Menulis Kembali Peristiwa Insiden Pontianak (Tragedi Mandor)

Seorang anak membawa bendera merah putih melintas di relief Makam Juang Mandor
Kabupaten Landak. (Sumber: V.F Sentosa via projectmultatuli.org)


Oleh:

Yusri Darmadi, S.S 

Pamong Budaya Ahli Pertama Bidang Kesejarahan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII Kalimantan Barat


"Insiden Pontianak (Tragedi Mandor) adalah penangkapan dan pembunuhan ribuan orang pada masa pendudukan Jepang di Kalimantan Barat yang diperingati setiap tahun oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat setiap tanggal 28 Juni sebagai hari berkabung daerah berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 2007."

Peristiwa ini terjadi 79 tahun yang silam atas perintah kaisar Jepang saat itu, Hirohito, yang ingin menjadikan Pulau Kalimantan sebagai koloni Dai Nippon karena memiliki kekayaan alam minyak mentah (Tarakan, Balikpapan, Seria dan Miri). Bahan bakar minyak mentah sangat dibutuhkan dalam Perang Asia Timur Raya. Penduduk yang belum padat juga menjadi faktor pendukung sehingga tidak menjadi rintangan dalam menduduki dan menjadikan Pulau Kalimantan sebagai koloni (Gin, 2015). 

Pendudukan Jepang di Kalimantan Barat diawali dengan pengeboman Kota Pontianak pada tanggal 19 Desember 1941 oleh sembilan pesawat atau dikenal dengan kapal terbang sembilan (Yanis, 1983). Beberapa saksi mata pengeboman pesawat Jepang tersebut dapat dilihat dalam buku berbahasa Belanda berjudul Rode Zon Boven Borneo (1968) karya C. van Heekeren, salah satunya nyonya Van der Werf menulis: “… tiba-tiba terdengar suara bom yang berjatuhan. Saya masih tidak tahu bagaimana saya tahu itu, saya pikir karena cerita perang di Eropa dari majalah dan surat kabar. Ledakan besar menghentikan jam dinding pada pukul 5 lewat 12, cermin wastafels pecah dan terbang berkeping-keping, rumah miring. Saya berlari ke kamar tempat bayi tidur, tidak terjadi apa-apa. Lalu turun ke galeri menuju kamar mandi, tempat pelayan memandikan tiga anak kecil laki-laki. Karena miring pintunya tidak bisa dibuka dan pelayan lainnya harus ikut membantu untuk membukanya. Kami semua pergi ke tempat penampungan sampai saya melihat api” (Heekeren: 34).

Sketsa lokasi yang terbakar (arsir merah) akibat bom dari pesawat Jepang.
Sumber: Nederlands Instituut voor Oorlogs Documentatie (NIOD)


Kepala rumah sakit misi, dr. Heilbrunn menceritakan “Seorang perawat ditempatkan di pintu masuk rumah sakit untuk memberikan morfin kepada yang terluka parah segera setelah tiba, yang lain siap dengan tintur yodium. Kami membagi yang terluka menjadi tiga kategori: 1. Kasus hampir meninggal, ini dikesampingkan dan tidak ada lagi yang dilakukan kecuali pemberian suntikan morfin, 2. Luka ringan dan sedang, ini dirawat di klinik rawat jalan rumah sakit oleh rekan Agoesdjam dan Lie Giok Tjoan yang juga sedang terluka. 3. Luka parah segera dipindahkan ke ruang operasi. Tercatat total korban meninggal 150 orang, cedera dirawat di rumah sakit 180 orang, luka ringan 50 sampai 75 orang dan meninggal di rumah sakit 50 orang (South Africa Medical Journal / SAMJ, Volume XVI, March 14, 1942).

Tujuan administrasi di wilayah pendudukan diuraikan oleh Kenichi Goto dalam Buku Batu Nisan di Lautan Api: Evolusi dan Konsekuensi seorang ‘Asianis’, “Hal yang paling penting dalam implementasi administrasi militer di wilayah pendudukan Jepang adalah ‘upaya keras untuk mendorong gerakan kemerdekaan terlalu cepat, dan memberlakukan aturan ketat pada kata-kata dan perbuatan yang menyiratkan masa depan milik Indonesia’. Akibatnya, menurut Surat Keputusan No. 1 tanggal 7 Maret 1942 yang mencanangkan pemberlakuan administrasi militer, dan Surat Keputusan No. 2 tanggal 8 Maret 1942, orang Indonesia dilarang membentuk perkumpulan. Kebijakan pelarangan perkumpulan dan mendengarkan siaran radio musuh dengan cepat diberlakukan. Selanjutnya, pada 20 Juni, semua ucapan, tindakan, deklarasi dan saran yang berkaitan dengan politik, dilarang sama sekali, bahkan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan bendera merah putih pun dilarang” (Iseki 1987: 182).

Tiga belas perkumpulan yang ada sebelum pendudukan Jepang diantaranya Partai Indonesia Raya (Parindra), Partai Anak Borneo (PAB), disatukan pada bulan Juli 1942 menjadi Ni Shin Kwai  (Ni = Pendekan dari kata Nippon, Sin = orang tua kita (wali kita), dan Kwai = perserikatan). Organisasi ini dipimpin oleh Noto Soedjono (Mantan Ketua Parindra Komisariat Kalimantan Barat) dan mendapat dukungan dari Residen Kalimantan Barat (Syutisitjo Nisihi Boruneo), Komandan Territorial Angkatan Laut, Letnan Kolonel Yamakawa, dan perwira senior Kempetai Kapten Yamamoto, Letnan Nakatani dan Letnan Hayashi. Pada bulan November 1942 Ni Shin Kwai dibubarkan (Achmad 1996: 29).

Pada bulan Mei 1943, konspirasi anti-Jepang yang dipimpin oleh mantan Gubernur Kalimantan, Bauke Jan Haga terungkap di Banjarmasin. Telah ditangkap 200 orang dan ditembak mati pada tanggal 20 (Borneo Simboen, Sabtoe 25 Desember 2603/1943). Sebelumnya, dr Soesilo yang dituduh bagian dari konspirasi anti-Jepang dan melakukan spionase, berkunjung ke Pontianak dan bertemu seorang bidan asal Manado bernama A.S.J. Rampen pada bulan Januari 1943. Saat dinterogasi oleh Tsuneo Iseki, Rampen mengatakan “Fakta bahwa kami orang Manado bertemu dan berbicara dengan Soesilo mungkin membuat kami berpikir bahwa kami bagian dari Soesilo, tetapi dalam sitasui kami saat ini, organisasi anti-Jepang tidak ada gunanya” (Iseki 1987: 36).  Selain Rampen, dr. Soesilo bersama Ir. Makaliwy juga bertemu dr. Roebini dan Pattiasina untuk memperbincangkan langkah selanjutnya berjuang melawan Jepang. 

Pengumuman di koran yang memuat Nona A.S.J Rampen.
Sumber: Borneo Simboen Pontianak 28 Agustus 1943

Insiden Pontianak diawali sekitar bulan Juli dan Agustus 1943, saat seorang intel polisi khusus bernama Amir sedang mengumpulkan informasi. Desas-desus mulai menyebar di masyarakat bahwa pihak Jepang berada pada situasi perang yang tidak menguntungkan. Sumber infromasi tersebut merupakan cerita nakhoda kapal yang membawa garam dari Surabaya ke Pontianak yang disebarkan oleh Ahmad Maidin, pemilik bioskop. Pada bulan September 1943, Ahmad Maidin ditangkap atas laporan Amir untuk selanjutnya diinterogasi. Proses interogasi dilakukan secara tidak manusiawi sebagaimana diceritakan oleh Tsuneo Iseki, “Pohon Jambu yang berbuah tumbuh dihalaman depan bangunan tempat para tahanan duduk. Seorang pria digantung di pohon pada ketinggian yang bisa dijangkau oleh jari kakinya, dan seorang tentara meraih tongkat dan memukulnya dengan sekuat tenaga. Pria itu berteriak setiap dipukul, melompat dengan jari kakinya hampir tidak mencapai tanah, ia melompat seperti sedang menari, Buk! Buk! Gah!, pria itu mengerang tanpa kata. Gelembung putih keluar dari mulutnya dan pingsan. Tentara mengendurkan ikatan tali dan membaringkannya di tanah. Kemudian dibawa masuk dan digantung lagi. Jeritan dan raungan berlanjut. Sambil menyerinagi, tentara memukul dengan semangat, seolah-olah mengingatkannya kesenangan memukul dengan lingkaran samurai”.

Tsueno Iseki diminta militer angkatan laut Jepang untuk mengiterogasi dua puluh orang tahanan. Tahanan pertama yang ditangkap adalah Ahmad Maidin, dibawa dari sel di belakang markas angkatan laut. Wajahnya bengkak, menunjukkan tingkat siksaan yang diterimanya, dan kakinya goyah, sekilas terlihat bahwa dia telah disiksa baik secara fisik maupun mental. “Karena tuan, bagaimana saya harus bicara, saya disiksa hari demi hari, saya tidak lagi memiliki tubuh saya, saya memberi tahu apa yang diminta, tetapi tidak akan diterima, jika saya mengatakan sesuatu seperti ini, saya akan dipukuli. Cerita Surabaya di bom, saya dengar dari nakhoda kapal layar Bugis yang membawa garam ke sini dari Surabaya, garam itu dimuat di pelabuhan Surabaya, dan ketika akan berlayar, pesawat Jepang ditembak jatuh satu dami satu dan terbakar. Nakhoda menceritakan kisah pasukan Sekutu menjadi lebih kuat dan tentara Jepang dihantam disana-sini. Tentang berita yang saya dengar di Surabaya dan Jepang mungkin akan kalah perang, Nakhoda datang untuk menonton film dua atau tiga kali sebelumnya, jadi saya tahu” demikian pengakuan Maidin.

Ini adalah langkah pertama menuju tragedi. Mereka yang berbicara buruk tentang orang Jepang yang keluar dari mulut Maidin, mereka yang menginginkan kemerdekaan, orang-orang itu diam-diam dibawa pergi oleh polisi khusus, dan disiksa satu demi satu, dan dengan kesakitan, mereka menyebutkan nama teman mereka, dan daftar orang-orang yang ditangkap itu sudah selesai (Iseki 1987: 33). 

Hipotesa Yew-Fong Hui dalam bukunya berjudul Strangers at Home: History and Subjectivity Among the Chinese Communities of Wes Kalimantan, Indonesia:

“Setelah angkatan laut Jepang mengambil alih Kalimantan Barat pada bulan  Agustus 1942, mereka mulai menghadapi sisa-sisa pasukan KNIL di Sambas. Karena komposisi pasukan KNIL multi-etnis, Jepang mencurigai adanya konspirasi multi-etnis, dan tersangka langsung adalah berbagai elit etnis di Kalimantan Barat. Akhirnya, Jepang mengalahkan sisa pasukan KNIL (mungkin sekitar tahun 1944), tetapi kadang-kadang masih menghadapi “gangguan kecil” dari Ximenghui dan mungkin kelompok anti-Jepang terkait lainnya (sehingga desakan bahwa “sesuatu pasti terjadi”). Dengan kata lain, pasukan Jepang yang kekurangan personel menghadapi perlawanan, tetapi tidak dapat menentukan musuh, sehingga dalam menghadapi legitimasi yang semakin berkurang melakukan pembantaian yang berlebihan” (Hui 2011: 63).

Hiroshi Kato dalam buku The Greater East Asia War and Indonesia: the Japanese Military Administration menulis “Secara resmi, semua pampasan perang Indonesia telah diselesaikan, tetapi ketika saya mengunjungi mounumen peringatan, saya merasa sebagai orang Jepang, saya bertanya-tanya apakah itu saja sudah cukup. Namun, benarkah jumlah korban 21.037 secara historis, angka ini muncul sebagai fakta sejarah dalam buku pelajaran sejarah Indonesia. Untuk menyampaikan sejarah yang benar kepada generasi mendatang saya ingin meminta pemerintah Indonesia untuk  memverifikasi ulang ini” (Kato 2022: 47).

0 Comments:

Post a Comment