Zaman Lada Dalam Sejarah Bengkulu

Benteng Marlborough yang dibangun saat masa kolonialisme
Inggris di Bengkulu (Sumber: KITLV)


Oleh Hardiansyah | Kontributor Majalah Riwajat, Penulis Sejarah Bengkulu


Kekayaan nusantara menjadi sebuah berkah tersendiri bagi para penduduknya sejak zaman dahulu kala. Berbagai barang tambang dan hasil bumi menjadi komoditas ekspor ke berbagai wilayah dan negara. Tidak salah jika komoditas ini menjadi rebutan baik oleh pedagang asing maupun pedagang lokal. Daerah-daerah kaya menjadi incaran ekspansi para penguasa lokal yang berimbas pada konflik menahun bahkan berabad-abad antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa ekonomi sangat berpengaruh pada suatu politik dalam negeri dan politik luar negeri suatu bangsa.  Demikian terkenalnya nusantara pada masa lalu dengan rempah–rempahnya (meminjam istilah Vlakke, Spicy Island) membuat bangsa-bangsa asing telah melakukan perdagangan di Kepulauan Nusantara. Situs Lobu Tua di Barus menunjukkan bahwa pantai pesisir barat Sumatera telah menjadi sebuah bandar dagang yang besar lepas dari pengaruh Sriwijaya.
Pedagang pedagang asing yang datang dapat dibagi menjadi dua gelombang. Gelombang pertama antara lain pedagang yang datang dari Arab, Cina, India dan lain sebagainya. Gelombang selanjutnya adalah kedatangan pedagang-pedagang Eropa yang mencari jalan lain ke pulau rempah-rempah karena blokade dan boikot yang dilakukan kaum muslimin akibat Perang Salib. Muncullah orang Portugis di Malaka (1511), Portugis dan Spanyol di Maluku, yang diikuti oleh pedagang Belanda, Inggris, Perancis dan lain sebagainya. Jika pedagang-pedagang sebelumnya yang ada di gelombang pertama berdagang dan sebagiannya menetap serta berasimilasi dengan penduduk setempat, namun berbeda dengan tipikal pedagang yang hadir pada gelombang kedua. Pedagang Eropa menyimpan suatu misi, tidak hanya berdagang namun juga menginvasi dan menancapkan ‘kuku–kuku’ mereka di daerah–daerah kaya tersebut agar memperoleh monopoli perdagangan dengan untung yang luar biasa.

Maka setelah itu mulailah kepulauan Nusantara memasuki babak baru. Kekayaan yang selama ini menjadi keberkahan seolah menjadi sebuah bencana. Penjajahan berlangsung dan perlawanan rakyat tidak henti–hentinya bahkan berabad-abad. Satu persatu kerajaan yang ada menjadi boneka penjajah, hilang dalam peta bumi, bahkan kebanyakan sudah tidak memiliki harga diri lagi. Raja-raja boleh bergelar mentereng selangit namun faktanya pemegang kuasa adalah kaum penjajah. Kepulauan ini akhirnya dikenal sebagai Hindia–Belanda.

Salah satu komoditas yang diicar oleh para pedagang sejak lama adalah lada yang khususnya ditanam di Pesisir Barat Sumatera dan bagian utara. Meilink Roeleofz mengetengahkan sebuah fakta yang unik bahwa sebelum abad ke-12, lada belum dikenal dalam perdagangan dengan bangsa China. Hal ini terlihat dari tidak adanya lada dalam daftar produk-produk yang dijual di Sriwijaya. Namun kemudian lada mulai dibudidayakan secara intensif di lereng-lereng pegunungan Sumatera Bagian Utara. Produk ini akhirnya menjadi produk unggulan dan komoditi ekspor dari pelabuhan laut Samudera Pasai dan Pidie (Roelofz, 2016: 16).

Lada (Piper Ningrum) disinyalir berasal dari India dan Burma yang dibawa oleh orang-orang Hindu ke Jawa sejak 100 SM–600 M (Purseglove: 1981). Selain di bagian utara Sumatera, lada juga marak ditanam di Bengkuu. Sejak kapan lada ditanam di Bengkulu dan menjadi komoditas yang menjajikan? sulit untuk melacak pertanyaan tersebut. Namun jauh sebelum Selat Malaka jatuh ke tangan Portugis, lada dari Bengkulu telah dijual ke Palembang melalui sungai-sungai lalu diteruskan ke Malaka. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, banyak orang yang akhirnya menelusuri pelayaran di Pantai Barat Sumatera dimana penduduk setempat pun akhirnya mampu menjual langsung lada mereka.

William Marsden dalam History of Sumatera secara detail menuliskan tentang tanaman lada ini. Mulai dari pertumbuhan, jenis-jenisnya hingga bagaimana masyarakat merawat tanaman lada. Menurut Marsden, pada masa itu di Bengkulu terdapat beberapa jenis lada seperti Lado Kawur yang jenis yang paling kuat dan mempunyai daun dan buah paling besar namun berbuah lebih lambat. Adapula jenis Lado Manna yang lebih kecil namun usia panennya lebih cepat dan banyak walaupun buahnya kecil daripada Lado Kawur dan Lado Jambi yang pada masa itu telah kehilangan pamornya karena buah paling kecil dan usia panen yang lama dan sedikit.

Sebelum Inggris berkuasa di Bengkulu, wilayah ini masih dalam penguasaan Kerajaan Banten. Mereka mengirim utusan yang disebut Jenang untuk mengumpulkan lada dari penduduk Bengkulu. Tidak hanya Bengkulu, Lampung yang juga menjadi pusat lada juga tunduk terhadap Banten. Pertentangan antara Sultan Haji dan Sultan Ageng di pusat Kerajaan Banten membuat Inggris akhirnya hengkang dari Banten. Awalnya, Inggris menentukan Pariaman di Sumatera Barat sebagai pusat perdagangannya. Namun karena kekeliruan navigasi maka Inggris akhirnya tersesat ke Bengkulu dimana penduduknya menyambut ramah Inggris disini. Tidak perlu waktu lama akhirnya Inggris pun bercokol di Bengkulu dimana mereka mendirikan benteng dekat kuala Sungai Bengkulu bernama Fort York (saat ini berdiri kantor KUA Pasar Bengkulu).

Tak perlu waktu lama bagi Inggris untuk mendapatkan hak monopoli lada. Pada 16 Agustus 1695 Inggris mengadakan perjanjian dagang dengan Pangeran Selebar, Depati Bangsa Radin (Pangeran Natadiraja). Oleh Depati Bangsa Radin EIC diberikan hak monopoli lada di Selebar (yang dulu dikuasai VOC), konsesi penguasaan Bandar Selebar atas tanah dekat Teluk Selebar seluas dua mil untuk keperluan gudang dan lain sebagainya. Tanggal 26 September 1695 diadakan perjanjian dagang dengan Sultan Gulemat dari Kerajaan Anak Sungai dengan monopli lada dari Menjunto hingga Ketahun. Inggris pun berhasil membuka pos dagang dari Ketahun, Seblat, Seluma, Manna dan Krui.

Konflik pertama antara rakyat Bengkulu dan Inggris bermula dari ketidaksenangan Inggris terhadap Pangeran Nata Dirja yang masih memberikan angin untuk VOC sehingga dibuatlah cara licik agar sang Pangeran mengakhiri kekuasaannya di Selebar. Beliau diundang ke Fort York atas undangan Wakil Gubernur Anthony Ettrick dan dibunuh disana. Perlawanan rakyat terjadi pada 23 Maret 1719 dimana pasukan dari Suku Lembak di bawah pimpinan putera Pangeran Natadiraja menyerang Fort Marlborough, benteng baru Inggris di Ujung Karang. Pasukan Inggris kocar–kacir dan meninggalkan Bengkulu utuk sementara waktu. Perlawanan selanjutnya adalah penyerangan dan pembunuhan rakyat Bengkulu terhadap Residen Thomas Parr pada 26 Desember 1807.

Kekuasaan Inggris berakhir dengan ditandatanganinya traktat London pada tahun 1824. Dengan berakhirnya kekuasaan Inggris maka dimulailah kekuasaan Belanda di Bengkulu. Pada masa itu perdagangan lada merosot drastis yang memaksa Belanda mengeluarkan kebijakan baru dalam perdagangan komoditas itu. Hal ini pada awalnya membuat penjualan lada naik kembali, namun tak perlu waktu lama, pamor lada pun turun. Kebun–kebun lada biasanya dikuasai oleh para bangsawan Bengkulu. Namun hasilnya tidak banyak karena perkebunan tersebut tidak dipelihara sebagaimana mestinya. Zaman lada di Bengkulu telah kehilangan masa kejayaannya, lada diganti dengan tanaman lainnya seperti kopi.

Belanda mengeluarkam kebijakan tanam paksa kopi pada tahun 1833, namun hasilnya tidak memuaskan. Hanya di daerah Krui menjadi komoditi yang cukup menggembirakan. Namun itu semua harus dibayar mahal dengan dibunuhnya asisten Residen Knoeerle oleh rakyat. Belanda tidak kapok, pada tahun 1870 dikeluarkan kembali peraturan tanam paksa kopi dan lada. Peraturan ini membuat keributan kembali dan Asisten Residen Van Amstel dan Kontrolir Cartene dibunuh pula oleh rakyat.

Memasuki akhir abad ke 19, lada bukan lagi menjadi andalan hasil bumi Bengkulu. Posisinya telah digeser oleh kopi dan perkebunan–perkebunan teh yang dibuka dan dikelola oleh perusahaan Belanda. Apalagi dengan dibukanya tambang emas di Lebong, semua mata tertuju kepada logam mulia itu yang lebih menguntungkan daripada lada. Kejayaan lada Bengkulu akhirnya tinggallah kenangan.

0 Comments:

Post a Comment