Oleh: Voka Panthara Barega
“Kami melihat gunung yang amat tinggi dengan banyak tempat yang ditutupi salju, yang tentunya sangat aneh untuk gunung yang letaknya dekat dengan garis Khatulistiwa”. – Jan Carstensz dalam Nieuw-Guinea 1623
Kalimat di atas merupakan salah satu bagian dari catatan harian Jan Carstensz ketika ia sedang berlayar di sekitar selatan Laut Arafura. Ia bersama awak kapalnya melihat sebuah gunung yang amat tinggi dengan putihnya salju yang menyelimutinya. Namun, banyak orang yang menertawakan apa yang dilihatnya karena tidak mungkin ada es di wilayah Khatulistiwa. Tetapi pada akhirnya hal ini malah membuat sebagian orang tertarik melihat langsung dan mendaki gunung yang diceritakan oleh Jan Carstensz itu.
Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia, setelah Greenland yang dimiliki oleh Kerajaan Denmark. Pulau Papua yang sebagaimana disebutkan oleh Alfred Russel Wallace sebagai “terra incognita terbesar di dunia” di mana sedikit sekali informasi yang menyebutkan tentang pulau ini, hanya menyebutkan bahwa di pedalaman hutannya terdapat penduduk yang kanibal.
Hendrikus Albertus Lorentz menjadi salah satu tokoh penting dalam penjelajahan pedalaman hutan di Papua. Sebelumnya, ia terlibat dalam ekspedisi bersama C. E. A. Wichmann, seorang geolog asal Jerman pada tahun 1903 yang dikenal sebagai ekspedisi ilmiah pertama di tanah mutiara hitam (papua) yang berhasil memetakan Humboldt Bay di Pantai Utara Papua. Ia juga berhasil memetakan East Bay dan North River berbekal pengalamannya selama ekspedisi Wichmann dan dari catatan perjalanan Kapten Posthumus Meyes dan De Rochement. Lorentz juga pernah melakukan ekspedisi untuk mencapai pegunungan bersalju di tengah Papua pada tahun 1907, namun gagal karena banyaknya korban karena penyakit dan kehabisan stok makanan (Lorentz, 1907: 467).
Dr. Hendrikus Albertus Lorentz
Sumber: collectie.wereldculturen.nl
Ekspedisi kedua Lorentz dilakukan sebagai kelanjutan dari ekspedisi pertama yang sebelumnya dilakukan pada tahun 1907. Tujuan ekspedisi kedua ini untuk mencapai Puncak Wilhelmina (sekarang bernama Puncak Trikora). Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Lorentz ditemani J. W. von Nounhuys yang merupakan komandan Angkatan Laut Belanda sekaligus geolog, kartografer dan ahli meteorologi; Letnan D. Habbema, seorang perwira tentara Hindia Belanda di Kalimantan; Raden Jaarman Soemintrol Zeerban, seorang fisikawan pribumi; 2 orang ahli botani dari Kebun Raya Bogor (Bogor Botanical Gardens); 5 orang Melayu; 10 orang Sunda; dan 82 orang Dayak (66 orang diantaranya merupakan Orang Kayan yang direkrut di Putussibau atas rekomendasi dari Prof. Nieuwenhuis, dan 16 orang sisanya merupakan Orang Kenyah yang direkrut di Bulungan) (Lorentz, 1911: 339).
Dalam ekspedisi kedua ini yang menarik adalah adanya orang Dayak yang direkrut dalam ekspedisi. Pemilihan orang Dayak di sini dikarenakan berbagai faktor pertimbangan, seperti: yang pertama, orang-orang Dayak pada umumnya hidup dalam lingkungan yang mirip dengan lingkungan yang ada di Papua. Kehidupan mereka tidak terpisahkan dari hutan, dan gemar melakukan petualangan. Bahkan Lorentz menyebutkan bahwa orang Dayak adalah pembuat kapal yang ahli dan mampu mengoperasikannya dengan sangat baik. Yang kedua, orang Dayak terbiasa membawa beban yang sangat berat untuk perjalanan jauh sehingga sangat cocok untuk sebuah ekspedisi. Selain itu, terdapat orang Melayu yang direkrut karena mereka terbiasa melakukan pekerjaan berat, dan orang Sunda yang direkrut untuk membantu para ahli botani.
Ekspedisi kedua Lorentz dimulai pada 5 Agustus 1909, ketika kapal Elang mulai berlabuh meninggalkan Surabaya ditemani kapal uap milik Pemerintah Hindia-Belanda Falcon yang dikomandoi oleh J.H. Hondius van Herwerden. Dalam perjalanannya, mereka sempat singgah di Kupang dan Dobo (Kepulauan Aru) untuk mengisi ulang batubara. Pada 1 September 1909, mereka akhirnya tiba di East Bay dengan kondisi yang kurang menguntungkan akibat hujan yang terus menerus terjadi. Selama di East Bay, Lorentz memutuskan memilih mengarungi Sungai Van der Sande daripada Sungai Noord (North River) untuk mencapai Puncak Wilhelmina dalam waktu singkat.
Sebelum melanjutkan perjalanan lebih jauh, tim ekspedisi melakukan persiapan, seperti adanya beberapa kru kapal yang pergi menuju Pulau Biak untuk membangun barak tentara dan tempat penyimpanan logistik. Sedangkan kru lainnya yang berada di East Bay, mereka segera berangkat menuju Alkmaar, sebuah lokasi yang menjadi kamp dalam Ekspedisi Lorentz Pertama yang letaknya di kaki gunung dekat Puncak Wilhelmina. Orang-orang Dayak segera melakukan pekerjaan mereka dengan membuat kano sebanyak sepuluh buah, dan juga sebuah rumah dengan gudang di belakangnya untuk menyimpan cadangan makanan selama 100 hari.
Ketika semua persiapan sudah selesai, pada 4 Oktober 1909, para anggota ekspedisi berkumpul di kamp Alkmaar dan akan melakukan perjalanan pada 9 Oktober 1909. Dibentuklah sebuah tim kecil yang terdiri dari Dr. Lorentz, van Nounhuys, 30 orang Dayak, 1 orang Sunda dan 3 tentara. Mereka semua berangkat menuju Pegunungan Hellwig yang merupakan kawasan yang pernah dijelajahi oleh Lorentz. Selebihnya akan menyusul dalam sebuah rombongan yang diketuai oleh Letnan Habbema. Titik temu mereka adalah Pegunungan Hellwig.
Dalam catatan perjalanan dikatakan mula-mula tim Lorentz akan melintasi Pegunungan Hellwig dan menunggu rombongan Habbema menyusul. Pada saat itu rombongan Habbema tiba pada 27 Oktober 1909. Mereka melanjutkan perjalanan melintasi Pegunungan Treub, dan Pegunungan Wichmann sebelum akhirnya mencapai Puncak Wilhelmina. Selama perjalanan, mereka mengalami banyak kendala, seperti kondisi medan yang sangat ekstrem, cuaca buruk dan suhu udara yang dingin. Mereka juga terlibat kontak dengan penduduk asli, dan beruntungnya mereka dapat berhubungan baik setelah salah seorang Dayak bernama Tigang memberanikan diri melakukan kontak dengan mereka, dan bahkan rombongan Lorentz diundang dalam pesta adat penduduk asli tersebut yang menyebut diri mereka sebagai “Peseguems” (Ploeg, 1995: 231).
Rombongan Lorentz akhirnya menemukan salju pada 7 November 1909. Orang-orang Dayak berteriak kegirangan dan membuat bola salju untuk dibawa ke kampung halaman mereka di Kalimantan. Mereka berada di ketinggian 13.200 kaki saat ini dan masih belum melihat Puncak Wilhelmina. Lorentz memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.
Sumber: Jurnal An expedition to the snow mountain of New Guinea.
Keesokan harinya pada 8 November 1909, menjadi hari yang luar biasa bagi ekspedisi Lorentz. Ia bersama van Nounhuys dan 6 orang Dayak lainnya berhasil mendaki sebuah dinding batu tinggi dan mencapai Puncak Wilhelmina. Lorentz melihat bahwa salju tersebut adalah salju asli, bukanlah kapur atau zat-zat lainnya. Ia juga melihat hypsometernya menunjukkan angka 15.125 kaki; ia membandingkan dengan gunung Mont Blanc yang memiliki ketinggian 15.750 kaki. Lorentz sangat senang dan bergembira karena ekspedisi yang ia lakukan berhasil.
Setelah melakukan dokumentasi dan juga menikmati pemandangan, rombongan Lorentz memutuskan untuk kembali pulang ke kamp dekat Puncak Wilhelmina. Malangnya, Lorentz mengalami kecelakaan yang menyebabkan tulang rusuknya patah dan beberapa anggota badannya mengalami memar. Beberapa orang Dayak diperintahkan Nounhuys untuk kembali ke kamp mengambil peralatan P3K, sedangkan Nounhuys dan Adjang membopong Lorentz kembali ke kamp. Sesampainya di kamp, mimpi buruk pun terjadi, di mana terjadi hujan salju lebat. Setelah hujan salju reda, Letnan Habbema memerintahkan beberapa orang Dayak untuk mengambil persediaan di kamp Pegunungan Hellwig, disusul oleh rombongan Lorentz.
Mimpi buruk selama perjalanan pulang terus terjadi, hingga akhirnya pada 29 November, sekelompok orang Dayak yang dikirim Letnan Habbema datang menjemput rombongan Lorentz dengan membawa makanan. Rombongan Lorentz akhirnya tiba di kamp Pegunungan Hellwig. Raden Jaarman mengatakan bahwa tulang rusuk Lorentz akan segera sembuh. Jumlah korban selama ekspedisi kedua Lorentz disebutkan berjumlah 3 orang. Pada 15 Desember 1909, rombongan Lorentz tiba di Alkmaar, dan bisa merasakan tidur nyenyak setelah selama 68 hari berada di hutan belantara Papua, sebelum akhirnya dijemput oleh kapal uap Pemerintah Hindia-Belanda.
Ekspedisi yang dilakukan Lorentz ini menjadi pemicu ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan di tanah mutiara hitam. Besarnya peran orang Dayak yang ditunjukkan oleh Lorentz, membuat citra orang Dayak semakin terangkat, dan kemudian banyak direkrut dalam ekspedisi-ekspedisi berikutnya dalam menjelajahi rimba Papua yang masih misterius, yang mana salah satu ekspedisinya menyangkut pertambangan yang kelak dikenal sebagai Pertambangan Freeport.
DAFTAR PUSTAKA
Lorentz, H. A. (1907). De N. Guinea-expeditie van de Mij. ter bevordering van het Natuurk. Onderzoek der Ned. koloniƫn. Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 466-471.
Lorentz, H. A. (1911). An Expedition to the Snow Mountain of New Guinea. Scottish Geographical Magazine, 337-359.
Ploeg, A. (1995). First Contact, in the Highlands of Irian Jaya. The Journal of Pacific History, 227-239.
0 Comments:
Post a Comment