Sebuah Sekolah Taman Siswa di Jawa Sumber foto: grid.id |
Oleh: M. Rikaz Prabowo | Redaksi Majalah Riwajat
Suwardi Suryaningrat dan Ernest Douwes Dekker sama-sama pernah mendirikan parpol pertama di Hindia Belanda yakni Indische Partij (1912) yang berbuah pembuangan oleh Belanda. Sepulang dari pembuangan, keduanya banting setir berjuang melalui pendidikan dan pendirian sekolah.
Menarik, untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia, pribumi maupun peranakan bisa mengenyam pendidikan. Akan tetapi kesempatan itu masih jauh dari kata merata dan terbuka. Hanya rakyat Indonesia golongan Priyayi, Bangsawan, Keraton, atau orang yang dianggap penting saja oleh Belanda yang dapat mengenyam pendidikan. Untuk itulah selain sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda berdiri juga sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh kaum bumiputera untuk semua kalangan. Pemerintah Kolonial menyebutnya Sekolah Partikelir, bisa juga disebut "Sekolah Liar" bagi yang tidak berizin.
Masa pergerakan kebangsaan tidak hanya menghasilkan para politisi kebangsaan awal, namun juga tokoh pendidikan. Ada yang memang konsen sedari awal menetapkan perjuangannya melalui jalur pendidikan, namun juga ada yang "banting setir" dari perjuangan politik ke perjuangan pendidikan. Beberapa diantaranya adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Jelas khalayak sudah banyak yang mengetahui jika Suwardi Suryaningrat atau akrab disapa Ki Hadjar Dewantara (KHD) adalah pendiri Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. KHD yang sebenarnya hampir saja menjadi dokter bumiputera karena pernah bersekolah di STOVIA ini dibuang ke Belanda pada 1913 karena aktivitasnya di IP yang membuat kuping pemerintah kolonial panas.
Pembuangan di Belanda agaknya lebih baik daripada harus dibuang di Bangka sebagaimana rencana awal Gubernur Jenderal Idenburg. Di negeri kincir angin itu aktivitas politik nasionalismenya tetap dapat disalurkan dengan baik, ia tergabung dalam Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang merupakan wadah pelajara-mahasiswa Indonesia disana. KHD bahkan juga mendirikan Indonesische Persbureau atau Kantor Berita Indonesia yang bermarkas di Den Haag. Kantor berita pertama bentukan orang Indonesia ini menjadi jembatan informasi bagi orang-orang Indonesia di Belanda bahkan berkembang menjadi sarana propaganda kaum nasionalis seperti Moh. Hatta.
Kecintaannya dengan dunia pendidikan membuatnya ingin memajukan kaum bumiputera melalui pengajaran agar berfikiran maju dan mampu meraih kemerdekaan Indonesia kelak. Ia pun memutuskan untuk menempuh pendidikan lebih lanjut di bidang ilmu pendidikan dan berhasil mendapatkan Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi. Pemegang ijazah jenis ini dianggap memiliki kemampuan yang sama dengan guru-guru bangsa eropa dan dapat mengajar di sekolah milik Belanda kelak. Sebagai ahli ilmu pedagogik, KHD menyerap dengan baik ide-ide atau metode pendidikan yang dikembangan oleh beberapa tokoh pendidikan dunia seperti Maria Montessori dari Italia, Friederich Froebel dari Jerman, dan Rabindranath Tagore dari India.
Atas dasar ide-ide pendidikan itulah saat KHD kembali ke Indonesia (September 1919) ia mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Lembaga pengajaran yang kedepan lebih dikenal dengan Perguruan Taman Siswa ini berdiri di atas lahan dan bangunan milik dirinya secara pribadi dan sebagian tanah milik Kadipaten Pakualaman. Sebagai prinsip dasar, Taman Siswa memiliki pedoman universal bagi setiap staf pengajarnya yang dikenal dengan Patrap Triloka yang dikemas dalam unsur-unsur bahasa jawa, yakni: Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun inisiatif), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dukungan/semangat).
Pada masa awal berdiri Perguruan Taman Siswa cukup digemari oleh kaum bumiputera untuk dapat mengakses pendidikan mengingat sekolah yang didirikan pemerintah kolonial hanya untuk kalangan priyayi dan juga diskriminatif. Selain itu sekolah seperti Taman Siswa juga berbiaya yang lebih rendah serta tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantara. Taman Siswa berkembang dengan pesat ke luar Yogyakarta hingga sekarang dan memiliki jenjang pendidikan mulai Taman Indria setingkat Taman Kanak-Kanak hingga Taman Sarjanawiyata atau Perguruan Tinggi. Pasca kemerdekaan Pemerintah RI menjadikan KHD sebagai Menteri Pendidikan pertama. Ia wafat pada 26 April 1959 dan pada tahun yang sama pula ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Penghargaan lain yang KHD terima yakni gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada dan namanya diabadikan dalam salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut. Hari kelahirannya juga ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional. Salah satu prinsip Patrap Triloka yang ia kembangkan yakni Tut Wuri Handayani juga diabadikan pemerintah sebagai semboyan dalam lambang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Diikuti Oleh Ernest Douwes Dekker
Tokoh IP yang juga memutuskan untuk berganti haluan perjuangan di bidang pendidikan adalah E.F.E Douwes Dekker atau Danudirja Setia Budi. Di pembuangan di Belanda, Douwes Dekker memang tidak terlalu aktif di kegiatan Perhimpunan Indonesia layaknya Ki Hadjar Dewantara. Ia memilih untuk melanjutkan studi doktoralnya di bidang ekonomi di Universitas Zurich, Swiss. Pada tahun 1920 Douwes Dekker sudah kembali ke Hindia Belanda dan aktif di kegiatan jurnalistik di organisasi Insulinde (kemudian berubah menjadi National Indische Partij) sebagai kelanjutan dari IP. Surat Kabar organisasi itu, De Beweging juga masih kerap menuliskan artikel-artikel yang dapat membuat telinga pemerintah kolonial memerah. Aktivitasnya itu juga kerap membuat dirinya diperiksa oleh pengadilan namun berhasil di vonis bebas.
Pada September 1922 setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ia mulai mengajar Sekolah Dasar swasta milik orang Belanda bernama Ny. H.E Meyer Elenbaas di Bandung. Pada 1923 ia bergabung di Preanger Instituut van de Vereniging Volksonderwijs (Institut Pengajaran Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat di Bandung). Di sekolah itu ia menjadi kepala sekolah MULO atau sekolah setingkat SMP. Preanger Instituut juga menerima seluas-luasnya kesempatan bagi pribumi yang ingin bersekolah di tempatnya. Pada November 1924 dan atas dorongan rekan nya Ki Hadjar Dewantara yang sukses mendirikan Taman Siswa, ia merubah nama sekolahnya itu menjadi Ksatrian Instituut (KI).
Pada masa itu KI memiliki visi pengajaran yang orientasinya siap kerja di masa depan. Dengan tujuan pengajaran berdasar jiwa nasional dan pendidikan ke arah manusia yang berfikiran merdeka, KI membuka beberapa sekolah di kota-kota sekitar Jawa Barat. Selain Sekolah Dasar di Bandung, Ciwidey, Cianjur, dan Sukabumi, KI juga mendirikan Moderne Middlelbare Handelsschool (MMHS) atau Sekolah Dagang tingkat Menengah. Douwes berharap lulusan MMHS yang siap kerja dan berwirausaha, tentu prakarsa ini tidak terlepas dari titel Doktoralnya yang memang di bidang ekonomi. Beberapa materi pengajaran ekonomi ia sendiri yang menyampaikan kepada siswanya. Bahkan di MMHS itu sendiri akhirnya dibuka jurusan Jurnalistik guna melahirkan jurnalis-jurnalis kritis dan berkepribadian nasional.
KI terus berkembang membuka sekolah-sekolah bagian lain, pada 1 Agustus 1935 didirikan Sekolah Pendidikan Guru yang lulusannya dapat mengajar di Sekolah Rakyat. Untuk urusan fasilitas KI juga serius memperhatikan urusan kesehatan anak didiknya yang akan menjadi penerus perjuangan di masa depan. KI merekrut beberapa dokter menjadi pegawai untuk urusan mengawasi kesehatan siswa. Hal ini bahkan jauh lebih maju daripada masa kini, dimana sekolah-sekolah di perkotaan pun belum tentu memiliki tenaga dokter di Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Agar tidak terlalu bergantung pada pemerintah kolonial, KI juga mengusahakan berbagai pemenuhan kebutan sekolah secara mandiri. Persoalan buku, KI mencetak sendiri buku mereka yang digunakan untuk kalangan civitas seperti buku-buku sejarah, buku-buku bahasa, buku pendidikan lalu lintas, dan buku statistika.
KI juga punya cara yang jitu agar komunikasi antara orang tua siswa dengan pihak sekolah terjalin dengan baik sembari menanamkan budaya baca dan pembangkitan rasa nasionalisme melalui majalah De Ksatria yang kepala redaksinya dipimpin oleh Raden Mas Hoedojo Hoeksamadiman. Majalah ini selain membuat berita-berita sekitar sekolah juga memuat liputan dalam dan internasional agar para orang tua mengetahui kondisi dunia terkini. Akan tetapi sayang pada 1933 buku-buku sejarah keluaran KI yang memang menanamkan semangat anti kolonialisme itu disita pemerintah dan dibakar. Ia juga mendapatkan sangsi untuk tidak boleh ikut mengajar di sekolah yang ia pimpin.
Ditengah perkembangan pesat KI pada 1941 Douwes Dekker ditangkap oleh pemerintah karena tuduhan yang "dibuat-buat", yakni mata-mata Jepang dan menyebarkan fasisme. Kondisi politik di Asia saat itu memang sedang panasnya terkait agresifitas Jepang merebut negara-negara koloni Eropa di Asia. Polisi kolonial beranggapan pengajaran bahasa Jepang di KI dan rencana mengirimkan lulusan-lulusan KI untuk belajar di Jepang merupakan bukti kuat ia kolaborator fasis. Padahal, Douwes Dekker sendiri tidak sepakat dengan fasisme Jepang. Pada Februari 1941 kepemimpinan KI ia serahkan pada istrinya Ny. Johanna Petronella Mossel karena mengalami pembuangan ke Suriname. Douwes Dekker sendiri baru kembali ke Indonesia pada 2 Januari 1946 dan segera bergabung dalam jabatan di pemerintahan, bersama Presiden Sukarno yang pernah menjadi pengajar di KI semasa di Bandung.
Sumber:
Aryono, Kisah Cinta Ki dan Nyi Hajar Dewantara, dalam Historia 01 Juli 2022
Omindra Pratama, Tiga Serangkai di Kota Bandung, dalam Mooi Bandoeng 3Juli 2022
0 Comments:
Post a Comment