ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

Rekam Jejak Samaun Bakri, Nasionalis Sahabat Bung Karno

Samaun Bakri (kiri) bersama Sukarno (kanan) di Bengkulu, 1939
(Sumber: Abdul Salam, 2018, dalam Samaun Bakri: Nationalist Portrait in 1925-1948)


Oleh: Hardiansyah

TP2GD Provinsi Bengkulu, Mahasiswa Magister Sejarah Universitas Diponegoro


Mewarisi darah perlawanan dari kakeknya semasa Perang Paderi, Samaun Bakri meneruskannya melalui pers dan perjuangan politik. Kader Muhammadiyah dan sempat menjabat Wakil Residen Banten (1946-1948). Gugur bersama Bob Freeberg di pesawat Dakota RI-002 ketika mengurus revolusi kemerdekaan di Sumatera.

Salah satu misteri sejarah penerbangan Indonesia yang masih menjadi tanda tanya adalah tentang hilangnya pesawat Dakota RI–002 yang menjalankan misi rahasia dari presiden Soekarno. Pesawat ini memuat batangan emas dari tambang emas Cikotok yang rencananya akan digunakan sebagai modal dalam perjuangan bangsa Indonesia pada masa itu. Mengutip dari koran berbahasa Belanda “Nieuwsgier” tertanggal 9 Oktober 1948, pesawat ini mengangkut 4 awak dan dua penumpang yaitu pilot Bob Freeberg seorang warganegara Amerika Serikat, dua orang perwira Indonesia yaitu Bambang Saptoadji dan Santoso, operator Radio Soerjatman, perwira AURI Soemadi dan Samaun Bakri yang menjabat sebagai Wakil Residen Banten. Walaupun kemudian bangkai kapal dan jenazah penumpangnya ditemukan puluhan tahun kemudian tepatnya pada tahun 1978, namun tragedi itu menjadi polemik yang menyeret tiga negara yaitu Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat.


Samaun Bakri Laki–Laki dari Kurai Taji

Menurut Erniwati dalam bukunya berjudul Samaun Bakri Berjuang untuk Republik Hingga Akhir Hayat, Samaun Bakri yang menjadi salah satu penumpang pesawat tersebut lahir di Kurai Taji, Sumatera Barat pada 28 April 1908. Ayahnya Bagindo Abu Bakar dan ibunya adalah Siti Syarifah. Kakeknya dari garis ayah adalah Tuanku Tan Labiah yang merupakan “Dubalang” dari Tuanku Imam Bonjol yang sangat benci dengan kesewenang–wenangan Belanda. Tak heran jika kemudian darah perlawanan mengalir pada diri Samaun Bakri. Setelah menamatkan pendidikan Surau dan pendidikan dasarnya, ia melanjutkannya ke Sumatera Thawalib dimana pada masa itu Datuk Batuah sedang menancapkan pengaruh “Kuminih” (Komunis) kepada siswa Thawalib. Faktor inilah yang membuat keluarganya khawatir sehingga Samaun Bakri ditarik dari Thawalib dan selanjutnya mengikuti kursus bahasa asing. Setelah lulus ia bekerja di kantor pemerintah keresidenan sebagai juru tulis (kerani). 

Akibat perlakuan yang diskriminatif saat ia bekerja di kantor Residen Sumatera Barat pada tahun 1926, mengantarkan ia pada dunia tulis menulis. Ketidaksukaannya pada Belanda dan kesewenang–wenangan pemerintah kolonial ia tuliskan dengan bahasa yang terbuka. Beberapa waktu kemudian, ia tercatat menjadi koresponden koran “Persamaan”. Tak hanya menentang pemerintah kolonial melalui tulisan, Samaun Bakri pun ikut dalam gerakan menentang Belanda yang marak pada waktu itu di Sumatera Barat. Karena sikapnya yang keras terhadap pemerintah kolonial serta konflik pribadinya dengan Kontrolir Spit, maka dengan saran “mamaknya” Mohammad Noer Mojolelo, mulailah ia menapak kehidupan rantaunya meninggalkan kampung halaman.


Darah Wartawan, Muhammadiyah dan Bengkulu

Saat kakinya pertama kali menjejak Bengkulu, Samaun Bakri sebenarnya cukup kecewa dengan fakta yang ia temukan. Bengkulu di tahun-tahun sebelumnya bergejolak panas menentang Belanda, namun saat ia tiba kondisi telah dapat dikendalikan dan “adem ayem”. Dalam koran “Sasaran” yang ia bentuk bersama A. Kahar, Samaun menumpahkan kekecewaannya tersebut. Menurutnya pemimpin–pemimpin rakyat di Bengkulu sudah dapat dijinakkan oleh Belanda dan hanya membeo saja apa maunya pemerintah. Walaupun demikian karena hubungannya yang baik dengan Muhammadiyah di Kurai Taji akhirnya Samaun bergabung dengan Muhammadiyah Bengkulu. Ia berhubungan cukup rapat dengan Hassan Din yang kelak menjadi mertua Bung Karno. Selain itu, ia juga memiliki hubungan dengan tokoh tua seperti Joenoes Djamaloedin, Haji Abdul Karim Oey yang kemudian menjadi konsul Muhammadiyah Bengkulu maupun Sukarno alias Bung Karno sebagai tokoh buangan yang namanya sudah tidak asing lagi.

Jika menilik keempat tokoh tersebut teranglah bahwa tokoh tersebut adalah tokoh–tokoh yang radikal menurut Samaun. Hassan Din memilih dipecat menjadi pegawai perusahaan ternama, “Borsumij” dan lebih memilih hidup menderita sebagai seorang pedagang dan tetap setia pada Muhammadiyah. Joenoes Djamaloedin sendiri tercatat sebagai salah satu penyokong munculnya koran Soeling Hindia pada tahun 1926, menjadi konsul Muhammadiyah dan dengan lantang menyuarakan aspirasi masyarakat Bengkulu saat gubernur jenderal mengunjungi daerah ini pada tahun 1938 tanpa peduli resiko yang ia hadapi. Di sisi lain, Abdul Karim Oey memiliki catatan buruk di mata pemerintah kolonial dan pemerintah adat di Bintoehan karena berani mengambil sikap melawan kebijakan yang menyulitkan Muhammadiyah. Koran ‘Adil’ sering memuat gejolak panas yang terjadi di Bintoehan hingga membuat Mochtar dari Volksraad turut bersuara. Sedangkan Bung Karno dengan gerakannya membuat ia terbuang ke Ende lalu ke Bengkulu.

Potret Samaun Bakri
(Sumber: Abdul Salam, 2018, dalam Samaun Bakri: Nationalist Portrait in 1925-1948)

Menurut M.Z Ranni, salah satu veteran Bengkulu dan menjadi saksi sezaman,  dalam bukunya Perlawanan Terhadap Penjajahan dan Perjuangan Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Bumi Bengkulu, menyatakan bahwa dengan munculnya Samaun Bakri dengan koran ‘Sasaran’nya membuat udara politik di Bengkulu yang sempat adem kembali menjadi panas. Tulisan–tulisannya sangat tajam menyorot kebijakan pemerintah kolonial yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Tak heran jika koran Sasaran terkena persdelict dari pemerintah dan A. Kahar sebagai orang yang bertanggung jawab dengan koran tersebut ditahan. Samaun kemudian mendirikan surat kabar “Penaboer” sebagai pengganti “Sasaran”. Walau terjadi pergantian pengurus dan nama, namun surat kabar ini memiliki gaya bahasa dan isi yang sama dengan “Sasaran”. Beberapa penulis terkena Persdelict dan merasakan dinginnya penjara seperti Sabirin Burhany dan Ibhara. Untuk menyulitkan polisi Hindia Belanda, Samaun menggunakan nama-nama samaran seperti SMIJ dan SMJ dalam tulisannya. Kritiknya pada koran “Sasaran” dengan bahasa lugas berganti dengan tulisannya yang humanis dan romantis pada koran “Penaboer”.

Selain terjun dalam dunia jurnalistik, Samaun aktif dalam pergerakan. Ia tercatat sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Bengkulu serta aktif dalam Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu ia juga terjun mengelola Hotel Asia di Pendakian dan N.V Persatoean yang diinisiasi oleh banyak tokoh Muhammadiyah. Walaupun statusnya sebagai anak rantau, namun ia sangat diperhitungkan untuk membuat sebuah keputusan–keputusan yang penting. Hubungannya yang akrab dengan Bung Karno dan konsul Muhammadiyah membuat ia disegani. Sebuah tulisan warga Bengkulu di koran Penaboer menyayangkan Samaun Bakri tidak diundang dalam sebuah forum yang dihadiri para pejabat dan tokoh masyarakat. Selain itu, Bung Karno dan Abdul Karim Oey meminta sarannya secara langsung sebelum akhirnya memutuskan tekad yang bulat untuk menyelenggarakan Konferensi Daeratul Kubro Muhammadiyah dengan mengundang konsul se-Sumatera pada tahun 1940.


Revolusi Hingga akhir Hayat

Hubungan yang terjalin akrab dengan Bung Karno selama di Bengkulu terpupuk terus hingga ia menjadi salah satu orang kepercayaan sang proklamator. Ia diminta untuk mengurus pernikahan wakil antara Bung Karno dan Fatmawati. Pernikahan itu sebenarnya hampir saja dibatalkan karena Fatmawati bersikeras menginginkan Bung Karno untuk datang ke Bengkulu. Namun karena urusan yang tak bisa ditinggalkan ditambah dengan kondisi transportasi dan keamanan yang tak memadai membuat pernikahan wakil menjadi pilihan. Kesuksesan Samaun dalam mengurus pernikahan wakil ini, membuat Bung Karno memiliki pandangan yang istimewa terhadap dirinya.

Beliau tercatat sebagai anggota PUTERA yag membantu empat serangkai dalam menjalankan tugasnya. Selain itu tercatat juga aktif dalam Jawa Hokokai. Samaun hadir di rumah Laksamana Maeda dan menjadi saksi atas proses perumusan teks proklamasi dan penandatanganannya. Adam Malik dalam kenangannya berjudul Riwajat Proklamasi 17 Agustus 1945, menuliskan nama Samaun Bakri yang mewakili Jawa Hokokai hadir dalam pertemuan tersebut.  Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan dan ketatanegaraan Indonesia selekasnya terbentuk, Samaun Bakri diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berjumlah 137 anggota dari perwakilan tokoh terkemuka daerah Jawa Barat, tempatnya menetap sejak era pendudukan Jepang. 

Samaun juga adalah orang yang ikut mengungsi dalam peristiwa Bandung Lautan Api, dimana kota Bandung di bumi hanguskan oleh Tentara Keamanan Rakyat sebagai jawaban ultimatum Inggris terhadap perlawanan rakyat setempat. Seperti diketahui bahwa datangnya tentara sekutu diboncengi pula oleh NICA Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Hal ini tentu tidak diingibkan oleh segenap rakyat karena negeri ini telah diproklamasikan kemerdekaannya. Setahun setelah peristiwa tersebut (1946), Samaun Bakri menulis sebuah buku Peringatan Setahoen Peristiwa Bandoeng sebagai kenangan atas peristiwa yang sangat membekas dalam ingatannya tersebut.

Dinamika politik lokal yang penuh gejolak membuat Samaun ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai Wakil Residen Banten atas rekomendasi dari Residen Banten, K.H, Achmad Chatib. Sebagai pemimpin nomor dua di Banten, kerja Samaun tidaklah gampang. Ia harus menerobos hutan dengan pengawalan tentara ketika bertugas. Belum lagi saat pemerintah pusat berpindah ke Yogyakarta, Banten mengalami krisis karena di blokade Belanda. Apalagi wabah cacar hingga TBC menghantam daerah ini. Pemerintah Banten sampai membuat rumah sakit darurat utuk mengatasi wabah ini. Belum lagi pengungsian orang–orang Tionghoa dari Tangerang setelah penyerbuan tentara NICA. Untuk menghindari korban jiwa yang semakin banyak, maka mereka mengungsi ke daerah Banten. Hadirnya pengungsi ini menjadi masalah baru disaat krisis multidimensi melanda Banten. Pemerintah setempat berkewajiban untuk menyediakan makanan dan menjamin keselamatan. Kedatangan pengungsi menimbulkan pula gesekan dengan penduduk setempat. Namun dengan tindakan yang tepat pemeritah keresidenan Banten mampu mengatasi masalah pengungsi ini dengan baik. Koran De Locomotief tertanggal 5 Februari 1948 menghadirkan berita bahwa Samaun Bakri sebagai Wakil Residen Banten mulai mengembalikan pengungsi ke kampung halaman mereka.

Dalam rangka pembelian pesawat terbang, Samaun Bakri ditunjuk unuk melakukan tugas negara tersebut. Tugas ini sangat berbahaya karena bisa jadi pesawat Belanda menembak pesawat yang ditumpanginya. Kekhawatiran ini menjadi kenyataan pada 1 Oktober 1948. Pesawat Dakota RI 002 dalam perjalanan dari Tanjung Karang ke Bengkulu tidak pernah mendarat di lapangan terbang tujuan. Bahkan perlu puluhan tahun kemudian pesawat dan tengkorak para penumpangnya ditemukan, termasuk Samaun Bakri. Sebagai bentuk penghormatan, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Samaun Bakri dengan Bintang Mahaputra Utama pada tahun 2002, semasa Presiden Megawati Soekarno Putri. 

Post a Comment

0 Comments