Menagih Amanat Perda HBD, Inventarisasi Korban Peristiwa Mandor 1944 Belum Selesai

Makam Juang Mandor di Kalimantan Barat (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)


Oleh: Yusri Darmadi | Pamong Budaya Bidang Kesejarahan BPNB Kalimantan Barat

Kalimantan Barat memiliki sejarah kelam pada masa pendudukan Jepang. Periode pendudukan Jepang yang singkat  tetapi memakan korban melalui pembunuhan besar-besaran secara berencana atau genosida. Insiden tersebut dikenal dengan Peristiwa Mandor atau ada juga yang menyebutnya oto sungkup. Peristiwan Mandor terjadi pada tanggal 28 Juni 1944 di suatu tempat dalam Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak

            Saat ini Peristiwa Mandor selalu diperingati melalui Upacara Bendera dan Pengibaran Bendera Setengah Tiang serta ditetapkan sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Barat No. 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor Sebagai Hari Berkabung Daerah dan Makam Juang Mandor Sebagai Monumen Daerah. Meskipun demikian, beberapa tahun terakhir peringatan Hari Berkabung Daerah tidak terasa berkesean dan hanya formalitas sekedar menjalankan Perda, itupun tidak dijalankan secara keseluruhan. Beberapa contoh, untuk mengibarkan bendera setengah tiang, belum semua instansi yang melakukannya. Sementara di Perda tersebut sudah dijelaskan pada Bab IV Pasal 5 (1) b, diwajibkan mengibarkan Bendera Merah Putih setengah tiang selama satu hari di lingkungan Instansi Vertikal, Instansi Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan baik negeri maupun swasta dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, BUMN dan BUMD, swasta serta di setiap rumah tempat tinggal penduduk di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Begitu juga terkait Upacaranya yang diatur dalam Pasal 5 (1) c. 

            Bagian selanjutnya dari Perda No. 5 Tahun 2007 justru lebih signifikan untuk dilakukan di masa yang akan datang yaitu Bab VI tentang Pendataan dimana Pasal 8 (1) berbunyi Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pendataan terhadap jumlah dan identitas korban perlawanan pendudukan fasisme Jepang di Kalimantan Barat, berdasarkan bukti dan/atau dokumen sejarah yang berkaitan dengan Peristiwa Mandor. Saat ini penulis memiliki data rekapitulasi korban peristiwa mandor sebanyak 642 jiwa, sedangkan total korban peristiwa tersebut sebanayak 21.034 jiwa, jadi data yang sudah ada hanya 3% dari total seluruh korban. Ini menjadi kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat untuk meningkatkan presentase dari tahun ke tahun sesuai amanat Perda yang telah ditetapkan sejak tahun 2007.

            Pasal 8 (3) lebih signifikan lagi yaitu Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun dan menerbitkan Buku Sejarah Pergerakan Nasional Melawan Penjajahan di Kalimantan Barat yang memuat secara lengkap fakta peristiwa Mandor yang memenuhi standar ilmiah. Buku tentang Peristiwa Mandor pertama kali terbit tahun 1974 ditulis oleh Mawardi Rivai. Tulisan-tulisan di media massa yaitu Harian Akcaya telah dilakukan oleh Abdul Halim R. pada tanggal 28 Juni setiap tahun medio 1970-an. Oleh karena itu, sudah kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat untuk menerbitkan kembali buku tentang Peristiwa Mandor dengan data yang lebih terkini dan sesuai dengan standar ilmiah. Bisa juga terkait kesaksian keluarga korban peristiwa mandor melalui metode sejarah lisan.

        Salah satu korban peristiwa mandor bernama Tio Peak Tjeng, seorang pengusaha/pengepul tanaman niaga dari Ketapang. Sebelum Jepang datang, aktivitas Tio Peak Tjeng mengepul atau mengumpulkan beberapa tanaman niaga di Ketapang seperti rotan dan karet dalam Firma Tjhia. Bukan hanya di Ketapang, beliau juga mengumpulkan tanaman niaga sampai ke Kapuas Hulu. Hubungan Tio Peak Tjeng dengan Raja Simpang Matan Panembahan Gusti Muhammad sudah menjadi keluarga. Saat Gusti Saunan ke Pontianak, Tio Peak Tjeng ikut hadir dan saat itu sempat dibicarakan tentang kekejaman Jepang terhadap masyarakat saat itu.

            Keesokan harinya, Tio Peak Tjeng pulang ke Ketapang, tetapi belum lama tiba di Ketapang pada saat subuh pagi, pasukan Jepang datang menjemput beliau dengan cara yang tidak pantas, dengan menyungkup atau menutup kepala dan memasukkan ke dalam drum untuk di kirim ke Mandor Landak. Saat itu ada Sembilan orang yang dijemput pasukan Jepang di Ketapang termasuk Panembahan Gusti Muhammad Saunan. Rincian penangkapan Tio Peak Tjeng ini diceritakan oleh Bapak Santyoso Tio yang merupakan cucu dari garis ayahnya.

Prasasti nama-nama tokoh masyarakat Ketapang yang dibunuh Jepang sepanjang 1943-1944

Sumber Foto: Simon Yosonegoro

            Korban lainnya adalah Tan A Tjui (A Cui) yang menurut cerita keluarga (Tan A Tjui adalah adik kandung nenek seorang teman bernama dr. Simon Yosonegoro. Korban tidak mau meninggalkan Ketapang meskipun sudah diingatkan bahwa beliau menjadi incaran pasukan Jepang karena cintanya pada Ketapang, tanah kelahirannya. Orang Melayu yang menjadi korban Peristiwa Mandor salah satunya bernama Ibrahim bin Abdul Razaq yang bekerja sebagai pedagang, diculik oleh pasukan Jepang dari Singkawang, memiliki anak seorang pensiunan Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UNTAN, Alm. H. Mahidin Ibrahim. Data ini berdasarkan informasi cucu korban bernama Kurnia Ramadhan.  Beberapa nama lainnya yaitu Uti Salman (Lurah pertama Riau Danau Kecamatan Tumbang Titi Kabupaten Ketapang), tertulis di Monumen Makam Juang Ketapang dengan nama Gusti Oeimaij. Sedangkan dari Kecamatan Kendawangan ada nama Bulat bin H. Mohd. Amin, Husni (Husen) bin Hamid dan Erat. Masih banyak nama-nama lainnya baik yang terdata maupun yang belum terdata. Sebagai usaha awal, akan dibentuk grup komunikasi yang berisi keluarga korban Peristiwa Mandor.

0 comments:

Post a Comment