Dari Mitos ke Logis: Perdebatan Tentang Toponimi Pontianak

Kanal di Kawasan Pasar Tengah Pontianak masa Kolonial

Sumber: wereldculturen.nl


Oleh: Yusri Darmadi

Pamong Budaya Bidang Sejarah Balai Pelestarian Kebudayaan Kalimantan Barat


Sejak awal Allah SWT mengajarkan kepada Adam A.S., nama-nama benda yang ada di lingkungannya, sesuatu yang tidak pernah diajarkan-Nya baik kepada malaikat maupun setan, “dan Ia ajari Adam nama-nama semuanya ...” (Q.S. 2:31). Mungkin pembaca juga pernah mendengar pernyataan bersayap what’s in a name yang diucapkan oleh Yuliet ketika berbantah dengan Romeo dalam Romeo and Juliet karya William Shakespeare. Bahwa nama itu demikian penting dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.

Menurut Ayatrohaedi (1993: 10) dalam orasi guru besarnya berjudul “Kata, Nama dan Makna”, bahwa pengetahuan mengenai nama itu sangat penting, terbukti dari berkembangnya pengetahuan mengenai segala sesuatu yang berkenaan dengan nama itu. Pengetahuan yang disebut onomastik itu biasanya dibagi menjadi dua cabang yang di beberapa negara sudah berkembang menjadi bidang kajian sendiri. Cabang yang pertama adalah antroponimi, yaitu pengetahuan yang mengaji riwayat atau asal-usul nama orang atau yang diorangkan. Cabang kedua adalah toponimi, yaitu pengetahuan yang mengaji riwayat atau asal-usul nama tempat.

Apabila dikaji secara toponimi (bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya), arti kata Pontianak memiliki beberapa versi. Menurut tradisi lisan setempat adanya hantu kuntilanak atau hantu perempuan di daerah Batu Layang dan pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Namun menurut Jimmy M. Ibrahim dalam buku “Dua Ratus Tahun Kota Pontianak” (1971: 17) menjelaskan bahwa kuntilanak dimaksud adalah bajak laut yang membunuh dan merampas hasil komoditas para pedagang yang berniaga di kawasan tersebut, juga sebagai basis persembunyiannya. Pendapat ini dipertegas oleh Hasanuddin dalam buku “Pontianak Masa Kolonial” (2014: 23). Penulis menjadikan dua buku tersebut sebagai referensi karena sejarah itu bukan mitos. Sama-sama menceritakan masa lalu sejarah berbeda dengan mitos. 

Menurut Kuntowijoyo (2001: 8-9) dalam buku “Pengantar Ilmu Sejarah”, mitos menceritakan masa lalu dengan waktu yang tidak jelas, dan kejadian yang tidak masuk akal orang masa kini. Tradisi lisan dapat menjadi sejarah, asal ada sumber sejarah lain. Dengan demikian tradisi lisan tentang penamaan kota pontianak yang berasal dari kuntilanak dapat menjadi sejarah setelah “dirasionalisasikan” oleh sumber sejarah lainnya dalam hal ini tulisan Jimmy M. Ibrahim dan Hasanuddin.

Versi lainnya dari penamaan Pontianak dapat diliahat dalam buku “Pontianak Heritage dan beberapa yang berciri khas” karya Ahmad Asma DZ (2013: xxxii-xxxv). Dalam buku tersebut dijelaskan empat versi lainnya yakni Pertama, cerita rakyat melayu yang artinya ayunan anak. Kedua, berdasarkan kajian filologi Henry-Chambert Loir berasal dari nama pohon punti atau kata pon dan ti yang berarti pohon tinggi. Keiga, berasal dari kata Pontian yang artinya perhentian. Keempat, dari bahasa mandarin Kun Tian yang artinya tempat perhentian; persinggahan.

Berbagai versi penamaan pontianak tersebut perlu dikaji lagi secara mendalam agar masyarakat memahami kenapa Ibu kota Provinsi Kalimantan Barat bernama Pontianak dan penamaan Pontianak tersebut dipahami secara rasional bukan mitos sebagaimana almarhum Kuntowijoyo pernah memberi judul bukunya “Selamat tinggal mitos selamat datang realitas”.

0 Comments:

Post a Comment