Pasukan Tentara Pelajar Sie I Kie III Det III di bawah pimpinan Rusmin Nurjadin yang anggotanya Sebagian besar pelajar SMA
(Sumber: http://djokja1945.blogspot.com/)
Oleh: Diki Kristiyadi
Sidobunder, suatu desa kecil di Kebumen yang pada tahun 1947 menjadi saksi pertempuran sengit antara Tentara Pelajar (TP) dengan Pasukan Belanda.
Gombong merupakan wilayah di Jawa Tengah bagian Selatan yang cukup strategis pada masa revolusi fisik. Pasca Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947, Gombong dan sekitarnya dikuasai oleh tentara Belanda. Menyadari arti penting Gombong, militer Indonesia berusaha untuk membatasi gerak tentara Belanda dan mengontrol wilayah di sekitar Gombong. Akan tetapi, ternyata justru tentara Belanda yang kemudian berhasil memperjauh jangkauannya dengan mendirikan pos militer di Desa Kemit, 4 km sebelah timur Gombong.
Untuk mengusir tentara Belanda dari Gombong, Tentara Pelajar (TP) Yogyakarta menugaskan Kompi 320 untuk bergabung dengan TNI Batalyon 62 di bawah Komandan Mayor Panuju yang berada di Karanganyar, Kebumen. Tidak berselang lama, datang pula Pasukan Pelajar Republik Indonesia Sulawesi (PERPIS) di bawah pimpinan Maulwi Saelan. Kedua kekuatan itu, baik TP maupun PERPIS kemudian ditugaskan untuk menempati wilayah Puring. Hal ini dilakukan karena pasukan Belanda di sebelah selatan Gombong telah sampai di wilayah Karangbolong.
Mayor Panuju kemudian memerintah TP untuk memindahkan pasukannya ke wilayah Desa Sugihwaras pada akhir Agustus 1947. Dalam perintahnya tersebut, Mayor Panuju juga menugaskan pada Komandan TP Sie 321 di bawah pimpinan Anggoro harus menduduki Desa Sidobunder terlebih dahulu dalam kondisi dan risiko apapun. Hal ini dilakukan karena posisi Desa Sidobunder sangat strategis.
Desa Sidobunder merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Sungai Kemit. Letaknya memanjang dari utara hingga selatan sehingga bisa digunakan sebagai benteng untuk melindungi wilayah Desa Sugihwaras. Walaupun demikian, sebenarnya desa Sidobunder adalah desa yang sangat tidak menguntungkan untuk dijadikan pertahanan karena berada di tengah areal persawahan luas dan terpisah dari desa lainnya.
Tuti Rahayu dalam skripsinya yang berjudul Pertempuran Sidobunder di Kebumen Tahun 1947 menuliskan bahwa setibanya di Sidobunder, TP Sie 321 yang berjumlah sekitar 60 orang kemudian menempati rumah Pak Kartowiyoto atau yang lebih dikenal dengan nama Pak Ponco. Rumah ini terletak di sebelah barat pertigaan Jalan Sidobunder. Untuk memperkuat posisi, maka di masing-masing jalan menuju pertigaan tersebut dibuat pos pertahanan tambahan agar markas utama bisa terlindungi ketika serangan musuh datang.
Malam hari tanggal 1 September 1947 terjadi hujan yang cukup deras. Menjelang tengah malam terdengar suara-suara yang mencurigakan. Selang beberapa waktu, datang 2 orang berpakaian jawa dengan membawa kopi dan singkong rebus untuk TP yang sedang berjaga. Namun, salah seorang anggota TP yang bisa berbahasa Jawa, kedua orang tersebut diminta untuk tidak usah menunggu. Mereka diduga merupakan orang suruhan Belanda yang bertujuan membunuh para anggota TP melalui singkong rebus yang telah diberi racun seperti yang terjadi pada 4 orang anggota TNI di Puring.
Tiba-tiba pada pagi hari tanggal 2 September 1947 terdengar rentetan suara tembakan. Hal ini membuat Anggoro terhenyak dan segera mencari informasi tentang apa yang terjadi. Setelah beberapa saat baru diketahui ternyata desa Sidobunder telah dikepung tentara Belanda dari berbagai arah. Posisi pertahanan di Sibodunber sudah terjepit dan sangat tidak menguntungkan
Anggoro kemudian memerintahkan pasukannya mundur ke arah timur, Gerakan mundur ini diawali pembagian tugas pertahanan kepada masing-masing regu. Regu I dibawah Djokomono diminta untuk menghadang musuh dari arah utara. Regu II dibawah Suryoharyono ditugasi untuk menghalau musuh dari arah selatan. Maulwi Saelan dan pasukannya ditugasi untuk menahan Belanda di arah timur. Sedangkan pasukan utama menahan Belanda dari arah barat sambal bergerak mundur.
Pergerakan mundur pasukan TP tersebut ternyata tidak berjalan mulus. Regu I dan II yang ditugasi untuk mempertahankan perimeter di utara dan selatan justru dengan mudah bisa ditembus oleh Belanda. Bahkan Belanda dengan leluasa bisa masuk ke segala penjuru desa dengan menyusup diantara tingginya alang-alang dan rimbunnya pepohonan. Kondisi ini membuat pasukan TP tercerai berai dan bertempur secara individu untuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Mereka kebanyakan berlari ke selatan desa yang ternyata adalah wilayah yang dikuasai Belanda.
Pertempuran yang berjalan seharian dalam kondisi tidak seimbang ini kemudian menimbulkan banyak korban jiwa baik bagi TP, KNIL, maupun warga sekitar. Dalam artikel berjudul Pertempuran Sidobunder di Kebumen tahun 1947 yang dimuat pada Jurnal Of Indonesian History Vol 4 No. 1 (2015), Retno Yuni Dewanti menyebutkan bahwa korban meninggal dari pihak TP adalah 25 orang, sedangkan korban dari pihak Belanda yang meninggal dalam pertempuran Sidobunder tidak dapat diketahui jumlahnya secara pasti. Kurang lebih sekitar empat puluh orang serdadu Belanda meninggal dalam Pertempuran Sidobunder dan Belanda kehilangan seorang kapten bernama Nex yang ditembak mati oleh La Sinrang.
Keesokan harinya diberangkatkan satu regu pasukan dari Kompi 320 untuk mengevakuasi para korban. Regu ini didampingi oleh beberapa TP dari Sie 321 yang berhasil menyelamatkan diri. Menurut Djokoewoerjo, seorang anggota TP Sie 321 yang ikut dalam regu evakuasi, kondisi korban sangatlah memprihatinkan. Djokowoerjo melihat dengan mata kepala sendiri kondisi dari Suryoharyono yang tertembak di kepala, Ridwan yang tertembus tiga butir peluru, Soehapto dengan muka penuh luka pecahan mortar, dan Willy Hoetaoeroek yang gugur dalam kondisi tertelungkup. Selain itu, dia juga mengenali beberapa teman lainnya yang juga telah meninggal seperti Djokomono, Pramono, Soegiyono, Poernomo, dan Ahmad.
Proses evakuasi akhirnya bisa dilakukan dengan susah payah karena kondisi desa yang dipenuhi air banjir. Jenazah para anggota TP diangkut dengan perahu-perahu kecil dari desa Bumiredjo dan Sidobunder untuk dibawa ke Karanganyar. Jenazah-jenazah yang kebanyakan adalah pelajar sekolah menengah di Yogyakarta ini kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta. Satu orang korban yaitu Willy Hoetahoroek dari PERPIS terpaksa dimakamkan di pemakaman Bumiredjo karena luka-lukanya. Sementara itu, Pak Kartowiyoto dan warga masyarakat yang turut menjadi korban dimakamkan di pemakaman Desa Sidobunder.
Pertempuran Sidobunder menjadi salah satu yang terhebat dalam catatan sejarah TP di Indonesia. Konon, akibat pertempuran ini, Martono, Komandan Batalyon 300 yang merupakan induk pasukan TP Yogyakarta dipanggil oleh Jenderal Soedirman. Martono diberi peringatan keras agar TP tidak lagi bertempur secara frontal dengan Belanda. Pun jika harus bertempur langsung dengan Belanda, maka diusahakan tidak dalam jarak dekat seperti yang terjadi di Desa Sidobunder.
0 Comments:
Post a Comment