Nasionalisme Dari Perbatasan: Perjuangan Rakyat Sambas Mempertahankan Kemerdekaan RI

Oleh: Karel Juniardi | Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak

Pada tahun ini, bangsa Indonesia memperingati 77 tahun kemerdekaannya, yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. Momen proklamasi kemerdekaan menjadi tonggak terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan yang dikatakan selama 350 tahun. Namun proses kemerdekaan Republik Indonesia menghadapi berbagai halangan, rintangan dan tantangan yang tidak mudah. Selain adanya pergolakan di internal bangsa Indonesia sendiri, seperti adanya Pemberontakan PKI pada tahun 1948 di Madiun, juga adanya sistem negara federasi yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah persatuan bangsa Indonesia sebagai upaya Belanda untuk menduduki atau menjajah kembali bumi Indonesia.


Selain di Pulau Jawa serta pulau-pulau lainnya di Indonesia, di Pulau Kalimantan juga terdapat peristiwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang tidak kalah heroiknya, sampai mengorbankan harta, tenaga, bahkan jiwa. Diantaranya adalah di daerah Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Sambas yang terletak jauh dari Jakarta, dan berada dekat dengan perbatasan negara Sarawak Malaysia, momen proklamasi juga disambut oleh masyarakat di sana yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Banyak tokoh pejuang, tokoh pergerakan, dan tokoh organisasi di Sambas yang menyambut dengan tangan terbuka dan bersedia berkorban demi tetap tegaknya Indonesia sebagai negara yang merdeka dan tidak ingin Belanda menjajah kembali bangsa Indonesia khususnya di Sambas.

Di Sambas, menurut M. Sabirin AG dalam bukunya yang berjudul Perjuangan Rakyat Sambas Menentang Penjajah yang terbit tahun 2010 dikatakan bahwa berita proklamasi kemerdekaan Indonesia baru dapat diterima pada bulan Oktober tahun 1945 melalui siaran radio Sarawak, Malaysia Timur. Itu berarti sekitar 2 bulan setelah proklamasi dibacakan di Jakarta pada bulan Agustus. Selain itu, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia juga dibawa oleh tokoh pemuda bernama Ismail dan Zain Zakaria yang sengaja datang dari Pontianak ke Sambas sebagai utusan Dokter Soedarso untuk menyiarkan berita proklamasi. Setelah mendengar berita proklamasi tersebut, tokoh-tokoh pejuang pergerakan di Sambas menyikapinya dengan membentuk organisasi bernama Persatuan Bangsa Indonesia Sambas (PERBIS) pada tanggal 13 Oktober 1945 yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Siradj Sood, Naim Abdul Razak, Mohammad Kemat, Mohammad Umar Sood dan Hamidi Abdul Rachman.


Pada tanggal 15 Oktober 1945, PERBIS mengadakan rapat yang pertama membicarakan upaya penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat di Sambas. Pada saat rapat berlangsung, Polisi Belanda mendatangi tempat pertemuan tersebut. Asisten Residen Brickfield kemudian bertemu dengan Siradj Sood selaku pemimpin PERBIS untuk menawarkan kerjasama agar PERBIS membantu Belanda dalam menjalankan pemerintahannya di Sambas. Namun penawaran kerjasama tersebut ditolak oleh Siradj Sood dan kawan-kawannya dengan alasan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka dan terlepas dari segala bentuk penjajahan dari bangsa manapun.

Akibat penolakan PERBIS untuk bekerjasama dengan Belanda, Brickfield kemudian memerintahkan Kapten Van der Schoors untuk membubarkan organisasi PERBIS yang dianggap melawan Belanda. Dalam usaha tersebut, Belanda mengerahkan anggota Polisi Keamanan Umum (PKO) yang dipimpin oleh seorang Indo Belanda bernama Rudolf van der Lief atau dikenal dengan nama Tuan Dolof.

Diceritakan pada tanggal 26 Oktober 1945, seorang tokoh pergerakan bernama Muhammad Akir beserta rombongannya datang dari Pemangkat ke Sambas untuk menghadiri rapat PERBIS di Gedung Sekolah Tarbiyatul Islam Sambas. Mereka datang menggunakan truk yang dipadati oleh orang-orang pendukung kemerdekaan. Di sepanjang perjalanan, rombongan itu mengibar-kibarkan bendera merah putih sambil meneriakkan “merdeka, merdeka, merdeka”. Kedatangan rombongan dari Pemangkat tersebut mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat Sambas. 

Pada malam harinya di tanggal 26 Oktober 1945 itu, tokoh-tokoh PERBIS mengadakan rapat di rumah Siradj Sood yang berada di kampung Tumuk untuk membicarakan segala rencana yang akan dilakukan dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Sambas. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa akan diadakan rapat umum masyarakat Sambas pada tanggal 27 Oktober 1945 di gedung bioskop milik Siradj Sood. Tujuan diadakannya rapat umum tersebut untuk menumbuhkan dan membakar semangat masyarakat Sambas dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Akhirnya sesuai waktu yang disepakati dalam rapat PERBIS, pada tanggal 27 Oktober 1945, sekitar pukul 8 pagi, masyarakat Sambas berkumpul di gedung bioskop “Indonesia Teater” untuk mengikuti rapat umum yang diadakan PERBIS. Kemudian pada sekitar pukul 11 siang, dari gedung bioskop mereka berjalan menuju ke kantor Kontrolir Sambas. Setelah rombongan pendukung PERBIS sampai di halaman kantor Kontrolir Sambas ternyata mereka melihat bendera Belanda yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, putih dan biru masih berkibar. Melihat bendera tersebut masih berkibar, masyarakat Sambas menjadi marah dan berniat segera menurunkan bendera Belanda dari tiangnya. Bendera Belanda kemudian disobek pada bagian yang berwarna biru dan dinaikkan kembali sehingga yang berkibar adalah bendera merah putih sebagai lambang bendera Indonesia.

Setelah mengibarkan bendera merah putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya disertai pekikan salam kemerdekaan, masyarakat Sambas pendukung kemerdekaan Indonesia kemudian memasuki kantor Kontrolir Belanda dan memporakporandakannya. Melihat keberingasan masyarakat Sambas, Van der Lief sebagai komandan PKO mengancam masyarakat Sambas yang sedang mengamuk di Kantor Kontrolir itu dengan pistol. Namun masyarakat Sambas tidak mempedulikan ancaman tersebut, bahkan massa semakin marah dan mengeroyok Van der Lief hingga tewas.

Setelah melakukan penurunan bendera Belanda dan menaikkan bendera merah putih di kantor Kontrolir Belanda, masyarakat Sambas kemudian bergerak menuju ke komplek Kesultanan Sambas guna mengibarkan bendera merah putih sebagai simbol bahwa Indonesia sudah merdeka. Namun ditengah perjalanan menuju komplek Kesultanan Sambas, mereka dihadang oleh Polisi Belanda yang dipimpin oleh Kapten Van der Schoor. Polisi Belanda memerintahkan agar massa pendukung PERBIS tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan mengurungkan niatnya untuk mengibarkan bendera merah putih di komplek Kesultanan Sambas. Tetapi perintah tersebut tidak dipedulikan oleh massa. Bahkan salah seorang tokoh PERBIS bernama Tabrani Ahmad dengan gagah berani maju untuk mengibarkan bendera merah putih sambil berteriak lantang “merdeka, merdeka, merdeka”. Tindakan Tabrani Ahmad tersebut membuat Polisi Belanda yang memblokade massa marah dan kemudian menembak Tabrani Ahmad hingga tewas. Selanjutnya Pasukan Polisi Belanda menembaki massa yang mengakibatkan korban berjatuhan di pihak massa pendukung kemerdekaan Indonesia. Peristiwa berdarah tersebut dikenal sebagai Peristiwa Sambas berdarah tanggal 27 Oktober 1945.

Pada peristiwa berdarah tanggal 27 Oktober 1945 itu, menurut Usman dalam bukunya Denyut Nadi Revolusi Kemerdekaan di Kalimantan Barat yang terbit tahun 2007, dikatakan bahwa banyak tokoh dan pendukung kemerdekaan Indonesia dari Sambas yang gugur dan terluka. Siradj Sood sendiri selaku tokoh PERBIS mengalami luka parah akibat tertembak peluru Polisi Belanda. Hal tersebut terjadi pada waktu Siradj Sood berlari untuk mengambil bendera merah putih dari tangan Tabrani Ahmad yang tewas tertembak peluru Polisi Belanda dengan maksud agar bendera merah putih itu tidak jatuh ke tanah. Setelah tertembak, Siradj Sood berpura-pura mati dan tidak bergerak sehingga Polisi Belanda menganggapnya sudah tewas. Setelah Pasukan Polisi Belanda pergi meninggalkan komplek Kesultanan Sambas, Siradj Sood kemudian dengan merangkak menuju ke belakang komplek Kesultanan Sambas. Di sana ia diselamatkan oleh orang-orang yang masih hidup untuk selanjutnya dibawa ke Kampung Tumuk menggunakan sampan. Peluru yang bersarang di tubuh Siradj Sood berhasil dikeluarkan oleh Dokter Salekan yang dibantu oleh Mantri Saleh. Sedangkan Tabrani Ahmad, teman seperjuangan Siradj Sood, gugur ditembak Belanda.

Pada akhirnya Siradj Sood selaku pemimpin PERBIS ditangkap oleh Belanda agar perlawanan masyarakat Sambas tidak meluas. Siradj Sood dituduh Belanda sebagai otak penggerak perlawanan masyarakat Sambas terhadap Belanda. Setelah ditangkap, Siradj Sood menjalani hukuman penjara selama 2 tahun di penjara Sungai Jawi Pontianak. 

Peristiwa tanggal 27 Oktober 1945 di Sambas telah membuktikan adanya sikap nasionalisme di Indonesia bukan hanya dimiliki oleh orang-orang di Pulau Jawa atau Pulau Sumatera saja, melainkan juga ada di Pulau Kalimantan seperti pada masyarakat Sambas di awal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme di Indonesia secara umum muncul sesudah tahun 1908, seperti yang dikatakan oleh Tamburaka dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek yang terbit tahun 2002, telah menyebar luas hingga ke daerah di luar Pulau Jawa. Perjuangan PERBIS di Sambas mencerminkan adanya solidaritas yang artinya perjuangan tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Ingleson dalam bukunya yang berjudul Jalan Ke Pengasingan Pergerakan Kaum Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 yang terbit tahun 1988, bahwa perjuangan dengan solidaritas yang berarti menganggap kemerdekaan sebagai tujuan utama dari perjuangan kaum nasionalis dengan adanya partisipasi seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu dan mengesampingkan perbedaan-perbedaan sehingga dapat menghancurkan kekuasaan penjajah Belanda. Nilai-nilai nasionalisme dari para pejuang yang terlibat dalam organisasi PERBIS dan peristiwa 27 Oktober 1945 di Sambas patut diteladani oleh generasi muda pada masa sekarang ini sebagai modal dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera.

Foto: Gerbang Keraton Sambas pada masa sekarang yang pada masa lalu menjadi saksi peristiwa revolusi kemerdekaan Indonesia di Sambas (Dok. Pribadi).

0 Comments:

Post a Comment