Ilustrasi suasana pedesaan di tepian Sungai Matan era Kerajaan Tanjungpura (Sumber: Lembang Simpang Mandiri) |
Oleh: Miftahul Huda | Lembaga Simpang Mandiri
Dikenakan bagi perempuan yang telah memasuki masa haid, tradisi lisan mengisahkan praktik ini dimulai sejak era Kerajaan Tanjungpura abad ke-16 M.
“Belamin” atau “lamin” adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kayong (Ketapang dan Kayong Utara), khususnya untuk anak perempuan keturunan bangsawan saat datang bulan pertama kali. Selain disebut Belamin, sebagian juga ada yang menyebutnya “bepekap” dan “bekurong”. Bepekap atau bekurong arti secara bahasa adalah “bersembunyi”.
Dalam tradisi belamin ini, si anak
perempuan ditempatkan pada satu ruangan (tempat lamin), yang tertutup rapat,
tidak boleh sama sekali terkena sinar matahari hingga beberapa saat lamanya.
Waktu lamin sendiri saat ini adalah 3-7 hari. Namun jika dahulu ada yang 1–7
tahun, bahkan ada yang sejak datang haid pertama sudah dilamin, hingga ia
dilamar baru keluar dari lamin.
Tradisi belamin ini erat kaitannya
dengan legenda yang masih berhubungan dengan asal mula berdirinya Kerajaan
Tanjungpura pada abad ke-15 M. Dalam buku Napak
Tilas Kerajaan Tanjungpura yang disusun oleh oleh Gusti Muhammad Mulia
(2008), kisah yang dituturkan secara lisan (tradisi lisan) oleh sebagian besar
masyarakat Kayong; Prabu Jaya merupakan pangeran dari Majapahit menikah dengan
Dayang Kutong (kudong)/Dayang Potong, atau yang juga dikenal dengan nama Putri
Junjung Buih.
Nama Dayang Kutong terdiri dari dua
kata; Dayang yang berarti gadis, sedangkan Kutong (kudong) dalam bahasa melayu
Kayong berarti tidak memiliki fisik yang sempurna, seperti halnya kaki dan
tangannya yang tidak genap.
Berdasarkan tradisi lisan yang
dituturkan, Dayang Kutong memiliki 6 saudara kembar, sedangkan ia adalah yang
paling bungsu. Dikisahkan ketika semua saudara Dayang Kutong keluar dari bilah
bambu dengan tubuh yang sempurna, sementara Dayang Kutong merasa enggan untuk
keluar, sebab ia malu tubuhnya tak sempurna seperti saudaranya yang lain. Namun
atas bisikan dari Tuhan, diperintahkan kepada Dayang Kutong agar ia melakukan
ritual Belamin.
Setelah ia melakukan ritual belamin,
secara ajaib genaplah anggota tubuh Dayang Kutong. Maka sejak itu, tradisi
belamin dilakukan oleh keturunan dari Dayang Kutong yang menikah dengan Prabu
Jaya dan menurunkan trah raja-raja Kerajaan Tanjungpura, Matan dan Simpang
Matan, serta raja raja di kerajaan yang tersebar di Kalimantan bagian
barat.
Dalam versi yang lain dikisahkan
asal mula tradisi Belamin ini bermula dari Prabu Jaya yang sedang menjala ikan,
namun saat itu ia justru menemukan mundam
(mangkok tertutup) yang berisi sehelai rambut. Karena rasa penasarannya, Prabu
Jaya kemudian terus mudik menuju ke hulu. Kemudian ia berjumpa dengan seorang
gadis yang berada diantara buih air yang sedang berada di dalam tetawak (gong).
Gadis tersebut tidak memiliki tangan dan kaki yang sempurna, ia sengaja
menghanyutkan diri bersama gong untuk mencari mundam yang berisi sehelai rambutnya.
Walaupun dengan kondisi fisik yang
demikian, Prabu Jaya merasa tertarik dengan gadis tersebut, kemudian ia pergi
bersama menghadap sang ayah si gadis bernama Siak Bahulun. Kemudian dengan izin
ayah Dayang Kutong, ia dibawa ke tanah Jawa untuk di lamin sebanyak 3 kali,
selama 7 hari berturut turut. Atas kehendak yang maha kuasa, maka genaplah
anggota tubuh dari Dayang Kutong, maka sejak saat itu, ia disebut sebagai Putri
Junjung Buih dan menikah dengan Prabu Jaya.
Setelah pernikahan, Prabujaya
bersama Dayang Kutong atau Putri Junjung Buih kembali ke Kalimantan. Prabu Jaya
kemudian membangun kerajaan Tanjungpura di Benua Lama (saat ini Desa Negeri
Baru Ketapang). Tak lama setelahnya ia memboyong Putri Junjung Buih ke Sukadana
sebagai ibu kota baru yang kelak menjadi bandar besar dan terkenal di Pulau
Borneo pada abad ke 15-17 M.
Tradisi belamin/bepekap merupakan hasil asimilasi adopsi dari berbagai campuran kebudayaan, namun yang dominan mewarnainya adalah budaya hindu, animisme, serta saat ini kental dengan nilai nilai Islam. Pengaruh Islam mulai mewarnai dalam budaya masyarakat kerajaan Tanjungpura pada awal abad ke-15 M. Salah satu bukti arkeologi yang tak terbantahkan adalah nisan dengan angka tahun 1417 M di komplek keramat tujuh dan keramat sembilan yang terletak di Desa Negeri Baru Ketapang. Kemudian beberapa Nisan bertipe Demak Tralaya yang ada di Sukadana, sudah ada sejak abad ke 15–16 M. Ditambah lagi saat itu Kerajaan Tanjungpura kemudian berubah menjadi Kesultanan Matan, maka nafas Islam semakin kental. Wajar apabila dalam adat istiadat Belamin sebagian besar ritual tetap menggunakan doa selamat, tolak bala`, serta do`a Islami lainnya. Demikian penelitian Karpina dalam Makna Simbolik Tradisi Belamin Pada Masyarakat Di Desa Mulia Kerta Kabupaten Ketapang (2020).
Pembacaan Surah Yasin dan Doa Selamat sebagai penutup proses Belamin (Sumber: Dok. Karpina) |
Hingga saat ini, tradisi belamin masih dilakukan oleh keturunan kerajaan (bangsawan dari jalur dayang potong/putri junjung buih) yang mempunyai anak perempuan, terkhusus bagi mereka anak gadis yang mengalami haid pertama. Apabila tradisi belamin ini tidak dikerjakan oleh keturunan bangsawan, dipercaya oleh mereka bahwa keturunnya akan terkena sial ataupun penyakit. Namun begitu juga sebaliknya, apabila tidak ada waris atau trah bangsawan, baik karena tidak adanya nasab bangsawan maupun putusnya nasab, maka tradisi belamin juga tidak boleh dilakukan, apabila dilanggar juga akan terkena sial ataupun balak.
Putusnya trah bangsawan dapat disebabkan karena pernikahan anak perempuan yang memiliki trah bangsawan menikah dengan orang biasa, maka keturunannya kelak jika beranak perempuan, tidak berhak menyelenggarakan tradisi belamin. Namun jika pernikahan anak laki laki yang memiliki trah bangsawan dengan orang biasa, maka kelak keturunan mereka berkewajiban menyelenggarakan tradisi belamin.
Tradisi belamin yang dilakukan dengan cara mengurung anak perempuan di dalam kamar dalam waktu tertentu ini memiliki makna dan nilai penting. Selama dalam lamin mereka tidak hanya diam saja, akan tetapi, juga melakukan aktivitas seperti; belajar mengaji, menyulam, bersuci dan lain sebagainya. Selama dalam lamin/bepekap pantangannya tidak boleh berkata kata kasar, mengumpat, marah, keluar walau hanya sejenak. Apabila melanggar pantang tersebut mereka akan mengalami berbagai macam gangguan, dari mulai sakit hingga kesialan. Bahkan jika dahulu masih menggunakan lilin ataupun pelita yang digunakan sebagai penerangan, maka pelita ataupun lilin tersebut tidak boleh padam sama sekali.
0 Comments:
Post a Comment