Dokter Rubini dan Pemberantasan TBC

Keluarga dr. Rubini bersama isterinya, Nyonya Amalia dan kelima anaknya
(Sumber: Koleksi Ahli Waris dr. Rubini)


Oleh: M. Rikaz Prabowo | Redaksi Majalah Riwajat

31 Agustus 1906 dr. Raden Rubini Natawisastra lahir di Bandung. Dikenal sebagai dokter yang cerdas dan berpengalaman, selama bertugas di Pontianak memimpin program pemberantasan TBC yang dicap sebagai penyakit rakyat.

Penyakit pernapasan seperti TBC mempengaruhi keadaan fisik seseorang sejak lama. Apabila ditarik lebih awal dalam sejarah kesehatan di Indonesia, hal ini sesungguhnya telah menjadi perhatian dokter-dokter sejak era Kolonial Hindia Belanda, terkhusus dikalangan Indische Arts. Sedari kuliah mereka telah memiliki jiwa kepedulian akan penderitaan rakyat bumiputera terkait masalah kesehatan. Tidak terkecuali dr. Rubini yang sejak tahun 1934 telah bertugas di Borneo Barat (kini Kalimantan Barat), dokter muda yang berpengalaman dan cerdas. 

Perhatian dr. Rubini terhadap kesehatan masyarakat sebenarnya dapat dilacak dari ilmu penyakit yang ia dalami selama pendidikan ditambah pengalaman kerjanya. Borneo Barat edisi 27 April 1939 pernah menuliskan riwayat pengalaman dirinya secara singkat sebelum ditempatkan di Pontianak pada 1934. Lulus dari STOVIA pada tahun 1930 yang ketika itu telah berubah menjadi Geeneskundige Hooge School (GHS) Batavia, ia diangkat menjadi pegawai negeri dan ditempatkan di RS Jiwa Grogol. Di rumah sakit yang masih bertahan hingga sekarang itu, ia mendapatkan tugas dari departemen kesehatan untuk mempelajari wabah malaria di Pontianak selama enam bulan. Wabah ini menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Pontianak kala itu, karena juga banyak menyerang anak-anak dimana kekebalan tubuhnya belum sebaik orang dewasa. 

Keberhasilan dr. Rubini menjalankan tugas di Pontianak itu membuat departemen kesehatan tertarik untuk menempatkannya di RS yang lebih prestisius, yakni Centrale Burgerlijk Ziekenhuis (CBZ) atau rumah sakit pusat (sekarang RSUP dr. Cipto Mangunkusumo). Di RS itu dr. Rubini belajar banyak dari dokter-dokter yang lebih senior dan berpengalaman, baik itu dokter pribumi maupun dokter Belanda. Ia juga diberi tugas baru untuk mempelajari penyakit TBC yang ketika itu termasuk penyakit yang banyak menjangkit penduduk. Tugas di RS CBZ itu ia jalankan selama 10 bulan, sebelum departemen kesehatan akhirnya mengirimkannya lagi ke Pontianak untuk berdinas tetap sekitar September 1934 (Het Nieuws Van Den Dag, 8 September 1934).  


Memimpin Biro Konsultasi TBC 
Sebagai Gouvernements Indisch Arts yang ditempatkan di ibukota keresidenan, dr. Rubini telah disodorkan dengan berbagai tugas yang sangat padat. Selain berdinas di RS Militer dan RS Sungai Jawi, dalam suatu waktu ia harus menjalankan tugasnya sebagai dokter keliling mengunjungi kampung-kampung yang lokasinya cukup jauh di luar kota Pontianak. Terlebih dr. Rubini memang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang penyakit malaria dan penyakit TBC yang menjadi penyakit umum masyarakat di Kalimantan Barat era itu. 

Dalam pandangan dr. Rubini, penyakit TBC memiliki dampak yang dahsyat bagi si penderita. Selain batuk yang berkepanjangan, penyakit ini juga dapat membuat badan menjadi kurus dan lebih bahayanya dapat menular termasuk ke anak-anak yang lebih rentan. Belum lagi ditambah dengan kondisi rumah yang lembab dan berhawa panas, kurang sinar matahari yang masuk, serta diperparah lagi dengan kebiasaan merokok. Penderita TBC secara sosial dapat dikucilkan atau dijauhi oleh orang lain, begitu juga dampak ekonominya akan sulit untuk bekerja.

Pemberantasan TBC harus ditangani secara intensif dalam sebuah keluarga, karena adanya potensi terpapar ke seisi rumah. Parahnya, penyakit TBC kala itu banyak diderita rakyat miskin yang terkadang kurang mendapatkan asupan gizi yang baik. Kasus kematian karena TBC pun cukup sering terjadi kala itu, baik karena si penderita yang enggan berobat dan kurang mempercayai pengobatan modern maupun karena kurangnya akses. 

Demi memberantas penyakit TBC, dinas kesehatan kala itu membuka Consultatiebureau TBC (Biro Konsultasi TBC). Biro itu mulai dirintis pada tahun 1938 yang berada di daerah Kampung Bali, Pontianak, dan dipimpin langsung dr. Rubini (Borneo Barat, 27 Desember 1938). Biro ini selain sebagai tempat penyembuhan TBC, juga sebagai sarana edukasi masyarakat tentang penyakit pernafasan itu. Orang tua maupun muda dan kalangan apapun, menjadi perhatian penting pencegahan dan penyembuhan TBC. 

Dokter Rubini tidak sendiri dalam upaya pengentasan TBC, selain dibantu rekan sejawatnya sesama tenaga kesehatan, berdiri pula sebuah Komite TBC secara swadaya pada tahun 1939 berusaha mengumpulkan pendanaan (fonds) untuk pengobatan si penderita melalui bazar amal dan pertunjukan tonil. Dalam koran Borneo Barat 28 September 1939, disebutkan komite itu diketuai oleh R.A Sujarah. Dalam biografi Johar Insiyah Suharso karya Sutjiatiningsih (1983), putri R.A Sujarah itu menyebutkan bahwa ibunya adalah ketua organisasi Aisiyah dan merupakan istri dr. Agusjam, rekan kerja dr Rubini.


Dukungan Sang Istri
Sebagai istri seorang dokter, apalagi Rubini dipandang sebagai tokoh terhormat di tengah masyarakat, Nyonya Amalia senantiasa mendukung tugas-tugas suaminya dengan berbagai cara. Widya Artini Wiyogo (2022), yang merupakan cucu dr. Rubini, menyebutkan bahwa neneknya itu juga aktif dalam kegiatan palang merah di Pontianak. Pada Komite TBC yang telah disampaikan sebelumnya, Nyonya Amalia bertindak sebagai wakil ketua. Pun juga dalam kapasitasnya sebagai ketua Perhimpunan Isteri Indonesia cabang Pontianak (PIIP), ia menggulirkan program dana pemberantasan TBC yang dikumpulkan melalui iuran anggota, penjualan produk kerajinan, dan pertunjukan amal. 

Nyonya Amalia dalam pandangannya terkait TBC yang dimuat dalam Borneo Barat 10 Oktober 1993 menyatakan, Penyakit TBC yang tadinya disangka tidak ada disini tiba-tiba mendapat gelaran penyakit rakyat... penyakit yang merusakkan kekuatan dan kehidupan rakyat sehingga perlu diperangi betul. Buat memberantas penyakit ini, tidaklah cukup dengan hawa yang baik dan cahaya terang matahari saja, tetapi keadaan sosial dan ekonomi pun adalah yang penting sekali untuk memberantasnya. Pidato itu menunjukkan keseriusan dirinya maupun organisasi PIIP dalam turut serta membantu pemberantasan TBC yang diketuai oleh dr. Rubini. 

Sayangnya, keseriusan program pemberantasan TBC yang dr. Rubini pimpin itu terhenti pada masa pendudukan Jepang sekitar bulan Februari 1942. Dokter Salekan dalam memoarnya di buku Sejarah Kesehatan Nasional II (1980), menyebutkan dimasa ini dokter-dokter Indonesia diawasi ketat oleh Jepang dan juga terjadi kelangkaan obat-obatan. Termasuk obat untuk penyembuhan TBC. Oleh pemerintah militer Jepang, dr. Rubini pernah ditempatkan sebagai kepala jawatan kesehatan di Pontianak. Dokter yang turut dalam pergerakan kebangsaan melalui Parindra itu gugur dalam Peristiwa Mandor tahun 1944 yang juga merenggut nyawa istrinya. 

0 Comments:

Post a Comment