![]() |
Seorang wanita Bali sedang menenun sekitar 1920 (Sumber: Wikimedia) |
Guru Sejarah di SMK Widiatmaka, Badung
Editor in Chief Historical Meaning
Kaum perempuan Bali yang dahulunya jarang mengenakan penutup dada (baju) pernah dimanfaatkan Belanda untuk keperluan turisme. Pasca kemerdekaan karena perkembangan zaman dan tumbuhnya kesadaran, otoritas di Bali mengeluarkan aturan pada tahun 1950 yang mewajibkan semua wanita menutupi dadanya. Imaji lampau Bali sebagai pulau eksotis yang wanitanya bertelanjang dada pun perlahan lenyap.
Sebagai pusat pariwisata Indonesia, Bali tampil sebagai sebuah pulau eksotis. Gelora kebudayaan serta pesona keindahan alam menjadi daya tarik utama untuk memikat wisatawan mengunjungi tanah para Dewa. Selain keberadaan banyak destinasi wisata, banyak hal yang membuat Bali tampil “eksotis” di mata masyarakat internasional, seperti keindahan alam, keragaman budaya, serta tata kehidupan masyarakatnya. Tidak lupa juga perjalanan sejarahnya. Salah satu kisah yang mungkin tidak diketahui banyak orang mengenai Bali adalah ketelanjangan dada wanita Bali.
Jika melihat dari sudut pandangan saat ini, ketelanjangan dada tentu tampak bertentangan dengan adab ketimuran masyarakat Indonesia, yang menekankan wanita untuk menutupi bagian dada mereka. Sejarah ketelanjangan dada di Bali merupakan kisah mengenai Bali yang jarang dibicarakan publik. Ia tidak sepopuler kisah mengenai kedatangan Gajah Mada dan para pratisentana (leluhur). Namun, sejarah ketelanjangan Bali adalah sebuah bagian dari budaya dan identitas wanita Bali pada masa lampau.
Bagaimana kisah ketelanjangan di Bali, dan apa yang membuatnya tampil menjadi sesuatu yang eksotis seperti sekarang ini? Pada masa kebudayaan Hindu-Buddha, wanita Bali umumnya bertelanjang dada. Menurut Kezia-Clarissa Langi dan Shinmi Park dalam artikel berjudul An Analysis of the Characteristics of Balinese Costume: Focus on the Legong Dance Costume (2017), hal ini dilakukan karena kondisi iklim Indonesia yang tropis. Hanya ketika melakukan persembahyangan maupun upacara kepada Tuhan dan leluhur, wanita Bali akan menutupi dada mereka dengan kemben, secarik kain yang telah dikenal sejak masa kerajaan Majapahit.
Penetrasi kolonial secara penuh pada awal abad ke-20 mengubah pandangan Belanda mengenai Bali. Ia, yang semula dianggap sebagai pulau berkultur barbar dengan pemimpin yang despotik, kini menjadi benteng terakhir kebudayaan Hindu di Indonesia. Kajian para Indolog, seperti F.A. Liefrinck dan H.N. van der Tuuk, memperkuat kepercayaan pemerintah kolonial bahwa Bali merupakan sebuah surga yang harus dijaga dan dilindungi.
Tanggung jawab moral ini membuat Belanda bersikap hati-hati melihat masalah ketelanjangan wanita di Bali. Mengutip Miguel Covarrubias, karikaturis asal Meksiko yang mengunjungi Bali pada 1930-an, mengatakan bahwa penetrasi Belanda membuat wanita Bali diharuskan untuk menutupi dada mereka. Dalam buku The Island of Bali yang pertama kali diterbitkan pada 1937, ia menulis (2008):
“Setelah Belanda menduduki Buleleng pada 1848, mereka menyatakan bahwa
moral tentara Belanda perlu dilindungi, dan sebuah aturan diterbitkan yang
meminta wanita untuk mengenakan blouse.…Sekitar tiga tahun yang lalu, para
wanita di Den Pasar pergi ke pasar, dengan bangga menunjukkan dada mereka yang
telanjang, tetapi, setelah istri para bangsawan mengenakan blouse yang buruk, ia
menjadi mode. Sekarang, mereka yang masih bertelanjang dada akan dipandang
sebagai “orang gunung yang kolot.”
Posisi Belanda sebagai polisi moral berbanding terbalik ketika mereka menjadi pionir pengembang pariwisata di Bali. Mereka menggunakan ketelanjangan Bali sebagai daya pikat untuk menarik wisatawan agar mengunjungi Bali. Melalui berbagai poster promosi, seperti poster See Bali, dan Bali Like de Beauté, Belanda menciptakan imaji Bali sebagai sebuah surga eksotisme, yang dapat memantik gairah pengunjungnya. Seperti diungkapkan I Wayan Nuriarta dalam artikel berjudul Poster sebagai Media Representatif dalam Pencitraan Identitas Budaya Bali pada Masa Kolonial (Belanda) (2016).
Konotasi kurang mengenakkan bagi Bali yang diciptakan Belanda membuat para pemikir Bali bersuara. Wijakusuma, pemikir Bali yang kemudian menjadi kader PNI pada 1950-an, mengatakan bahwa imaji tersebut, yang diwujudkan dalam bentuk eksotisme payudara wanita sungguh menyesatkan. Mengutip pernyataannya dalam artikel Margaret Mead’s Balinese: The Fitting Symbols of the American Dream (1990) yang ditulis oleh Tessel Pollmann, ia mengungkapkan bahwa imaji tersebut tidak berpengaruh dalam pemikiran masyarakat Bali.
![]() |
Beberapa wanita Bali yang tiba dari pasar (1935). Terlihat beberapa wanita dalam foto telah menggunakan pakaian untuk menutupi bagian dadanya. (Sumber: Wikimedia) |
Protes yang dilakukan pemikir Bali berbuah pada masa berikutnya. Ketika Belanda kembali ke Bali setelah kemenangan sekutu dalam Perang Dunia II, mereka menemukan bahwa imaji yang telah mereka ciptakan selama ini lenyap tak tersisa. Mengutip Geoffrey Robinson dalam buku The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (1995), mereka menemukan bahwa masyarakat Bali berbeda dengan masyarakat yang mereka temukan pada masa sebelumnya. Kini, masyarakat Bali berusaha melepaskan segala imaji menyesatkan yang dilekatkan dalam tubuh mereka oleh Belanda.
Dalam surat terbukanya, Made Nur Arsini menulis bahwa masyarakat Bali sedang berusaha membersihkan diri dari berbagai “isme” yang dilekatkan para “avonturir infiltrant”. Dalam Surat Kekasih Diluar Bali (1950), ia mengatakan
“Salah seorang wanita dari Sumatera (Medan) pernah mengandjurkan pada dinda, supaja di Pulau kita ini diadakan pemberantasan setengah telandjang (half-lijf), misalnja dengan djalan penerangan2 kepada wanita dan pemudi2nja. Bahkan ada djuga jg bertanjakan: “Apakah di Bali tidak ada Persatuan Wanita, jang sedar akan keadaan ini?
Kandaku P. Kanda sendiri tentu dapat merasakan, bagaimana malunja dinda menghadapi pertanjaan2 itu. Oleh karena itu, Kandaku sesampainja surat dinda ini mulailah dengan gerakan pemberantasan setengah telandjang jg. diandjurkan oleh Pemudi dari Sumatera itu” Tjara jang sebaiknja menurut fikiran dinda ialah tiap2 pemuda dan pemudi jang sedar bertanggung djawab terhadap keluarganja untuk mengusahakan sebuah “kutang” dan berbadju bila mereka keluar rumah. Dinda tahu sifat kesederhanaan dan minderwaarde gevoellen (perasaan rendah diri) mengakibatkan semuanja itu”.
Kesadaran diri para wanita Bali membuat pemerintah daerah bergerak. Dalam pemberitaan berjudul Larangan memotret wanita Bali yang diterbitkan harian Suara Indonesia edisi 19 Desember 1950, Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Bali menerbitkan peraturan mengenai “Peraturan larangan memotret wanita Bali”. Aturan tersebut menekankan kepada siapapun untuk tidak memotret wanita Bali yang bertelanjang dada secara sengaja, dan mengatur agar seluruh wanita Bali mulai menutupi dada mereka. Aturan ini diterbitkan merespon penangkapan seorang keturunan Tionghoa di Gilimanuk pada 28 Oktober 1950 (karena sengaja memfoto untuk keperluan komersil?) serta suara kaum perempuan Bali.
Dengan peraturan tersebut, ketelanjangan dada menghilang secara perlahan dalam kehidupan wanita Bali. Kini, wanita Bali tidak lagi dipandang karena sejarah ketelanjangan mereka. Meski para penganut pemahaman sejarah romantis bercerita mengenai eksotisme wanita Bali yang telanjang, sejarah tentang ketelanjangan dada di Bali tak lebih dari sebuah kenangan masa lampau yang hanya bisa dikenang.
*Tulisan pernah diterbitkan di situs budaya populer Monster Journal (monsterjournal.com) pada 20 April 2023. Diterbitkan kembali dengan sedikit penyesuaian. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
0 Comments