Oleh: M. Rikaz Prabowo | Redaksi Majalah Riwajat
31 Agustus 1906 dr. Raden Rubini Natawisastra lahir di Bandung. Dikenal sebagai ahli penyakit tropis seperti malaria dan TBC, turut dalam usaha pengentasan stunting berkat kedekatannya dengan organisasi Perkumpulan Isteri Indonesia (PII).
Terganggunya tumbuh kembang anak atau yang populer saat ini disebut stunting, sebenarnya telah menjadi masalah kesehatan yang cukup serius sejak lama. Di era pra-kemerdekaan Indonesia, stunting belum menjadi perhatian utama oleh jawatan kesehatan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang lebih gencar mengentaskan berbagai pandemi dan penyakit seperti pes, flu Spanyol, malaria, hingga TBC. Sebaliknya, masalah stunting ini justru menjadi perhatian sejumlah fasilitas kesehatan partikelir yang dikelola non pemerintah, seperti panti-panti anak yang dikelola oleh Misi Katolik dan Muhammadiyah, hingga perhatian oleh dokter-dokter pribumi.
Selain itu, masalah tumbuh kembang anak juga menjadi perhatian oleh organisasi pergerakan wanita yang mulai ramai bermunculan, salah satunya Perkumpulan Isteri Indonesia (PII). Trimurtini dalam Perkembangan Kongres Perempuan Indonesia Pertama Tahun 1928 di Yogyakarta (2015), menyebutkan Perkumpulan Isteri Indonesia (PII) merupakan perubahan nama dari organisasi Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang terlaksana pada kongres keduanya tanggal 28-31 Desember 1929. PPI sendiri merupakan organisasi perempuan yang lahir sebagai hasil Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928 di Yogyakarta, sebagai gabungan atau federasi dari organisasi wanita peserta kongres. Beberapa organisasi wanita yang cukup besar kala itu dan bergabung di PII ialah Aisyiyah dan Natdateol Fataat.
Pada perkembangannya PII tidak hanya berdiri di sejumlah kota besar di Pulau Jawa saja melainkan hingga ke tanah Borneo termasuk di Pontianak, yang saat itu merupakan ibukota Keresidenan Borneo Barat. Perkumpulan Isteri Indonesia cabang Pontianak (PIIP) berdiri pada 1 April 1938 yang diketuai oleh Nyonya Amalia, istri dr. Rubini. Sebagai organisasi perempuan yang berlandaskan asas kebangsaan, PIIP tidak menemui kesulitan berarti dalam interaksinya.
Koran Borneo Barat 7 Januari 1939 mewartakan, PIIP memiliki sejumlah program kerja yang terkait dengan kesehatan khususnya bagi anak-anak melalui fonds atau dana amal. Lewat sejumlah pemasukan, PII akan memberikan santunan kepada kaum ibu yang kurang mampu dalam menghadapi persalinan. Kebetulan PII memiliki anggota bidan yang akan membebaskan biaya persalinan. Hal ini masih ditambah dengan sejumlah santunan pasca persalinan, seperti pakaian bayi, kain lampin, dan kebutuhan lainnya termasuk vitamin dan suplemen untuk si anak.
Peran dr. Rubini
Gerakan Nyonya Amalia melalui PIIP itu tentu saja mendapatkan dukungan kuat dari suaminya dr. Rubini. Selain dikenal sebagai dokter serba bisa, Rubini sebenarnya juga menaruh perhatian cukup besar pada kesehatan anak-anak. Dalam kasus penyakit TBC misalnya, ia memahami betul bahwa pengentasan penyakit pernapasan itu perlu dilaksanakan tidak hanya melalui tindakan kuratif, namun juga edukatif dan preventif. Seseorang yang terjangkit TBC, dapat menularkan kuman penyebabnya itu ke seisi rumah termasuk kepada anak-anak yang rentan. Anak-anak yang tertular TBC ini tentu dalam pandangan dr. Rubini akan mengganggu tumbuh kembangnya. Melalui Biro Konsultasi TBC yang ia pimpin, edukasi terhadap penyakit TBC ia berikan kepada semua kalangan termasuk usia muda seperti anak-anak.
Selain itu, dr. Rubini diketahui juga membuka praktik dokter dan kebidanan yang terpadu di kediamannya, kawasan jalan Landraadweg Pontianak (sekarang Jl. Jenderal Urip). Hal ini terlacak dalam buku direktori alamat dan telepon Gids voor het Telefooncomplex Pontianak (West-Borneo) tahun 1939. Pembukaan praktik dokter yang juga melayani praktik kebidanan ini suatu terobosan yang luar biasa di era tahun 1930-an. Sebab masih jarang ditemukan suatu praktik dokter yang mungkin terdapat sejumlah tenaga kesehatan yang cukup komplit seperti dokter, perawat, dan bidan bersertifikat dalam satu tempat. Dengan begitu, dr. Rubini tidak hanya memperhatikan kesehatan si ibunya saja, terlebih juga kesehatan si anak baik ketika masih di dalam kandungan maupun pasca kelahiran hingga usia balita.
Rumah dr. Rubini yang membuka praktik dokter dan kebidanan (perhatikan tanda kuning). (Sumber: Telefongids Pontianak Complex, 1939) |
Dalam hubungannya dengan PIIP, dr. Rubini juga diketahui menjadi mitra penting bagi organisasi itu. Setiap bulannya PIIP mengadakan lezing (kajian) untuk anggotanya dengan pemberian materi tentang ilmu-ilmu kesehatan yang dipercayakan kepada dr. Rubini (Borneo Barat, 30 Maret 1939). Tentulah dalam hal ini, salah satu materi kesehatan yang menjadi topik ceramah dr. Rubini kepada kaum ibu-ibu itu seputar kesehatan anak agar dapat tumbuh dengan baik. Dengan begitu dr. Rubini juga turut serta dalam pencegahan stunting melalui penyuluhan kesehatan.
0 Comments:
Post a Comment