Mempawah Masa Pemerintahan Opu Daeng Menambon

Keraton Amantubillah Mempawah (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

 

Oleh: Sofie Immaculata, Pitriani, Wati
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas PGRI Pontianak

Sejarah Kesultanan Mempawah erat kaitannya dengan pemimpin pertamanya yakni Opu Daeng Menambon. Menurut catatan Raja Ali Haji, Opu Daeng hijrah dari Matan ke Sebukit pada kira-kira tahun 1148 H (1737 M), ketika itu Mempawah dikenal sebagai wilayah Kerajaan Hindu Dayak Bangkule Rajakng. 

Opu Daeng Manambon sendiri berasal dari Luwu yang kini masuk wilayah Sulawesi Selatan. Pada tahun 1724 M, setelah penyerahan benda-benda pusaka dari Pangeran Dipati kepada ahli waris Panembahan Senggaok yaitu Utin Indrawati, atas keinginan Neneknda Putri Cermin meminta kesedian Opu Daeng Menambon untuk menjadi raja menggantikan kakeknda mertua yaitu Panembahan Senggaok

 

Asal Usul Opu Daeng menambon

Opu Daeng Menambon adalah cikal bakal yang menurunkan raja-raja Mempawah yang berasal dari tanah Luwu dengan jiwa maritim yang membanggakan. Melakukan perantauan dengan mengarungi pesisir Semenanjung Malaka, Madagaskar, sampai Kamboja dengan saudara-saudaranya. Beberapa saudaranya yakni Opu Daeng Perani (Pangeran Agung Johan Pahlawan) wafat di Kedah tahun 1723 M, menurunkan raja-raja Siak, Johor dan Selangor. Opu Daeng Menambon (Pangeran Mas Surya Negara ) wafat di Mempawah tanggal 27 Syafar 1737 M, menurunkan raja-raja Mempawah. Opu Daeng Marewah (Kelana Jaya Putra/Sultan Alauddinsyah) Yang Mulia Tuan Muda I Riau, wafat di Riau tahun 1738 M menurunkan raja-raja Riau dan Selangor. Oppu Daeng Cella’ (Opu Daeng Pali/Sultan Alaudin) Yang Mulia Tuan Muda II Riau, Wafat di Riau tahun 1745 M, menurunkan raja-raja Riau, Selangor dan Terengganu. Odu Daeng Kamaseh (Pangeran Mangkubumi/Marhum Datu’Siantan) wafat di Sambas.

Datangnya Opu Daeng Menambon ke wilayah Pantai Barat Borneo berawal dari bantuannya terhadap Sultan Zainudin dari Kerajaan Matan (Tanjungpura) Ketapang yang ditawan oleh adik kandungnya sendiri yang bernama Pangeran Agung yang bermaksud merebut tahta kerajaan. Atas bantuan Opu Lima (untuk menyebut lima bersaudara dari Luwu salah satunya Opu Daeng Menambon), yang dikenal sebagai juru mediasi, berhasil mengembalikan tahta kerajaan yang sah tersebut kepada Sultan Zainudin.

Atas keberhasilan itu, Sultan Zainudin menikahkan Opu Daeng Menambon dengan puterinya, Dayang Zuharya yang bergelar Sinuhun Ratu Agung Kesumba. Pada tahun 1727 M setelah wafatnya Panembahan Senggaok yang merupakan mertua dari Sultan Zainuddin, maka diangkatlah Opu Daeng Manambon untuk bertahta menggantikan kakek mertuanya di Mempawah yang saat itu masih bernama Bangkule Rajakng yang berkedudukan di Bahana (Pekana) dan kemudian memindahkan pusat pemerintahan kerajaan di Sebukit Rama dalam bentuk Islam.

 

Makam Opu Daeng Menambon di Sebukit Rama, Mempawah
(Sumber: kemenparekraf.go.id)

Sistem Pemerintahan Opu Daeng Menambon

Sebenarnya pada tahun 1724 M, telah diserahkan benda-benda pusaka dari Pangeran Dipati kepada ahli waris Panembahan Senggaok yaitu Utin Indrawati. Atas keinginan Neneknda yang merupakan mertua dari Panembahan Senggaok, sang istri Putri Cermin membantu menyampaikan permintaan kesedian itu agar Opu Daeng Menambon mau menjadi raja menggantikan Panembahan Senggaok. Opu Daeng Menambon menyanggupinya, kemudian memerintah di Kerajaan Bangkule Rajakng dan memindahkan pusat pemerintahan ke Negeri Lama (Sebukit) tempat dimana Patih Gumantar dikebumikan, dan pusat pemerintahan kerajaan dinamakan Sebukit Rama. Opu Daeng Menambon lantas bergelar Pangeran Mas Surya Negara, sedangkan istrinya Putri Kesumba bergelar Ratu Agung Sinuhun Kesumba.

Pada masa pemerintahan Opu Daeng Menambon, diberlakukan hukum syara’ atau hukum Islam dan hukum siri. Kedua hukum tersebut diterapkan untuk mengimbangi hukum adat yang telah berlaku sebelumnya. Selain itu juga untuk menjalankan pemerintahan kerajaan supaya berketetapan hukum yang dapat dipedomani oleh masyarakat yang berada di wilayah pemerintahannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum siri adalah secara umum dapat diartikan dengan malu, yang mirip seperti nilai kesusilaan dan nilai kesopanan. Maknanya adalah sebuah tradisi untuk berlaku baik terhadap orang lain. Selain itu siri juga mempunyai pengertian yang luas, berfungsi untuk menjaga kehormatan dan harga diri seorang raja serta berfungsi sebagai kontribusi sosial dalam masyarakat.

 

Kondisi Masyarakat Mempawah

Pada masa pemerintahan Opu Daeng Menambon kondisi yang dirasakan masyarakat Mempawah adalah mereka melakukan peperangan dimulai di Teranda, karena Pangeran Dipati telah membuat kubu-kubu pertahanan disana serta disepanjang sungai-sungai Mempawah. Pangeran Dipati memerintahkan kepada semua pengikutnya untuk memerangi perahu-perahu orang-orang Bugis terus saja milir sambil menembaki sisi kiri dan kanan sungai. Setiap kubu pertahanan yang mereka jumpai mereka serang, sehingga kubu-kubu tersebut ditinggal lari oleh pengikut Dipati.

Terlebih pada zaman itu orang-orang di daerah pedalaman belum pernah melihat dan mempergunakan bedil (senapan), sehingga apabila mendengar suara senapan maka berlarianlah mereka menyelamatkan diri. Sampai di Kuala Malinsam, pasukan laskar Opu Daeng Menambon membuat kubu-kubu pertahanan yang berseberangan sungai dengan kubu pertahanan Pangeran Dipati. Peperangan berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Opu Daeng Menambon kemudian memanggil tetua-tetua Dayak dan menceritakan tentang keturunan Panembahan Senggaok. Mendengar itu barulah mereka mengerti dan lembut hatinya. Kepada Opu Daeng Menambon mereka berkata: ”adapun seperti raja-raja disebukit yang datang, inilah tuan kami yang benar yaitu anak cucunya Penambahan Senggaok Juga”.

Berangsur-angsur keteraturan dan kondusifitas di Mempawah berhasil dibangun di bawah Opu Daeng Menambon. Mempawah mulai ramai didatangi orang-orang dari luar termasuk pedagang asing dari barat maupun Tiongkok. Opu Daeng juga kemudian mengangkat seorang Imam Besar sebagai pemimpin keagamaan di Mempawah yang dijabat oleh Habib Husin Alqadri yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Kelak Habib Husin inilah yang kemudian menurunkan Dinasti Alqadri di Pontianak. Opu Daeng Menambon wafat pada 1761 M dan dimakamkan di Sebukit Rama.


Bahan Bacaan:

Ema, N.E Utami, (2017). Kerajaan Mempawah Pada Masa Opu Daeng Menambon Tahun 1737-1761 di Kabupaten Pontianak. Sosioedukasi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan dan Sosial, (1)

M. Nasir, Cornelis S, Debi Heristian, (2017). Ritual Ziarah Makam Opu Daeng Menambon Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat.  Yogyakarta: Kepel Press

Zulkarnain S.Sos, (2018). Sejarah Budaya Robo-Robo Kabupaten Mempawah. Mempawah: Dinas Perpustakaan dan kearsipan Kabupaten Mempawah

0 Comments:

Post a Comment