Konser Koes Plus di Istora Senayan, 1972 (Sumber: Hadi Tjahjaindra via kompas.id) |
Dosen Antropologi Universitas Khairun, Ternate
Musik pop Indonesia bisa dibilang serupa dengan musik pop global, utamanya musik rock barat pasca-1960, hanya disisipi dengan beberapa konten lokal dan lirik yang berbahasa Indonesia.
'Hiburan’ was in all important respects a Western music, shallowly rooted in Indonesia. I suggest that hiburan’s importance to Indonesians lay more in its “theatre” than in its music: it demonstrated that Indonesian performers and Indonesian languages could be incorporated into a clearly Western context. When pop emerged, demonstrating the same thing with greater energy, and linking its audience to the dreamworld of Western entertainment media, hiburan dried up and blew away.
Sama halnya dengan musik-musik seperti Salsa dan Latin yang dicaplok oleh musik pop untuk kepentingan industri kapitalis, ‘hiburan’ pun bernasib demikian. Musik pop yang memiliki energi yang amat besar dengan dukungan industri kapitalis, dengan mudahnya mengubah selera khalayak hingga memunculkan apa yang disebut sebagai ‘pop Indonesia’.
Secara struktur sebenarnya musik pop Indonesia bisa dibilang serupa dengan musik pop global, utamanya musik rock barat pasca-1960, hanya disisipi dengan beberapa konten lokal dan lirik yang berbahasa Indonesia. Fenomena The Beatles pun ikut mempengaruhi musik pop Indonesia dengan Koes Plus sebagai “pengikut” utamanya. Musisi yang tenar di era 1970-an hingga 1980-an seperti Emilia Contessa, Eddy Silatonga, dan Koes Plus menguasai “panggung” musik pop Indonesia, begitu juga para penyanyi ballad macam Grace Simon, Betharia Sonatha, Diana Nasution, dan Bob Tutopoly. Era tersebut ialah masa di saat musik soft pop berjaya.
Mengadopsi gaya soft pop dengan menyisipkan beberapa konten lokal, penyanyi seperti Elly Kasim dan Hetty Koes Endang mampu mencuri perhatian. Keduanya memadukan konten musik lokal seperti melayu dan keroncong dengan musik pop kala itu. Hetty Koes Endang pun menuai sukses dengan gayanya yang “berbeda” kala itu di mana ia dalam sebulan bisa tampil sebanyak 25 kali dengan jumlah penonton yang berjibun. Kesuksesan Elly Kasim dan Hetty Koes Endang dengan “kelokalan” mereka tersebut menginspirasi lahirnya subgenre musik Indonesia seperti ‘pop Batak’ dan ‘pop Jawa’ yang berani menggunakan bahasa daerah dalam liriknya. Nyatanya, subgenre musik macam itu berhasil mencuri pasar penjualan kaset kala itu sebesar dua puluh persen.
Subgenre lain yang berhasil menaklukan rimba musik populer Indonesia ialah ‘pop ringan’ yang ditandai dengan lirik yang sederhana dan instrumentasi yang amat kebarat-baratan. Musiknya bisa ke arah ballad ataupun disco, namun tetap saja kebanyakan bertema romantis. Generasi awal yang sukses dengan ‘pop ringan’ ini adalah dua band legendaris Indonesia; Koes Plus dan The Mercy’s. Kemudian terkenal juga dengan gaya ini ialah penyanyi-penyanyi legendaris Indonesia macam Broery Marantika, Andi Merriem, dan Betharia Sonatha, serta dua komposer kondang Andi Riyanto dan Rinto Harahap. Meski sukses dalam menggaet pasar, musik seperti ini dianggap mengabaikan kesadaran sosial-politik seperti halnya diungkapkan oleh Piper dan Jabo (dalam Lockard, 1998: 85) sebagai berikut:
Is Indonesian pop music able to describe the face and thoughts of Indonesian society at large? Does it give a clear picture of the life and concerns of society? No. If we listen only to soft pop with its love lyrics travelling in the same old tracks, it is impossible for us to gain any ideas of the thoughts or social trends in Indonesia
Pada dekade 1980-an, kesadaran sosial-politik mulai muncul
dalam musik pop Indonesia. Salah satu contohnya ialah lagu “Singkong dan Keju”
yang dipopulerkan oleh penyanyi pop Sunda Arie Wibowo. Lagu tersebut
memunculkan konflik antar kelas yang terjadi antara kelas pekerja yang ditandai
dengan kata ‘singkong’ dan kelas atas yang kebarat-baratan yang ditandai dengan
kata ‘keju’. Lagu tersebut memang masih bertemakan cinta, lebih tepatnya cinta
beda kasta. Namun, lagu tersebut mampu menampilkan perdebatan antar kelas yang
cukup jarang di zamannya. Lagu lain yang menampilkan pandangan kelas pekerja
ialah “Sepatu Kulit Rusa” yang dipopulerkan oleh Ria Rasty Fauzi. Pada lagu
tersebut, ia mengkritik “pasangannya” yang menawarkannya barang-barang impor
yang mahal dan “berkelas” seperti dollar Amerika, baju dari Singapura, sepatu
kulit rusa, dan tas kulit buaya karena ia sepenuhnya lebih memilih
barang-barang lokal buatan dalam negeri, Indonesia. Yamashita (1988: 114)
menyebut hal tersebut sebagai bentuk dari “nasionalisme singkong” kelas pekerja
guna mengkritik gaya hidup kaum elit di Indonesia yang cenderung
kebarat-baratan.
Beralih ke tahun 1988, kala itu Betharia Sonatha menjadi sebuah fenomena dalam belantika musik populer Indonesia. Lagunya yang berjudul “Hati Yang Luka” begitu sukses di pasaran sebagaimana diungkapkan oleh Yampolsky (dalam Lockard, 1998: 86) bahwa lagu tersebut dimainkan di mana-mana kala itu; para asisten rumah tangga menyanyikannya di dapur, musisi jalanan menyanyikannya sembari mengamen, bahkan delapan bulan setelah lagu tersebut dirilis ia masih mendapati album Betharia Sonata diputar sebanyak lima kali dalam sebuah perjalanan bus. Liriknya yang bercerita mengenai laki-laki yang mencurangi perempuan ditambah persona pada lagu tersebut yang berfokus pada kehidupan rumah tangga pasangan yang telah menikah membuat “Hati Yang Luka” tampak berbeda dibanding lagu bertema cinta di zamannya yang lebih banyak bercerita tentang romansa remaja, terutama di masa-masa SMA. Namun, yang paling utama “Hati Yang Luka” mengungkap suatu fenomena yang dianggap tabu kala itu: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Album Betharia Sonatha (Sumber: Tokopedia) |
Perempuan yang bercerai atau ditinggalkan oleh pasangan memang menjadi sosok marginal dalam masyarakat Indonesia dan “Hati Yang Luka” berusaha menyuarakan hal tersebut. Meski demikian, pemerintah justru mencoba untuk membungkam suara tersebut dengan dalih lagu “cengeng” macam itu justru merusak moral bangsa dan kesatuan nasional. Pembungkaman itu terwujud dalam larangan tampil bagi lagu-lagu dengan genre “cengeng” di televisi. Kebijakan yang jelas menjadi kontroversi; ada yang mendukung, banyak pula yang menentang karena perempuan seakan dilarang untuk menyuarakan pendapatnya. Pada akhirnya pemerintah hanya memperbolehkan lagu-lagu bertempo cepat atau upbeat bertema cinta dan indahnya pernikahan yang boleh ditampilkan di televisi, tapi lagu-lagu “cengeng” bertema putus cinta dan konflik rumah tangga masih diperbolehkan diproduksi hanya dalam bentuk kaset. Kontroversi yang mewarnai kiprah “Hati Yang Luka” inilah yang meningkatkan nilai jual lagu tersebut dan ini terbukti dari hasil penjualannya yang menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah musik populer Indonesia. Terlepas dari itu, Yampolsky (dalam Lockard, 1998: 87) berpendapat bahwa lagu seperti “Hati Yang Luka” ini mampu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap sebuah fenomena sosial melalui medium musik populer; hal yang sering kali terlewatkan karena kepentingan penguasa dan industri kapitalis.
Daftar Pustaka
Barendregt, Bart. 2014. Sonic Modernities in the Malay World: A History of Popular Music, Social Distinction, and Novel Lifestyles (1930s-2000s). Boston: Brill.
Lockard, Craig. 1998. Dance of Life: Popular Music and Politics in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
Negus, Keith. 1996. Popular Music in Theory: An Introduction. Connecticut: Wesleyan University Press.
Sonata, Betharia. 1990. Hati Yang Luka. Jakarta: Musica
Studio’s.
0 Comments:
Post a Comment