengah, “Belanda bisa mendirikan banyak fasilitas di kawasan ini karena membuat perjanjian dengan pihak Kesultanan Pontianak. Mereka meminta tanah seluas kulit kerbau. Kulit kerbau mereka iris tipis-tipis seperti benang. Mereka ukur dan mencapai 1000 m2. Mulai dari parit di Jalan Diponegoro hingga ke Jalan Tengku Umar, belok ke Jalan Johar hingga di RS Antonius, berbalik ke Pelabuhan dan memutar sampai Taman Alun dan ditutup lagi dengan parit di Jalan Diponegoro adalah kawasan milik Belanda.”

“Pasar Tengah sendiri dibangun oleh Belanda karena tepat di depannya (seberang Jalan Tanjungpura) adalah kawasan pemukiman orang Eropa. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka perlu tempat untuk melakukan proses jual beli.”


Parit Besar yang kini menyempit karena pembangunan ruko
dahulunya terdapat Pasar Apung. (Sumber: Dok. M. Aqif)

“Pasar Tengah adalah pusat jual beli kebutuhan primer dan sekunder pada masa Kolonial di Pontianak. Kapal dan parahu adalah sarana transportasi yang dimanfaatkan untuk mengangkut komoditas dagang. Pada tahun 1877, parit dibelakang kios pedagang ini dahulu berukuran besar, hingga bisa dilewati banyak perahu dan kapal dagang. Di parit ini pula terdapat pasar apung. Hingga pasar Tengah juga disebut sebagai Pasar Parit Besar”.

Reyhan menjelaskan bahwa pembangunan Jalan Tanjungpura yang dimulai sejak tahun 1840 dan diperkenalkannya sistem ruko adalah penyebab bergesernya konsep pasar apung ke pasar darat. Sejak tahun 1927, parit-parit mulai ditimbun tanah karena konsep pasar apung mulai digantikan dengan pasar darat menggunakan bangunan (ruko) dengan bahan dasar batu yang sukar terbakar. Parit yang awalnya berukuran besar menjadi semakin kecil seiring bertambahnya bangunan di darat. 

Peserta diajak berjalan kaki kearah ruko-ruko yang menjajakan kopi. Bukan hanya untuk melihat warung kopi yang sudah berjualan sejak masa kolonial Belanda, peserta juga diajak untuk melihat ruko yang digunakan untuk studio dan percetakan foto dan ruko percetakan koran, majalah, kalender, dan brosur yang dibangun oleh orang Jepang dan Tionghoa pada masa kolonial Belanda. Adapun studio foto tersebut adalah milik M. Honda, salah satu fotografer berkebangsaan Jepang yang diduga sebagai mata-mata tentara Jepang.

Setelah melihat ruko bekas studio dan percetakan foto serta ruko-ruko yang menjajakan kopi dipinggir Jalan Tanjungpura, peserta diajak menyusuri gang-gang kecil hingga sampai di lokasi yang terkesan kumuh. Dibalik kumuhnya lokasi, terdapat bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah percetakan pada masa Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang di Pontianak. Terdapat tulisan berbahasa Cina dan berbahasa Belanda pada bagian atas bangunan. Tertulis juga nama orang yang diduga sebagai pemiliknya, yaitu Phin Min.

Bangunan Ruko Percetak Phin Min (Sumber: Dok. M. Aqif)

“Bangunan percetakan Phin Min adalah salah satu bukti renovasi besar-besaran yang dilakukan pada tahun 1927 hingga 1930. Bahan dasar bangunan yang awalnya terbuat dari kayu, beralih menggunakan beton permanen. Percetakan ini menerbitkan beberapa majalah pada masa Kolonial Belanda dan pada masa Pendudukan Jepang, aktifitas percetakan lebih massif. Bukan hanya majalah, namun juga mencepat surat kabar untuk kebutuhan propaganda Jepang. Hasil cetakannya tidak ada yang menjelekan Jepang, agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan.” 

“Setelah masa pendudukan Jepang, pamor percetakan Phin Min mulai redup. Hingga saat ini terbengkalai, dapat dilihat dari benda-benda yang digantung pada pintu bangunan ini.” Terang Reyhan.

Menjelang berakhirnya Telusur Pasar Tengah, Annisa menyampaikan, “Selain parit di Pasar Tengah ini, Sungai Jawi adalah batas daerah milik Belanda. Sungai Jawi dan Parit Besar (Parit di Pasar Tengah) adalah kanal utama, parit sekitarnya adalah pendukung. Bahkan dahulu terdapat jempatan yang dapat membuka-tutup ketika ada kapal yang ingin melintas. Perahu dagang dikenakan pajak. Pajak perahu yang semakin tinggi juga penyebab ditinggalkannya konsep pasar apung”

“Orang Tionghoa membayar pajak secara ke kantor Belanda. Pasar Parit Besar memang pusat perekonomian pada masa itu, namun ruko di pasar dikuasai oleh etnis Tionghoa. Masyarakat Pribumi harus bersaing dengan orang Tionghoa. Pribumi yang awalnya bedagang di atas perahu, naik ke darat dan menyewa halaman depan ruko orang Tionghoa. Mereka berdagang menggunakan terpal (seperti lapak pedagang kaki lima atau PKL) dan ketika ingin tutup, terpalnya harus dikemas lagi. Sejak masa itu PKL semakin banyak dan semrawut.

Antusias peserta sangat tinggi, dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan yang disampaikan oleh peserta kepada ketiga pemandu dari Kuwas. Di akhir kegiatan, pegiat Kuwas mempromosikan kegiatan yang akan dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Oktober 2024 yaitu Telusur Kota Tradisional. 

Post a Comment

0 Comments